Keputusan

1075 Words
Jelita cukup lama terdiam, berpikir keputusan apa yang harus ia ambil. Meskipun hatinya dengan pasti menolak, logikanya juga menolak. Ia tidak ingin menyia-nyiakan hidupnya yang berharga hanya untuk menjadi istri kontrak dari seseorang yang beristri hanya untuk memberinya keturunan. Apalagi masalah ini adalah menyangkut pernikahan, yang artinya setelah ia menikah, ia dan bosnya itu harus menjalin hubungan yang sangat intim. Membayangkan hal itu saja ia sudah merinding sendiri. Akan tetapi jika ia mengingat uang yang akan ia hasilkan dari kesepakatan itu, ingin rasanya ia menyetujuinya saja. Ia tidak perlu lagi bersusah payah mencari uang untuk penyembuhan ayahnya. Tapi tetap saja, ia merasa semua ini salah. “Maaf, Bu tapi… saya tidak bisa. Ini semua tidak benar. Jika memang Ibu tetap dengan keinginan Ibu, silakan cari perempuan lain yang bisa melakukannya. Saya permisi.” Jelita beranjak dari tempatnya dan melangkah pergi. “Jelita tunggu…!” Jelita menghentikan langkahnya. Jovanka beranjak dari duduknya dan melangkah menghampiri Jelita. “Aku tidak akan memaksamu lagi, tapi jika suatu saat kau berubah pikiran, kau bisa menghubungiku.” Jovanka memberikan sebuah kartu nama. Jelita menatap kartu nama itu lalu menerimanya, ia lalu melangkah pergi meninggalkan Jovanka yang menatapnya dengan menghela nafas panjang. “Aku akan melakukan sesuatu supaya gadis itu setuju,” gumannya. Setelah semua pekerjaannya selesai, Jelita kembali ke rumah sakit. ayahnya masih menjalani rawat inap karena kondisinya belum memungkinkan untuk pulang ke rumah. Jelita masuk ke dalam ruangan ayahnya. Ia melihat ayahnya tertidur, wajah damai ayahnya seketika menenangkan hatinya. Jelita menggenggam tangan ayahnya. “Ayah, cepat sembuh. Jelita tidak sanggup menghadapi kehidupan ini sendirian. Cobaan Tuhan terhadap Jelita sangat berat Ayah. Kalau Ayah sembuh kita bisa menjalani semua ini bersama dan pasti hal itu tidak seberat sekarang.” Air mata Jelita mengalir tanpa ia sadari. Hatinya kembali sedih, apalagi jika ia tidak tahu lagi kemana harus mendapatkan uang untuk biaya kemoterapi kedua ayahnya. Sementara itu di rumah, Jovanka tampak berdiri menghadap jendela besar yang terbuka dalam kamarnya. Pemandangan taman hijau tampak jelas terlihat dari tempatnya berada. Bunga-bunga yang tumbuh di sekitar taman tampak indah bermekaran, menambah kesan asri dan cantik. Jovanka masih memikirkan bagaimana membujuk Jelita agar mau menikah dengan Abizar. Ia menghela nafas dalam dan memejamkan mata. Jovanka tersentak saat merasa tangan Abizar melingkar di pinggang rampingnya. Mencium tengkuk putih mulusnya dengan lembut. “Kau lagi memikirkan apa sayang?” tanya Abizar sambil meraba dan meremas d**a istrinya. Jovanka membalikkan tubuhnya berhadapan dengan Abizar. “Kau tahu sayang, gadis yang akan kau nikahi sudah aku temukan.” Abizar menghentikan gerakannya. Ia menatap Jovanka dalam. “Siapa gadis itu?” Abizar berjalan menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya. Gairahnya seketika hilang mendengar ucapan istrinya, padahal ia ingin sekali bercinta dengan Jovanka dan meluapkan semua kepenatan pikirannya. “Dia seorang karyawan di kantormu.” Sahut Jova. Mendengar itu Abizar bangkit dan menatap istrinya. “Seorang karyawan di kantor? Siapa?” Abizar menjadi penasaran. “Aku memang sudah menjatuhkan pilihanku kepada gadis itu, tapi rupanya dia langsung menolak mentah-mentah. Padahal aku sudah menawarkan penawaran tinggi. Aku tidak menyangka dia sama sekali tidak tertarik dengan uang yang aku tawarkan, padahal ia sangat membutuhkannya. Katanya tindakanku salah, benar-benar gadis yang keras kepala. Tapi kau tahu sayang, aku semakin menyukainya. Keturunanmu harus lahir dari rahim perempuan seperti dia,” ungkap Jovanka antusias. “Apa yang kau katakan itu Jovanka? Dan Gadis itu benar, tindakan dan idemu itu tidak masuk akal. Apa salahnya kita mengangkat anak adopsi saja, jangan menyusahkan semua orang,” tutur Abizar. “Tidak Abizar, hidupku tidak akan bisa tenang sebelum bisa meyakinkan gadis itu,” ucap Jovanka. Tetap kekeh dengan pendiriannya. “Kau memang sangat keras kepala Jovanka. Aku hanya berhadap keputusanmu itu tidak akan membuatmu menyesal nanti,” ucap Abizar, ia hanya bisa kembali membaringkan tubuhnya di atas sofa lalu memejamkan mata. “Kau kan tahu, semua yang aku lakukan ini hanya semata-mata untuk mendapatkan keturunan darimu. Jika anak itu lahir, aku tidak akan meminta apa-apa lagi. Aku mohon mengertilah keinginanku kali ini sayang,” kata Jovanka sambil menghampiri Abizar yang sepertinya sudah terlelap. Jovanka mencium bibir suaminya dengan lembut, mengulumnya penuh perasaan. Seakan ia mengungkapkan permintaan maaf lewat sentuhannya itu. Rupanya Abizar belum sepenuhnya tertidur, ia membuka mata dan dengan sekali gerakan lembut, ia sudah berada di atas tubuh istrinya. Membalas ciuman Jovanka, menghisap bibir merah kenyal itu dengan agresif. Ia memang sejak tadi menahan hasrat yang sudah lama terpendam. Pekerjaan di kantor dan beberapa hal yang membuat pikirannya penat, membuatnya ingin merasakan sentuhan tubuh istrinya, melepaskan rasa stres dan letih yang ia rasakan. Tidak memerlukan banyak waktu keduanya pun sudah bersatu dalam kehangatan gelora hasrat dan cinta yang merasa rasakan bersama. Keintiman dalam kehangatan dan panas tubuh dari api gairah yang membara membuat peluh menetes di tubuh mereka. Derik ranjang yang yang bergetar, seakan menjadi saksi betapa kedua insan itu larut dalam cinta dan gairah. Tubuh Abizar mengejang sebelum ambruk dengan peluh bercucuran di tubuhnya. Deru nafas keduanya masih memburu. “Apa kau puas?” tanya Jovanka kepada suaminya. Abizar tersenyum, ia kembali menatap tubuh Jovanka dengan tatapan panas. “Tubuhmu ini adalah obat pelipur laraku sayang. Aku bahkan tidak akan bisa bertahan tanpamu Jovanka, jadi aku mohon jangan tinggalkan aku apapun yang terjadi. Aku tidak akan bisa hidup tanpamu, aku akan melakukan apa pun asal kau tetap bersamaku.” Ungkapan tulus Abizar membuat Jovanka tersenyum puas. Suaminya benar-benar sangat mencintainya, ia sangat bahagia dan sangat beruntung memiliki Abizar. “Iya sayang, aku juga sangat mencintaimu, Abizar. Kau tau, aku merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia ini karena telah memilikimu. Terima kasih ya, sayang sudah memenuhi keinginanku ini. Aku berjanji, setelah semuanya selesai dan akan kita lahir, kita berdua akan menjadi pasangan yang paling berbahagia di dunia ini.” Jovanka memeluk tubuh suaminya, mereka pun terlelap. Beberapa hari telah berlalu, Jelita semakin cemas karena uang untuk pengobatan ayahnya belum juga terkumpul. Lagipula apa yang akan ia dapatkan dengan waktu yang singkat itu? Ia menatap ayahnya yang tertidur. Kata dokter, kesehatan ayahnya berangsur membaik. Meskipun dampak pasca pengobatan sudah mulai terlihat di fisik sang ayah. Rambut ayahnya mulai rontok, kulitnya mulai menghitam. Tapi keluhan sakit di sekitar kepalanya juga sudah berkurang. Jelita sangat senang sekali melihat perkembangan sang ayah. Beberapa hari lagi adalah jadwal kemoterapi ayahnya selanjutnya, tapi ia belum juga mendapatkan cukup uang untuk menebus obat yang sangat mahal itu. Jelita menatap lama, kartu nama yang ada di tangannya itu. apa yang harus ia lakukan? Ia kembali menatap ayahnya. “Ayah, maafkan aku,” ucapnya lalu beranjak pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD