Jelita terlihat duduk di hadapan customer service sebuah bank dengan perasaan was-was. Ditangannya sebuah map cokelat yang di pegangnya erat.
“Nona Jelita, bisa saya lihat dokumen sertifikatnya?” tanya seorang pegawai bank.
“Ah, ini Pak.” jelita menyerahkan map yang ada di tangannya dengan hati yang berat.
Pegawai bank itu kemudian memeriksa dengan teliti lembar demi lembar berkas yang ada di tangannya lalu menatap Jelita.
“Untuk ukuran luas tanah serta bangunan rumah Anda, pihak bank hanya bisa memberikan uang pinjaman sebesar 50 juta. Silakan lihat dulu rincian pembayarannya di sini, ya.” Pria itu menyerahkan selembar kertas yang berisi list kredit yang harus di bayarkan Jelita setiap bulannya untuk membayar cicilan hutang yang akan ia pinjam.
“Baik, Pak. saya setuju,” ucap jelita setelah membaca beberapa saat.
“Baik, silakan tanda tangan di sini,” ucap pegawai bank itu.
Jelita mengangguk, sebenarnya ia tidak ingin melakukan ini. Rumah itu adalah satu-satunya harta yang mereka miliki. Akan tetapi ia tidak ada pilihan lain, toh hutangnya bisa ia cicil dengan sisa gajinya nanti.
Yang penting sekarang bagaimana Ia harus menyediakan obat kemoterapi ayahnya untuk 2 bulan kedepan. Selebihnya ia akan pikirkan lagi bagaimana caranya mendapatkan uang untuk pengobatan selanjutnya.
Jelita menghela nafas dalam sebelum melangkah keluar dari bank. Di dalam tasnya sudah ada uang cash 50 juta untuk selanjutnya akan di berikan kepada pihak rumah sakit agar pengobatan ayahnya bisa tepat waktu.
Dengan sangat hati-hati, ia memperhatikan sekitar. Takut jika ada orang jahat yang menyadari jika ia membawa uang banyak di dalam tas ranselnya. Ia juga merasa sangat takut.
Ia pun melaju bersama motornya dengan waspada. Perjalanan masih membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke rumah sakit.
Jelita melaju dengan tenang di atas jalan aspal yang sedikit lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas karena daerah itu adalah hutan kota, di mana hanya ada pohon rindang yang tumbuh.
Tiba-tiba dari ada sebuah mobil hitam menyalip motornya dan nyaris menabraknya. Jelita terkejut bukan main, apalagi ternyata mobil itu berhenti dan menghadangnya.
Jantungnya mulai berdebar kencang, rasa takut menyelimutinya. Kenapa ia harus mengalami peristiwa seperti ini? kenapa mobil itu menghalangi jalannya? Apakah mereka akan merampoknya. Oh tidak.
Saat melihat dua orang keluar dari mobil hitam itu, Jelita langsung memutar balik motornya dan melaju kencang. Ia tidak boleh menyerah begitu saja, ia harus menyelamatkan uangnya.
Kedua pria yang tidak menyangka Jelita akan begitu gesit menghindari mereka, langsung berlari masuk ke dalam mobil dan mengejar Jelita.
Sementara itu, Jelita dengan susah payah memaksa motor bututnya untuk melaju kencang menghindar sejauh-jauhnya dari mobil itu. Akan tetapi, secepat apa pun ia berusaha, kecepatan laju motornya itu tidak sebanding dengan kecepatan mobil hitam itu.
Mereka pun akhirnya bisa menyusul Jelita dan kembali membuat gadis itu tersudut di tepi jalan. Tidak ingin kecolongan lagi, kedua pria itu dengan cepat keluar dari mobil dan menghampiri Jelita yang berdiri ketakutan sambil memeluk erat tasnya.
Air matanya mulai berjatuhan, ia tidak ingin uang yang ia sudah dapatkan hilang begitu saja. Ayahnya harus di beri pengobatan secepatnya.
“Serahkan apa yang kau punya!” perintah salah satu dari kedua pria itu.
“Jangan tuan, saya tidak punya apa-apa! tolong lepaskan saya,” pinta Jelita memelas.
“Apa yang kau bawa di tasmu itu?!”
“Ti..tidak ada apa-apa tuan, hanya buku pelajaran saya saja. Be..begini saja, ambil saja motor saya tapi tolong biarkan saya pergi.” Jelita mulai panik, tapi ia berusaha mencari alasan sebisanya untuk melindungi tasnya.
“Hm… boleh juga penawaranmu gadis cantik. Tapi sayangnya, kami hanya penasaran dengan isi tasmu saja. Jadi jika kau ingin kami biarkan kau pergi, cepat serahkan tasmu sekarang.” Salah satu dari pria itu mulai berjalan menghampiri Jelita.
“Tidak! Sudah saya bilang hanya ada buku pelajaran di dalam tas ini dan sampai kapanpun saya tidak akan menyerahkan tas saya!” Jelita menolak dengan tegas. Ia dengan cepat berlari dan kabur dari pria yang akan merampas tasnya itu.
“Hei jangan kabur kamu…!!” teriak pria itu.
“Jangan diem aja, cepat kejar gadis itu!”
Keduanya pun berlari mengejar Jelita yang sudah berlari sekuat tenaga menjauhi kedua pria itu. Akan tetapi, kemampuan larinya terbatas. Ia tidak bisa berlari jauh dan menghindar dari kejaran mereka.
“Toloong….!!!” Teriaknya meminta bantuan. Namun, tempat itu masih di area hutan kota yang cukup sepi. Sehingga tidak satu pun yang mendengarkan teriakannya. Ia pun terus berlari dan berteriak.
Untung saja pada saat genting itu, sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapannya. Jelita dengan cepat menghampiri mobil itu dan memukul-mukul kaca jendelanya.
“Tuan, tolong selamatkan saya..!” pinta Jelita ketakutan. Orang-orang itu sudah mendekat membuat Jelita semakin panik.
Kaca mobil itu terbuka dan Jelita terkejut melihat Abizar sedang menatapnya bingung.
“Kau kenapa, ayo masuk!” perintah Abizar.
Dengan cepat Jelita masuk ke dalam mobil.
Jelita bernafas lega saat Abizar mulai melajukan mobilnya meninggalkan keuda pria yang hanya bisa menatapnya dengan kesal.
Jantung Jelita masih memburu, tadi itu nyaris saja. Seandainya mereka berhasil merampas tasnya, maka ia tidak tahu lagi apa yang akan terjadi dengan ayahnya.
“Sekarang jelaskan padaku, kenapa kau sampai ketakutan dan di kejar oleh kedua prema itu!”
Jelita tersentak, ia hampir lupa kalau orang yang menolongnya adalah Abizar, bosnya di kantor. Pria yang istrinya memiliki niat untuk menikahkannya dengan dirinya. Mengingat hal itu, ia tertunduk.
“Hei, apa kau dengar pertanyaannku?” Abizar menengur.
“Ah, i…iya Pak. Eh, tadi itu orang-orang yang ingin merebut tas saya. Dan motor…motor saya masih ada di tempat tadi, Pak. Kalau sampai mereka mengambil motor saya, bagiamana?” Jelita kembali panik. Ia lupa kalau barang berharganya yang lain masih tertinggal dan entah masih ada atau sudah di curi oleh orang-orang tadi.
“Hah.. kau ini, selalu menyusahkanku saja. Seharusnya kau jangan mengambil jalan yang sunyi tadi jika berkendara sendirian.” Abizar menggerutu. Ia lalu menghubungi seseorang.
“Kau cek sebuah motor matik warna putih merek Gamaha di jalan sekitar hutan kota, sekarang,” perintahnya di telepon sebelum mematikan sambungan telepon.
“Terima kasih, Pak,” ucap Jelita tanpa sedikitpun mengangkat wajahnya.
“Iya, tidak apa-apa. Lain kali kau harus berhati-hati lagi. Jangan sampai bertemu dengan orang-orang seperti mereka,” ucap Abizar memberi nasehat.
Jelita hanya mengangguk. “Jadi, kau mau ke mana?” tanya Abizar kemudian.
“Ke rumah sakit, Pak,” sahut Jelita.
“Saya antar sekalian kau ke sana,” ucap Abizar sambil mempercepat laju mobilnya.
“Tidak perlu, Pak. Saya bisa naik ojek ke rumah sakit kok. Bapak tidak usah repot. Lagi pula sepertinya sudah aman, Pak. Saya bisa turun di sini saja,” kata Jelita menolak.
“Tidak perlu kemana-mana, sejak awal kau sudah merepotkanku. Jadi duduk diam di tempatmu saja.” Jelita hanya bisa menelan ludah keringnya. Ia benar-benar metasa tidak enak dengan bosnya ini.
Mobil Abizar berhenti di depan rumah sakit, Jelita keluar dari mobil sebelum mengucapkan terima kasih. Gadis itu pun segera masuk ke dalam rumah sakit. Sedangkan Abizar melanjutkan perjalanannya.
Mereka tidak menyadari, sejak tadi sebuah mobil mengikutinya. Mobil itu berhenti di depan rumah sakit, kaca mobil itu terbuka dan terlihat Jovanka dengan kaca mata hitamnya menatap ke arah rumah sakit.Bab
menatap ke arah rumah sakit.