Wanita Yang Mengandung Anak Kita

1150 Words
Jovanka menghela nafas, membuka kacamatanya dan menatap ke depan. “Ternyata mereka dekat, itu lebih bagus. Berarti aku hanya harus menyakinkan gadis itu. Mereka harus menikah dan memiliki keturunan. Yah, rencanaku gagal kali ini tapi aku akan berusaha agar mereka bisa menikah,” gumannya lalu menyalakan mesin mobilnya dan melaju. Beberapa minggu berlalu, Jelita semakin senang melihat perkembangan baik kesehatan ayahnya. Semakin hari semakin terlihat jika ayahnya sudah sehat meskipun rambut di kepalanya sudah hilang. Bahkan semua bulu yang ada di tubuhnya hilang. Hari ini adalah puncaknya karena ayahnya ternyata sudah bisa pulang ke rumah. Beruntung pihak bank tidak sampai menyegel rumahnya, jadi mereka bisa tinggal di sana sambil terus menyicil hutang. “Pelan-pelan saja Ayah, awas hati-hati.” Dengan penuh perhatian jelita menuntun ayahnya masuk ke dalam rumah. Mengantar ayahnya masuk ke dalam kamar dan merebahkannya di kasur. “Padahal Ayah sudah tidak apa-apa,” ucap pak Yadi sambil memperhatikan sang putri yang sibuk menyiapkan makan dan minumnya. “Udah, pokoknya Ayah harus banyak istirahat. Meskipun dokter bilang kalau Ayah sudah sehat. Jelita tidak ingin Ayah melakukan sesuatu atau apa pun. Besok kalau Jelita berangkat kerja, Ayah akan di temani Beni, Jelita tidak mau ada apa-apa. Ayah paham kan?” jelas jelita sambil menyodorkan semangkuk bubur ayam kepada ayahnya. Pak Beni menerimanya dan mulai menyantap makanan kesukaannya itu. Pria itu tersenyum menatap putrinya. Dalam hati ia sangat bersyukur memiliki seorang putri yang begitu sayang padanya. “Jelita, terima kasih sayang, kau telah berusaha keras untuk Ayah. Kau seharusnya sudah mulai memikirkan kebahagiaanmu sendiri,” ucap pak Yadi. Jelita menatap ayahnya sambil tersenyum. “Ayah, kebahagiaanku adalah melihat Ayah sehat dan terus hidup bersamaku di sini. Aku tidak perlu orang lain untuk membuatku bahagia, jadi tidak boleh berbicara seperti itu lagi. Yang harus Ayah pikirkan adalah bagaimana supaya Ayah tetap sehat. Itu saja,” jelas Jelita sambil menggenggam tangan ayahnya. Pak yadi hanya tersenyum dan mengangguk. Matanya tampak berkaca-kaca. Setelah merapikan kamar dan menyiapkan semua keperluannya ayahnya, Jelita keluar dan menuju kamarnya. Merebahkan tubuhnya yang letih. Pikirannya melayang, ia kembali memikirkan bagiamana lagi harus mencari uang untuk pengobatan selanjutnya. Uang pinjaman bank sudah hampir habis dan tidak ada lagi sumber keuangan yang bisa ia andalkan. Ia terus memikirkan hal itu sampai akhirnya tertidur. Pagi-pagi sekali Jelita bangun dan mempersiapkan kebutuhan ayahnya. Meskipun pak Yadi mengatakan ia bisa melakukannya sendiri tapi Jelita tidak sedikitpun membiarkan ayahnya beranjak dari tempat tidur kecuali untuk mandi. Akhirnya pak Yadi hanya bisa duduk di tempat tidur dan membiarkan Jelita yang melakukan semuanya. Setelah semuanya selesai, Beni datang sesuai janjinya untuk merawat ayah Jelita selama Jelita di luar rumah. Beni adalah pemuda berumur 20 tahun, tetangga yang Jelita sudah anggap seperti saudara sendiri. Kebetulan Beni cuti kuliah dan bekerja sebagai freelancer sehingga waktunya banyak ia habiskan di rumah. Ia menyanggupi pemintaan Jelita untuk menjaga ayahnya. sehingga Jelita tidak khawatir meninggalkan ayahnya di rumah. “Aku titip ayahku ya, Ben,” ucap Jelita. “Siap, Kak. Jangan khawatir, semua aman di tanganku.” Beni membalas dengan guyonan. Tangannya terangkat dan memberikan gadis itu ibu jarinya. Jelita tersenyum lalu meninggalkan rumah setelah pamit dengan ayahnya. “Kak Jelita sangat perhatian dan sayang sama bapak ya,” ucap Beni setelah Jelita menghilang dari pandangan. “Iya, bapak juga bersyukur memiliki putri sebaik dia. Bapak berharap suatu saat Jelita bertemu dengan jodohnya yang akan membuatnya lebih bahagia dari sekarang,” sahut pak Yadi. “Kalau aku sukses nanti, boleh gak pak, Kak Jelita aku lamar jadi istri?” *** Jelita sedikit terlambat masuk kantor karena motornya tiba-tiba mogok ditengah jalan. Ia bergegas masuk kedalam lift menuju ruang kerjanya dan mulai bekerja. Tapi, setelah beberapa lama, ia mendapatkan panggilan dari kepala ruangan. “Ibu memanggil saya?” tanya Jelita. “Iya, tolong kau berikan berkas ini ke sekretaris pak Abizar. Nanti dia saja yang menyerahkan ke beliau langsung,” jawab sang kepala ruangan sambil memberikan beberapa map kepada Jelita. “Baik, Bu.” Jelita membawa map itu menuju ruangan sekretaris. Jelita baru saja ingin mengetuk pintu, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. “Ah, Jelita. Kebetulan kau datang. Aku mau minta tolong,” ucap sekretaris Abizar. “Loh, ini saya ingin memberikan berkas ini ke Mbak. Memangnya ada apa Mbak?” tanya Jelita sedikit bingung. “Aku harus pulang ke rumah karena anakku tiba-tiba sakit. Kalau kau tidak keberatan, tolong kau periksa berkas di map kuning ini dulu sebelum diserahkan kepada pak bos. Tolong ya, Jelita. Aku benar-benar tidak sempat buat mengecek lagi. Berkas ini harus segera ditanda tangani oleh pak Abi,” jelas sekretaris dengan tatapan penuh harap. “Oh, baik Mbak. Tidak masalah. Lagipula kerjaanku sudah selesai kok,”jawab Jelita dengan senyum. “Terima kasih Jelita, kau memang sangat baik. Kau hanya perlu memeriksa apakah ada yang salah ketik atau semacamnya. Kau bisa kan? Aku benar-benar tidak ingin merepotkanmu tapi anakku membutuhkanku sekarang.” Keluhnya dengan tatapan tidak enak. “Iya Mbak, saya akan membantu kok. Tenang saja. Anak Mbak yang lebih penting, jangan khawatir,” jawab Jelita menenangkan. “Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu ya.” Sekertaris itu pergi dan Jelita mulai bekerja. Setelah beberapa lama, Jelita akhirnya menyelesaikan pekerjaan yang diamanahkan lalu beranjak ke ruangan Abizar untuk menyerahkan berkas yang dimaksud. Jantungnya mulai bergemuruh, sebenarnya ia sedikit tegang akan bertemu lagi dengan Abizar mengingat ia beberapa kali membuat bosnya itu kerepotan. Akan tetapi, tugas harus ia selesaikan lalu kembali ke ruangannya sendiri. Toh, ia hanya akan menyerahkan berkas lalu pergi. Jelita menghela nafas dalam lalu mengetuk pintu. Pintu ia buka lalu dengan tenang ia memasuki ruangan. Tapi langkahnya terhenti saat ia melihat istri dari Abizar juga ada di dalam. Tangan Jelita meremas map yang dipegangnya, perasaannya tidak enak. “Ah, Jelita. Mari silakan masuk.” Jovanka menyapanya dengan senyum. “Loh, ada perlu apa Jelita?” tanya Abizar. “Ini Pak, saya di titipkan berkas ini oleh mbak Tiara,” jelas Jelita dengan gugup. Ia lalu menyerahkan map kuning itu ke hadapan Abizar. Hatinya merasa tidak tenang berada diantara mereka. Terlebih ia mengetahui niat Jovanka terhadapnya. Hatinya bertanya-tanya apakah Abizar juga mengetahui niatan istrinya itu? Ia semakin tidak tenang karena merasa tatapan Jovanka seakan menusuknya. “Kenapa bukan dia saja yang membawanya kemari sebelum ijin tadi?” “Katanya ia tidak ada waktu untuk mengecek ulang. Dia buru-buru karena anaknya sakit, pak.” “Ya sudah, kau boleh pergi. Terima kasih ya.” ucap Abizar kemudian membuka berkas itu untuk ia tanda tangani. Jelita membungkuk lalu melangkah keluar. Setelah Jelita keluar, Jovanka menghampiri suaminya. “Kelihatannya kau dekat dengan karyawanmu itu,” komentarnya. Abizar mengangkat wajahnya dan menatap sang istri. “Pegawai yang mana maksudmu?” tanya Abi. “Jelita,” jawab Jovanka. “Oh, tidak juga. Kami hanya beberapa kali kebetulan berpapasan. Kenapa kau bicara seperti itu? apa jangan-jangan kau cemburu?” goda Abizar. Jovanka tersenyum dan menggeleng. “Tidak sama sekali sayang, justru aku ingin dialah yang menjadi wanita yang mengandung anak kita.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD