Bab 7 : Adnan dan Aisyah

1622 Words
Bab 7 – Adnan dan Aisyah Adnan duduk berhadapan dengan Aisyah, matanya menatap Aisyah dengan lembut. “Tumben traktir aku makan?” Aisyah tersenyum pada Adnan dengan mata yang menatap Adnan. Semenjak sering berkomunikasi, untuk urusan Kiara, mereka mulai dekat layaknya teman. Adnan tersenyum malu. “Aku ingin lebih dekat denganmu,” memalingkan wajahnya, grogi juga bertatapan dengan dokter cantik ini. “Uhuk uhuk.” Aisyah terbatuk-batuk. “Apa dia sedang menyatakan perasaannya?” Aisyah berteriak senang dalam hatinya. Sebenarnya, sudah cukup lama Aisyah menyukai Adnan. Bahkan, saat dia dan Adnan dalam satu kampus yang sama. Adnan berada setingkat di bawahnya. Aisyah sering melihat Adnan saat di kantin, hanya saja mungkin Adnan tidak terlalu memperhatikan kalau ada seseorang yang selalu memperhatikannya saat itu. Adnan selalu fokus belajar, dan tak pernah mendekati teman sekampusnya. Hingga, saat beberapa kali bertemu Aisyah di rumah sakit perasaan Adnan merasa berbeda. Dokter Aisyah sangatlah cantik, mudah bergaul dan berbicara dengan santai kepadanya. Tidak seperti seorang dokter yang bicara kepada pasiennya, tapi seperti seseorang kepada temannya. Tentu saja seperti itu, karena Adnan adalah cinta pertama Aisyah. “Ayo makan.” Adnan mengalihkan pembicaraan, saat pelayan datang membawa pesanan mereka. Aisyah tersenyum kecut. “Pelayan itu datang di saat tidak tepat,” gumamnya dalam hati. Mereka makan dalam diam. “Kamu sudah punya pacar?” tanya Aisyah. ‘Kamu tidak peka sih, biar aku yang duluan nanya,’ pikir Aisyah dengan sedikit kesal. “Hah...” Adnan sedikit bingung, dia terkejut dengan pertanyaan Aisyah. “Pacar atau tunangan mungkin?” Aisyah tersenyum manja. “Deg” jantung Adnan berdegup kencang. “Jantung tenang kamu!” batinnya. Adnan berusaha menenangkan hatinya. “ Hemm, masih jomblo,” jawaban itu tiba-tiba saja meluncur indah dari bibirnya, membuat Aisyah tersenyum senang. “Apa dia sesenang itu mendengar kejombloanku, jangan-jangan dia naksir aku. Horeee!” Adnan berteriak senang dalam hatinya. “Lalu apa sudah ada wanita yang kamu sukai?” Aisyah bertanya serius. “Ada,” jawab Adnan mantap. “Apa? Semoga aku, semoga aku!” Aisyah berdoa dalam hatinya. “Siapa, boleh aku tau?” lanjut Aisyah bertanya dengan serius. “Dia emm.” Adnan tidak melanjutkan perkataannya, dia merasa malu untuk mengatakannya. Adnan hanya menatap Aisyah dengan intens. Aisyah tersenyum kecut. “ Gak usah jawab, kalau gak mau jawab.” “...” Adnan diam dengan mata yang masih menatap intens kepada Aisyah. “Boleh aku curhat?” tanya Aisyah. “Tentu boleh dong, katakan saja. Aku bisa jadi pendengar setiamu.” Adnan tersenyum, tapi dalam hati dia merutuki dirinya sendiri yang pengecut, tak berani mengungkapkan perasaan. “Beneran gak keberatan mendengar curhatan aku?” bibir Aisyah tersenyum merekah. Adnan hanya mengangguk. Jantungnya semakin bergejolak melihat senyuman Aisyah yang semanis permen gula kapas. “Sebenarnya saat ini aku sedang menyukai seseorang, dia sangatlah baik menurutku, dia juga lucu dan ganteng pula.” Aisyah berbicara dengan bibir tersenyum lebar, matanya bersinar memperlihatkan kalau dia sangat menyukai pria itu. Adnan mengesah kesal, menyesal setuju mendengarkan curhatan Aisyah. “Kalau tau curhatnya tentang cowok, males banget aku dengar,” dalam hati Adnan. Tapi dia tetap fokus mendengar semua apa yang di katakan Aisyah. Aisyah memperhatikan raut wajah Adnan yang berubah menjadi sedikit muram. “Yes, aku akan mempovokasimu agar kamu mau mengatakan perasaanmu yang sebenarnya.” Aisyah merasa yakin kalau Adnan menyukainya, hanya saja terlalu takut menyatakannya secara langsung. Adnan berpikir, siapa pria itu. Apakah Rama, karena Rama yang selalu dia lihat bersama dengan Aisyah selama ini. Ah, dilihat dari sisi mana pun tentu saja Rama lebih segalanya dari dirinya. Lebih tampan, lebih mapan dan lebih pandai merayu gadis. Buktinya dia bisa menyembuhkan adiknya, Kiara. Itulah yang ada di pikiran Adnan saat ini. “Tapi, aku gak tau dia suka aku atau tidak. Dia sangat tidak peka, dia sering melirik dan menatapku, tapi sampai saat ini nggak pernah nembak aku.” Aisyah memasang wajah galau. Matanya melirik kepada Adnan. Adnan membeku, pria itu seperti dirinya yang selalu menatap Aisyah. Tapi, bukan tidak mau nembak sebenarnya. Dia masih merasa malu. “Tuh kan dasar tidak peka, aku sudah mengatakannya. Harusnya dia mengerti kan!” semakin kesal saja Aisyah. “Kalau begini terus, sepertinya aku mau cari cowok lain aja. Itu pun kalau ada yang mau sih,” ujar Aisyah dengan wajah cemberut. Tapi, matanya melirik kepada Adnan. Adnan menatap Aisyah dengan gelisah. “Menurut kamu bagaimana, Nan?” Aisyah bertanya dengan serius. “Cari cowok lain aja, aku yakin banyak yang suka sama kamu kok.” Adnan memberikan solusi, sekaligus kesempatan untuk diri sendiri. “Benarkah! Apa menurutmu ada yang mau sama aku?” Aisyah berusaha terus agar Adnan menyatakan perasaannya. “Tentu ada, kamu kan cantik, baik, dokter pula.” Adnan sampai ingin memukul mulutnya sendiri yang sudah berbicara menggombal. “Hahaha.” Aisyah tergelak, antara merasa senang dan juga lucu atas sikap Adnan. Mendengar tawa Aisyah, Adnan merasa semakin malu. Ia memalingkan wajahnya, sekilas untuk membuang rasa malu. “Jadi menurutmu aku cantik dan baik ya? Em, terima kasih.” Aisyah tersenyum dengan semburat merah di pipi. Bagi Adnan senyuman Aisyah kali ini begitu tulus dan imut. Adnan menatap lekat kepada Aisyah, sudut bibirnya sedikit terangkat. “Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja.” Pikir Adnan. “ Menurutmu siapa yang mau sama aku ya? Apa kamu punya teman yang mau kamu kenalkan kepadaku?” Aisyah menyentuh keningnya dengan telunjuk. “Ada! Aku!” jawab Adnan cepat. Dia sampai memalingkan wajah saking malunya. Tak percaya bisa berkata lantang seperti itu. Aisyah membelalakan matanya tak percaya dengan apa yang di dengarnya. “Siapa? Kamu?” Dia menunjuk dengan jarinya kepada Adnan. “Iya, aku!” Adnan berusaha membuang jauh-jauh rasa malunya. “Baiklah katakan saja perasaanmu sekarang, tidak usah peduli. Apakah dia menerima atau menolakmu Adnan! Yang penting berusaha dulu!” pekik Adnan dalam hati. “Aku mungkin salah dengar, bisa ulangi perkataanmu!” Aisyah bertanya, yang sebenarnya memerintah sih. “Iya aku menyukaimu,” ucap Adnan dengan yakin, wajahnya memerah karena menahan malu. Aisyah tergelak cukup kencang mendengarnya. Melihat Aisyah tertawa, hati Adnan langsung kecewa, dia merasa kalau Aisyah sedang menertawakannya. “Aku memang bodoh, berani-beraninya mengatakan itu. Dibanding Rama, aku sangat jauh di bawahnya dalam segala hal. Dasar konyol!” dalam hati, Adnan memaki diri sendiri. Raut wajah Adnan berubah muram dan kecewa, patah hati sebelum berkembang. Melihat raut kecewa dari Adnan, Aisyah merasa tidak enak hati. “Kenapa kamu terlihat sedih?” tanya Aisyah. “Tidak ada,” jawab Adnan dengan datar. Ingin rasanya Adnan pulang sekarang juga, dan segera berendam dengan air dingin di dalam bak mandi. Karena, tidak ada bathub di kamar mandinya. “Apa kamu marah padaku?” Aisyah bertanya dengan bibir berkedut, berusaha menahan tawanya. “Aku ingin lihat wajah Adnan yang polos ini kalau sedang merajuk bagaimana?” Aisyah tersenyum dalam hatinya. “Tidak,” masih dalam ekspresi datar. “Apa kamu pikir aku sedang menertawakanmu?” terus memprovokasi, supaya tau jawabannya. “Iya,” dengan polosnya Adnan menjawab. Aisyah tersenyum. “ Menurutmu kenapa aku menertawakanmu?” “Karena aku berani mengatakan suka padamu, sementara kamu sudah punya seseorang yang kamu sukai.” Akhirnya Adnan menjawab dengan lantang. Rasa malunya sudah kabur entah ke mana. “Jadi kamu suka aku?” Aisyah bertanya lagi supaya jelas. “Iya, aku suka kamu. Kamu nggak usah menjawabnya, karena aku tau kamu pasti menolakku. Jadi biar seperti ini saja, kita terus berteman dengan baik.” Adnan tersenyum kecewa, tangannya terangkat sedikit ingin menyentuh tangan Aisyah. Tapi, urung. Aisyah menghela napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan lembut. Manik matanya menatap intens kepada Adnan. “Sungguh tidak romantis caramu nembak wanita yang kamu sukai,” ujar Aisyah, dia berkata dengan pelan. Adnan terperangah, menatap Aisyah penuh tanya. Rama dan Kiara Sore itu, Rama mengajak Kiara ke taman kota. Karena sudah mengenal Rama dengan baik, terlebih Kiara terlihat sangat ingin pergi dengan Adnan. Ayah dan ibunya akhirnya mengizinkan. Rama adalah pria yang baik, seorang dokter psikologis yang sudah membantu kesembuhan Kiara. Sikap Rama yang sopan, ramah dan lembut. Membuat, Pak Darma dan Bu Maya begitu menyukainya. Rama dan Kiara duduk berdampingan di atas rumput sintetis hijau yang menghampar di seluruh taman. Pepohonan mengelinginya secara teratur, bunga-bunga juga menghampar di sisi lain taman. Pandangan mereka lurus ke depan, menatap anak-anak yang sedang asyik bermain bersama keluarga mereka. “Kakak beneran akan pergi ke kota A?” Kiara menoleh ke arah Rama yang ada di sampingnya. “Hem. Kakak harus menjalankan tugas, mengurus rumah sakit,” jawab Rama, dia menghela napasnya panjang. “Aku boleh ikut?” Kiara bertanya dengan malu. “Ikut!” Rama menoleh. Pandangan mereka bertemu. Deg, jantung Rama berdegup kencang. Akhir-akhir ini, dia sering merasakan sesuatu yang aneh, jika dekat-dekat dengan Kiara. “Iya, ikut.” Kiara menjawab dengan yakin. Rama menggenggam tangan Kiara, menautkan jemarinya dengan jemari Kiara. Tubuh Kiara menegang, rasa takut menyelimutinya. Tapi, dia tidak menolaknya. Berusaha menekan ketakutannya. “Apa kamu tidak takut? Nanti, kita akan tinggal berdua. Aku seorang lelaki normal.” Rama tersenyum dengan lembutnya. Kiara menggelengkan kepalanya. “ Tidak, aku tidak takut. Kak Rama orang yang sangat baik, dan tidak akan pernah menyakitiku.” Mendengar jawaban Kiara yang begitu yakin padanya, membuat Rama semakin tersentuh hatinya. “Kamu begitu percaya padaku, Ki. ”Rama tersenyum dalam hati. Dia senang mendengar jawaban dari Kiara, artinya Kiara sudah semakin membaik, dia sudah bisa mempercayai orang lain selain keluarganya, kemajuan yang sangat besar pikirnya. “Seberapa yakin?” Bertanya dengan lembut. Kiara menyandarkan kepalanya di bahu Rama. Memejamkan matanya dan berkata dengan lembut. “Sangat yakin,” ujarnya. Rama tersenyum, lalu merengkuh bahunya. “ Baiklah kita akan minta ijin kepada ayah dan ibu mu, setelah pulang dari sini oke.” Kiara mengangguk pelan. “Aku akan memulai hidup baru mulai dari saat ini!” Kiara memejamkan matanya di pelukan Rama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD