"Kamu tu kalau pulang kok selalu mepet sih?" tanya Mama ke Putri.
"Putri sibuk banget Ma," jawab Putri sambil meluk dan mencium Mamanya.
Papa memperhatikan mereka berdua dari ruang keluarga. Dia sedang menonton televisi.
"Kamu kemana dulu?" tanya Papa dengan suara datar.
Putri sedikit kaget.
"Nggak kemana-mana kok Pa," jawab Putri.
"Kamu itu dibiarin makin menjadi ya? Selama ini Papa diam saja, pura-pura tak tahu, Papa berharap dengan makin dewasanya kamu, kamu akan berubah dan sadar dengan sendirinya. Tapi malah makin parah dan ngawur," jawab Papa.
Putri merasa kalau ada sesuatu yang salah disini. Dia hanya diam dan menundukkan kepalanya.
"Kamu anggap Papa ini anak kecil yang gampang dibohongi?" bentak Papanya mulai dengan nada marah.
"Paaa..." panggil Mama dengan nada memohon sambil memegangi tangan Putri.
"Papa sudah tanya Om. Kamu pulang pagi tadi dari Salatiga kan? Emang butuh berapa jam dari sana ke sini?" bentak Papa lagi tanpa mempedulikan rengekan istrinya.
"Dan kamu ngelakuin ini bukan sekali ini saja kan?"
Putri terdiam.
Dia sadar sekarang kalau Papa dan Mama mungkin tahu kalau selama ini Putri selalu nyolong kesempatan buat nyamperin si Sempak tiap kali pulang dan baru ke rumah setelah itu.
"Papa nguliahin kamu biar kamu itu bisa mikir. Lebih dewasa. Nggak lagi tertipu sama cinta monyet SMAmu. Tapi kamu tu nggak nyadar juga!!"
"Papa sengaja nyuruh kamu kuliah di luar kota biar kamu tu bisa mempertimbangkan lagi kelakuan anak-anakmu itu!!"
"Tapi makin hari, bukannya tambah dewasa, kamu justru makin berani dan tambah parah," omel Papanya panjang lebar.
Putri masih tetap terdiam. Dia hanya bisa berharap kalau semua ini segera berakhir.
"Mandi sana!! Habis ini kamu ikut Papa!!" kata Papa tegas dan bernada perintah.
Tanpa berkata-kata Putri berjalan ke kamarnya.
*****
Tiga orang sedang duduk di sebuah resto yang mewah dan terlihat sedikit sepi. Dua orang laki-laki dan seorang wanita. Dari raut wajahnya, Putri menduga kalau mereka sama seperti dirinya. Orang tua dan sang anak.
Ketika melihat semua ini, Putri baru sadar apa yang sekarang sedang dia alami.
Perjodohan.
Dulu dia suka ngejekin Annisa saat dia dijodohin sama Abahnya. Tapi justru kini dia sendiri yang ngalamin itu.
Dan parahnya lagi. Dia dijodohin saat usia sudah bisa dibilang dewasa. Kalau dulu Nisa bisa ngelak karena masih belum cukup umur, tapi Putri sekarang? Tak mungkin dia pake alasan serupa untuk menunda semua ini.
Putri sadar kalau dia sekarang sedang mengalami mimpi buruk, mimpi terburuk yang pernah dia alami seumur hidupnya. Cuma sebuah nama yang sekarang ada di kepala Putri.
"Ayang," gumamnya dalam hati.
Entah kenapa, jalan yang dulu terlihat terang dan indah kini berubah menjadi gelap dan temaram. Impiannya untuk bisa married sama si Sempak kini terancam. Dan ancamannya bukan sekedar gurauan.
*****
"Namaku Giovanni. Panggil aja Jovan, tapi jangan Vani, terlalu feminim," kata cowok yang sekarang berjalan di sebelah Putri.
Putri tahu kalau cowok itu sedang mencoba untuk terlihat lucu, tapi Putri tak tertawa, tersenyum saja tidak.
Putri melirik ke arah cowok yang sekarang ada disebelahnya.
Ganteng, manis, kaya, kuliah pasti. Dia juga lucu dan kelihatannya enak diajak ngobrol. Sosok cowok sempurna di mata para gadis-gadis alay pecinta drama korea.
Tapi,
Putri doesn't feel it.
Terserah apa kata orang, tapi Putri sama sekali tak merasa ada geletar dalam dadanya sedikit pun. Tidak seperti apa yang Putri alami saat bersama si b******k, si b***t, Si Tukang Celup yang bernama Handoyo.
Sekalipun dia selalu makan hati saat bersama si Sempak. Sekalipun dia tahu kalau cowoknya itu terlihat tak seganteng dan sekeren si Jovan.
Bahkan tak ada seujung kukunya pun, tapi Putri merasakannya.
Dia sayang Aan, more than anything in the world.