Bab 28

1197 Words
Prancis 09.00 AM Hotel Shangri-La Paris Hotel Shagri-La Paris merupakan hotel sangat megah. Dengan perpaduan dekorasi Eropa dan Asia akan memanjakan mata setiap pengunjung yang singgah. Hotel itu memiliki seratus kamar dan suit, satu bar dan dua restoran, di antaranya memiliki bintang Michelin, serta memiliki pemandangan indah dari Menara Eiffel dan Sungai Sine. Tak heran banyak turis asing yang memilih pergi ke hotel tersebut. Intinya benar-benar megah dan tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Steve langsung membanting tubuhnya ke ranjang ketika baru saja sampai. Sedangkan Zack membuka pintu menuju ke balkon. Tampak Menara Eiffel terlihat jelas, menjulang tinggi dan indah. Justin pun memilih menggunakan waktu untuk berdiskusi bersama Zack. Mumpung Hans juga tengah lelah dan bersadar ke punggung sofa. “Zack,” panggil Justin berdiri tepat disamping kanan Zack. “Emmm,” jawabnya singkat, sedikit tak peduli. “Aku tak ingin membuang waktu. Kau tahu kan maksudku?” Justin yakin kalau Steve sudah memberitahu semuanya perihal batu kehidupan. “Jadi, apa yang aku lakukan untuk mendapatkan batu kehidupan berikutnya?” Zack menengadah, terus menatap tangan kosong itu. Ia membayangkan ada bola api kecil di atas telapak tangannya. Benar saja, bola api itu menyela. Dan Justin tampak terkejut. “Lakukan sekali lagi!” pekiknya tertahan. Zack mencoba melakukan sekali lagi, tapi tak berhasil. “Sangat sulit. Tadinya mudah.” Apakah elemen miliknya juga tak akan aktif di jika matahari muncul? Ia sendiri juga tak tahu. “Sudahlah... mungkin tadi hanya hal yang tak terduga saja.” Justin menepuk pelan bahu Zack. “Jangan kecewa.” Inginya tidak kecewa, tapi tetap saja raut wajah pria itu tampak berbeda dari sebelumnya. Justin pun mendesah ringan. “Melihatmu seperti itu, haruskah kita melanjutkannya?” “Memangnya kenapa?” Zack menatap manik Justin dengan lekat. “Apa yang kau takutkan?” Mengingat Zack yang dingin, besar kemungkinan misi yang akan dikerjakan mengalami kesulitan. “Kali ini kau harus menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang dari manusia.” Zack melongo, tak berkata apapun. Merasakan cinta dan kasih sayang dari manusia? Sangat tidak mungkin karena hatinya sekeras batu. “Kau tahu sendiri, aku malah mengusir Liana.” Zack membuang muka ke arah lain. “Jangan bercanda denganku.” “Sangat disayangkan Liana tak ada. Tapi, bukan berarti kau tak punya kesempatan lain.” Justin mengambil sesuatu di dalam tasnya. “Bekerjalah menjadi pengasuh anak.” Kali ini bukan melongo, Zack langsung syok sambil membulatkan matanya dengan sempurna. “Apakah kau waras? Bagaimana bisa aku berhadapan dengan anak-anak.” Tampang Zack yang tinggi besar cukup membuat anak-anak ketakutan. “Aku seratus persen waras. Kau hanya menjadi asisten dari dokter disana. Jangan khawatir.” Jutsin tersenyum sambil menyerahkan berkas kepadanya. “Itu semua data dirimu. Dan akan aku kirim ke seseorang. Kebetulan hari ini kau bisa mulai bekerja.” Dia gila, batin Zack frustasi. Ada penyesalan di dalam keputusannya mengenai Liana. Jika ia tahu, tentu tak akan menghapus hubungan di antara mereka berdua. “Dan sekarang pergilah ke alamat ini.” Justin memberikan kartu nama kepada Zack. Ia pun balik badan sambil tersneyum meninggalkannya. “Steve...,” panggil Justin saat mendekati ranjang, tempat Steve tidur. “Ada apa?” Steve masih tengkurap karena sangat malas tidur terlentang. “Minta orangmu untuk mengantar Zack ke suatu tempat.” Justin hendak pergi, tapi tangannya dicekal oleh Steve. “Jadi, apa yang sudah kau rencanakan?” Pria itu pun duduk, “Bola kehidupan elemen apa yang akan menjadi misi selanjutnya?” “Elemen tanah,” kata Justin singkat. Tawa Steve langsung pecah seketika, membuat semua orang berkumpul. Hans yang tadinya tidur pun sontak duduk tegak. “Oh... maafkan aku. Kalian semua pasti terkejut.” Steve bangkit dari ranjang, menuju ke balkon melewati Zack begitu saja dan segera menghubungi seseorang. “Ada apa dengannya?” tanya Zack tampak kesal. “Jangan memikirkannya. Kau bersiaplah ke tempat yang aku rekomendasikan.” Justin pun berbaring di ranjang menggatikan Steve. “Kemana Zack akan pergi, Jus?"tanya Hans penasaran. “Tidak usah ikut. Biarkan dia pergi sendirian. Kita beristirahat sampai menjelang sore.” Justin pun menutu kedua matanya. “Kenapa kau tak menemaniku, Jus?” teriak Zack dengan nada tinggi. “Sudah..., jangan bertengkar,” sela Steve bijak. “Aku akan pergi bersamamu. Bolehkan... Justin?” “Terserah kau saja.” Begitu mendapatkan lampu hijau. Steve menyeret Zack untuk segera keluar dari hotel tersebut. “Kenapa kau tampak terburu-buru?” “Itu karena aku tak sabar.” Steve melihat orang yang sedang menunggunya. “Kita masuk mobil sekarang.” Steve tampak senang. Jelas iya karena akan mendapatkan tontonan gratis. Ia akan mengabadikan momen di mana Zack berada di dalam lingkungan anak-anak. “Pergi ke alamat ini!” titah Steve sambil menunjukan sebuah kartu nama. Mobil mereka pun langsung melaju meninggalkan hotel. Sedangkan Hans menatap kepergian mereka dari balkon. Pria itu tersenyum tipis, sangat tipis malah. Jika tidak di tatap penuh selidik, tak ada yang tahu sama sekali. “Seperti yang diharapkan,” gumam Hans dan pria bertudung hitam bersamaan. Pria itu sedang berdiri di depan cermin. Kesenangan yang dirasakan harus terganggu karena ada seseroang tak di undang datang. “Katakan, apa yang kau inginkan, Will?” tanya pria itu dengan aura dingginya. “Saya ingin sekali segera melenyapkan manusia itu sekarang, Tuan.” Bukan malah dipuji, tapi Will dihadiahi sebuah tamparan yang cukup keras. “Hanya aku yang bisa membunuhnya!” “Maafkan saya, Tuan.” Will memegangi pipinya sendiri dan langsung pamit pergi. “Bodoh,” geram pria itu tertahan, lalu mengepalkan tangannya. “Ares... apapun yang terjadi, kau harus lenyap ditanganku!” teriakan diiringi dengan guntur dan kilat menyambar berulang kali. Zack yang berada di mobil tampak terkejut karena mendengar guntur tersebut. “Pasti ada seseorang yang menaruh kebencian kepadaku,” gumam Zack didengar oleh Steve. “Siapa yang peduli. Yang harus kau pedulikan adalah tempat itu.” Pria tersebut membuka pintu mobil karena sudah sampai ke tempat tujuan. Zack menatap sebuah gedung itu dengan pandnagan kosong. Banyak anak-anak sedang bermain disana, ada yang sedang kejar-kejaran, menangis, berkelahi dan juga mengamuk. “Pekerjaan macam apa yang harus aku lakukan?” Melihat tubuh Zack yang tampak besar dan tinggi, tentu anak-anak akan takut padanya. Lihat para orang dewasa yang mencoba mengendalikan situasi. “Hey! Kapan kau akan berdiam diri saja, Zack? Cepat keluar!” sentak Steve dengan sambil mengetuk jendela kaca mobil tersebut. Zack hanya berdecih, keluar dalam keadaan mood kurang baik. “Sialan!” geram Zack menatap gedung itu penuh permusuhan. Sementara Steve tertawa didalam hati karena melihat tingkahnya yang lucu. Ah, kapan lagi dia menderita. Dulu sangat angkuh, sekarang kau dipermainkan. Zack merasa gila karena harus berhadapan dengan anak-anak yang sangat sulit di atur. Jika bisa memutar balikkan waktu, tentu memilih Liana adalah jalan terbaik. Sayangnya, semua sudah menjadi bubur, tak dapat di ulang kembali. Menyebalkan, aku terjebak, erangnya frustasi di dalam hati. Anak-anak yang melihat mobil mewah datang aktivitas mereka terhenti. Dua orang pria tampan itu sedang berjalan menuju ke arah mereka. Ada tatapan berbinar dan juga kekaguman tiada henti. “Dia Steve Wilson!” pekik salah satu seorang bocah berkelamin perempuan sambil menutup mulutnya tak percaya. Langkah kaki Steve langsung terhenti. “Gawat..., kenapa ada bocah cilik yang mengenaliku?” gumamnya sambil tersenyum canggung, melambaikan tangan kanannya dengan hati-hati. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD