Bab 35

1253 Words
Hujan terus saja mengguyur tanah tiada henti, tapi tidak menyurutkan Zack untuk tetap berdiri di halaman. Pria itu tidak merasa kedinginan sama sekali karena kekuatan yang dimiliki. Sementara Emely yang melihatnya hanya bedecih saja, seakan meremehkan. Jika bukan karena Emma, aku tak sudi menemuimu. Gadis itu berjalan dengan payung transparan miliknya, tentu untuk mendekati Zack. “Masuklah..., Emma ingin bertemu denganmu.” Zack diam tak bergeming sama sekali, karena pura-pura tidak mendengar Emely. Toh gadis itu sangat menjengkelkan dan kurang sopan. “Aku sudah merendahkan diri untuk menemuimu, Zack.” Emely harus membuat Zack masuk kembali ke rumah. “Jika kau terus merajuk seperti ini, aku akan memutuskan kontrak.” Berapapun harga yang dibayar, Emely tidak akan sungkan kalau memutuskan kontrak sepihak. Zack menoleh sekilas. “Apakah otakmu hanya berisi uang? Kenapa kau tak tidur dengan uang disimu saja.” Pria itu lantas pergi begitu saja membuat Emely sangat kesal, bahkan memaki Zack terang-terang. Jangan kira dia peduli, tidak! Karena hanya membuang waktu. Saat Zack masuk ke dalam rumah, Niken menyambutnya dengan handuk. “Jika kau seperti ini, pasti akan sakit.” “Tak usah peduli padaku. Aku sangat muak.” Handuk itu dilempar begitu saja ke lantai, tapi Niken tak marah sama sekali. “Dia benar-benar keterlaluan.” Emely melipat kedua tangannya, lalu duduk di sofa dengan wajah cemberut. Jelas terlihat kekanak-kanakan. Disisi lain, Hans dan Steve sudah sampai di kamar hotel. Mereka masih belum menyadari kalau Justin telah hilang, sebab semua barang yang rusak sudah diganti dan dibersihkan. “Kebiasaan, Justin selalu saja keluar tanpa pamit.” Steve mengambil ponsel yang ada disaku untuk menghubunginya. Sayang ponsel Justin ada di atas meja makan. “Kemana dia pergi?” “Mungkin ke rumah Emma,” celetuk Hans hanya menduga saja. “Sialan...! Aku harus mencarinya ke sana.” Saat Steve balik badan, ada noda darah yang terlihat jelas di kedua matanya. Pria itu langsung berlari keluar kamar. “Hey... apa yang terjadi?” tanya Hans kebingungan. “Pergi ke rumah Emma! Ada yang salah dengan Justin!” Steve terus berlari sambil menghubngi seseorang. “Periksa kamera pengawas hotel, apakah ada orang lain yang masuk?” Priabitu pun mematikann ponselnya sepihak. “Mereka ingin aku bakar hidup-hidup.” Steve terus melihat ke arah matahari yang mulai turun karena lelah. Tapi waktu seakan tak berpihak padanya, sebab terasa sangat lambat dari biasanya. “Apa yang terjadi?” tanya Hans keluar dengan berlari juga. Tiba-tiba seorang pelayan datang menghampirinya. “Tuan, ada surat untuk anda.” “Di saat seperti ini, siapa yang bermain-main!” Steve mengambil surat itu dengan paksa, lantas merobek amploknya menjadi dua. Saat jatuh ke lantai, terdapat foto Justin yang sedang diikat. “Pergi ke Menara Eiffel jika ingin dia selamat,” kata Hans yang melihat tulisan itu. “Kau pergi ke rumah Emma, beritahu Zack. Aku akan pergi ke Menara Eiffel.” Hans mengangguk, bergegas pergi ke rumah Emma tanpa menunda waktu lagi. Lantas Steve melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hans berlari tiada henti hingga sampai ke tempat tujuan. Tubuhnya sangat kelelahan, tapi ia tak peduli sama sekali. Pria itu melihat ada seorang pelayan, lalu menghampirnya. “Aku teman Zack. Ingin bertemu dengannya.” Nafasnya memburu karena habis lari maraton. “Ikut denganku.” Sang pelayan memperislahkan masuk. Di ruang tamu Emely dan Niken masih berbincang satu sama lain. “Hans,” panggil Niken sambil berdiri, karena melihat raut Hans yang terlihat kelelahan. “Ada apa?” “Mana Zack?” Hans mengedarkan matanay ke seluruh ruangan. “Aku tak punya waktu, Dok. Aku harus memberitahunya sesuatu yang penting. ” “Kau, panggil Zack untuk turun,” titah Emely sambil terus menatap wajah hans yang cukup tampan menurutnya. “Terimakasih,” kata Hans masih berdiri. “Apa yang terjadi? Kenapa kau seperti ini?” tanya Niken lagi. Hans bingung, bolehkan ia memberi tahu orang asing. Begitu melihat Zack menuruni tangga, pria itu mengabaikan pertanyaan sang dokter memilih fokus kepada tujuannya. “Justin dibawa oleh mereka.” Suara Hans membuat langkah kaki Zack berhenti seketika. Matahari pun sudah sepenuhnya turun. “Kau jaga di sini, lindungi bocah itu. Aku akan pergi menemukan Justin.” “Menara Eiffel!” teriak Hans melihat punggung Zack yang mulai menjauh. Sementara Niken yang mendengar kabar itu tampak syok. “Em..., kau masuk ke dalam kamar Emma. Jangan kemana-mana.” “Apa maksudnya ini?” Emely tanpa kebingungan. Siapa Justina? Dan kenapa rekasi Niken seperti itu? “Turuti kataku!” sentak Niken cukup keras. “Hans... bawa Emely masuk ke kamar Emma!” “Katakan sesuatu, Dok!” Emely masih keras kepala dan tak mau menyerah. Lalu Hans bergegas membawanya secara paksa meskipun ia meronta-ronta. “Kalian semua berkumpul!” Para pelayan pun mendekat untuk mendnegra intruksi dari Niken. Kenapa wanita itu punya wewenang? Karena ia adalah kepala pelayan kepercayaan keluarga Geraldin. Identitas itu tidak diketahui oleh Emely. “Waspada! Jangan sampai kalian lengah!” “Baik!” jawab mereka serempak. Kode merah itu membuat para pelayan berada diposisinya masing-masing. Namun siapa sangka, ternyata penculikan Justin hanya jebakan saja. Tujuan mereka sebenarnya adalah Emma. Dan Steve dengan bodohnya malah pergi ke Justin untuk menyelamatkannya. Itulah perbedaan pemikiran Justin dan Steve. Steve ceroboh, sedangkan Justin selalu memikirkan besar kemungkinan yang terjadi. Sebab itulah, ia menjadi raja dari semua raja. Mereka tidak menyangka bahwa semua kejadian itu adalah skenario dari seseorang, yaitu Martin. Pria itu menggunakan taktik untuk membuat lawan terjebak. Sekarang, para penculik Emma sedang melakukan aksinya. “Lempar bola bius itu ke semua ruangan.” Beberapa orang berpakain hitam segera melakukan perintah pria botak itu. Begitu bola dilempar, asap mengepul cukup tebal membuat siapa yang menghirupnya langsung pingsan. Mereka akan merasakan halusinasi kesenangan dalam tidurnya. Satu persatu para pelayan tumbang, tinggal Niken yang sedang menutup hidungnya, begitu juga Hans dan dua gadis yang berada di dalam satu ruangan. “Apapun yang terjadi, jangan membuka mulut.” Hans menggiring dua gadis itu masuk ke dalam lemari. “Jangan bersuara.” “Kedua mengangguk, tapi Emma tampak berkeringat dingin. Emely tahu kalau gadis itu pelru obat penenang yang ada di laci. “Ambilkan obat...” Belum sempat mengeluarkan semua kata-katanya, Hans sudah terlebih dulu pingsan karena dipukul oleh seseorang dari belakang. Emely dan Emma pun meringkuk ketakutan karena melihat dua pria bertopeng sedang mendekat ke arah mereka. “Kalian sudah tak bisa lari lagi,” kata salah satu dari mereka sambil tertawa. Emma yang melihat itu tak bisa menghilangkan traumanya, ia bahkan sampai menggigil. “Tenangkan dirimu, Emma. Aku akan melindungimu.” Tapi siapa sangka, mereka malah menyeret Emely keluar dari lemari. Gadis itu berusaha melawan, tapi kalah kekuatan lantaran mereka berdua pria. Tidak tanggung-tanggung Emely ditampar cukup keras, hingga jatuh ke lantai. Emma yang melihat itu terisak sambil sesenggukan, berusaha mengeluarkan suaranya untuk menyuruh mereka berhenti. Tapi karena ketakutan yang luar biasa, pandangannya mengabur. Rasa sesak di d**a kian kuat sehingga membuat kesadarannya hilang. “Emma,” panggil Emely mulai menutup matanya. “Sangat merepotkan. Bawa bocah itu!” titah pria satu “Tak akan aku biarkan!” Niken yang masih dalam kondisi sadar berupaya mencegah mereka berdua. “Kalian penuclik busuk.” Ia pintar berkelahi, meskipun kemampuannya lebih rendah dari mereka. “Wanita itu!” geram pria itu kesal. “Bawa bocah itu keluar. Kau akan mengurusnya.” “Aku tak akan membiarkan itu terjadi.” Adu jotos pun dimulai. Dengan lihai Niken menghidar, menyerang dan mengunci. Sayang sekali si penculik sangat cerdik. Langsung menyuntikkan obat bius tepat dilengannya. “Ku-kurang ajar.” Itulah kata terakhir dari mulut Niken sebelum menutup kedua matanya dengan sempurna. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD