Bab 34

1241 Words
Belum sempat Niken menceritakan kejadian dua tahun lalu, sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Zack sekeras mungkin. Bahkan bunyi tamparan itu sampai menggema diseluruh ruangan. Emely yang baru saja mendapat kabar kalau Emma sedang mengalami serangan panik pun bergegas pulang ke rumah. Sampai di rumah, gadis itu langsung melakukan tindakan kekerasan. Sementara Zack yang mendapat tamparan itu menyentuh pipinya sambil membuang muka ke arah lain. Dalam hidupnya, kejadian itu adalah sebuah hinaan terbesar yang pernah di alami. Niken dan yang lain bahkan terkejut melihat tindakan Emely yang tiba-tiba itu. Sungguh diluar dugaan dan sangat cepat. “Aku sudah bilang kalau dia tak cocok menjadi pengasuh Emma!” teriak Emely memenuhi ruangan. Niken memberi kode kepada para pelayan untuk pergi dan menyisakan mereka bertiga. “Dia tak sepenuhnya salah, Emely,” bela Niken karena memang Zack sudah berusaha keras. “Sebagai pengasuh, dia harus berada di dekat Emma selama dua puluh empat jam. Kita membayarnya, Dok!” Sayangnya Emely masih belum tahu kalau Zack menolak uang sebelum pekerjaan selesai. “Tutup mulutmu!” sentak Zack tak terima. Cukup sudah kesabarannya sudah habis di depan gadis sok seperti Emely. “Kau!” tunjuk Emely tak kalah kesal. “Berani-beraninya!” Niken pusing melihat pertengkaran mereka dan tindakan Emely yang terlampaui batas. “Emely..., jika kau terus seperti ini, siapa yang cocok menjadi pengasuh Emma? Bukankah kau yang selalu menyalahkan mereka? Seperti kau menyalahkan Zack?” Niken yakin, kalau Emely sengaja membuat perkara. “Kau salah besar, Dok. Aku mencari yang terbaik,” kata Emely sambil duduk. “Dan kau boleh keluar dari rumah ini.” Zack tersenyum, “Berkacalah dulu, apakah kau sudah jadi terbaik di depan bocah itu?” Dia pergi meninggalkan ruangan tersebut. Niken yang melihat pria itu bergegas enyah mulai mengejarnya dantak memperdulikan Emely yang terus berteriak memanggilnya. “Zack..., tolong jangan pergi,” pinta Niken sambil memohon. “Dia tak menghargaiku sama sekali. Aku kesal!” geram Zack tertahan, warna matanya pun sontak berubah menjadi merah, membuat Niken sedikit terkejut. Ia langsung membawanya menjauh. “Hentikan emosimu.” Niken menoleh ke kanan, lalu ke kiri untuk melihat apakah tempat itu aman untuknya. “Jika kau ingin mencari bola kehidupan itu, kau harus bertahan.” Zack mengerutkan kening, “Bagaimana kau tahu?” “Karena aku adalah ras campuran.” Niken memperlihatkan tanda kekuatan di lengannya. Sangat jelas, tapi tidak begitu tebal. “Kenapa kau tak bilang sejak kita bertemu?” Zack merasa dipermainkan oleh orang rendahan seperti ras campuran. “Identitas kami sangat spesial. Kami tak ingin berurusan dengan para pemburu naga.” Niken mencoba menenangkan Zack. “Ucapan Emely jangan kau tanggapi.” “Sialan!” geram Zack tertahan sambil mengacak rambutnya frustasi. “Aku akan bicara padanya. Setelah ini, aku yakin dia akan bersikap baik padamu.” Niken menepuk bahu Zack dengan pelan. Segera kembali ke kamar Emma, di sana Emely sedang meneteskan air mata. “Kau menangis,” kata Niken mengawali pembicaraan mereka. “Aku tak menangis.” Emely mengelus sayang rambut Emma. Bibir mungilnya pun disentuh, seraya bergumam menyebut nama Tuhan. “Zack adalah orang yang cocok, Em.” Niken memperlihatkan beberapa video kebersamaan Zack dan Emma. “Meskipun kasar, dia cukup layak dan baik.” “Berapa kali kau bilang padaku? Aku sudah lelah.” Emely melihat ponsel milik Niken sekilas. Emma Tapi gadis itu menampik kebenaran kalau Zack adalah orang yang cocok untuk Emma. “Usir dia, bagaimanapun caranya. Dia sudah mendapatkan uang bukan?” “Kau salah..., Zack tidak mendapatkan uang sepeserpun.” Niken mengambil ponsel tersebut. “Jika kau merasa bisa melindungi Emma, kau bisa melakukannya sendiri.” Ah, bibir Emely digigit kuat-kuat merasa bersalah terhadap Zack. Bagaimanpun juga, ia sangat keterlaluan. “Uang bukan segalanya, Em. Kau sangat salah.” Niken tak mau berlama-lam di dalam ruangan bersama Emely karena merasa tercekik. “Pikirkan baik-baik, apa yang benar untuk Emma.” Setelah Niken benar-benar pergi, Emma membuka kedua matanya. Gadis itu mencari keberadaan Zack, tapi yang dilihat hanya Emely sedang menangis. “Kau sudah bangun?” tanya Emely sambil tersenyum. Emma tak menanggapi, masih mencari keberadaan pria itu. “Apakah kau begitu menyukai Zack?” Emely tak mengetri dengan Emma yang akrab bersama orang baru dikenal. Gadis itu mengangguk, lalu menulis di bukunya seperti biasa. Meski kasar, Zack orang baik. Aku menyukainya. “Sepertinya kau lebih menyukianya dari pada menyukaiku?” Ada perasaan sakit dihati Emely kala mendapatkan jawaban yang tidak di inginkan. Emma tak menjawab lagi, memilih menundukkan kepala sangat dalam. Inilah yang membuat Emely merasa dirinya frustasi. “Aku akan memanggilnya,” kata gadis itu tersenyum penuh kegetiran di hatinya. Di sisi lain, Martin sedang berada di depan gudang yang tidak terpakai. Pria itu menunggu seseorang bersama dengan Will. “Apakah aku yakin ini tempatnya? Mereka belum datang juga?” tanya Martin sedikit kesal. “Tunggulah... sebentar lagi mereka datang.” benra saja, tak lama kemudian ada mobil hitam berhenti di depan mereka berdua. Dua ornag pria turun sambil tesenyum. “Jadi, kalian yang menghubungiku.” Seorang pria berambut gondrong sangat senang melihat mereka berdua. “Aku sudah melihatmu beberapa kali memantau rumah Geraldin,” kata Will memulai pembicaraan mereka. Tampak dua orang tersebut sangat terkejut. “Kau pasti salah lihat,” bela pria berkepala botak. “Will, jangan basa-basi.” Martin langsung menyerahkan selembar cek kepada pria berambut gondrong itu. “Kau culik gadis itu, tapi jangan menyakitinya. Setelah berhasil, bawa ke tempat kami.” Tawa kedua pria itu pecah ketika mendapatkan uang. Mereka saling pandang satu sama lain. “Kami akan bekerja malam ini.” Pria berambut botak itu mencium cek yang diterima. “Jangan kecewakan aku. Aku bisa mengulitimu.” Martin melewati mereka berdua. “Aku mau kabar baik.” “Tenang saja, Bos!” teriak mereka bersamaan, tertawa menggelegar kesenangan. Sementara itu, Martin dan Will kembali ke markas. Satu hal yang tidak mereka sadari kalau Steve telah mengetahui rencana itu. “Sangat merepotkan. Benarkan Hans?” Steve pergi keluar bersama Hans untuk menghirup udara segar. Ia tak menyangka kalau melihat hal yang tidak terduga. “Kita harus memberitahu Zack.” Hans hendak pergi, tapi tangannya dicekal oleh Steve. “Bilang ke Justin dulu. Dia pasti marah karena kita pergi tanpa pamit.” Steve merasa tubuhnya merinding beberapa kali. Benar saja, Justin sedang mengumpat Steve karena pergi tanpa kabar. “Sialan! Kalau dia pulang aku akan menghukumnya.” Ia melihat matahari yang mulai turun ke sisi barat. “Awas saja!” Justin pun memilih menunggu dengan tenang sambil bermain ponsel. Namun siapa sangak kalau ada dua orang pria yang menerobos tanpa izin. “Apa kabar Raja Adeus?” tanya Lion sambil memainkan pisaunya. “Bagaimana kalian bisa masuk?” Justin mulai bersikap waspada. Mereka berdua tak mau menjawab, langsung menyerang Justin dengan membabi buta. Hingga akhirnya, tubuh pria itu terpental ke tembok. Dua lawan satu bukan perkelahian yang adil. “Kalian!” Sebuah pukulan keras mendarat diwajah Justin sampai pingsan. “Beres... kita bawa dia pergi,” kata Maxel sambil menggendong Justin dipundak layaknya karung beras. “Kalian bereskan sisanya. Terimakasih sudah bekerja sama.” Lion menyentuh bahu seornag pria yang berdasi rapi tersebut. Dia tampak gemetar hebat tapi berusaha menenangkan diri. “B-bereskan semuanya. Dan tutup mulut kalian! Anggap tak tahu mengenai kejadian ini.” Sang pemilik hotel, ternyata adalah bawahan dari pria bertudung. Sungguh kebetulan yang terduga. Sayangnya dia hanya manusia biasa, bukan pengendali seperti mereka. Begitu smapai diruangann, pria bertudung itu langsung tepuk tangan. “Kerja yang bagus... aku menyukainya.” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD