Keesokan paginya.
Ira tak ada di sampingku saat aku terbangun.
Aku melirik ke arah jam dinding di kamarku dan ternyata sudah jam 7 pagi.
Nggak subuhan. Si b***t yang belum juga tobat. Kalau Ira dah pasti bangun sebelum subuh.
Aku menggeliat dan bangun lalu keluar dari kamar.
Kok sepi?
Aku berjalan ke dapur untuk ambil minum. Ketika balik ke ruang depan, Ira, Ibu, dan Ningrum ketawa-ketawa sambil masuk ke dalam rumah menenteng beberapa kresek plastik berisi belanjaan. Berarti mereka dari pasar barusan.
Ningrum langsung monyong ketika melihat aku dan ngeloyor ke dapur. Entah apa maksudnya. Ibu cuma tersenyum simpul, sedangkan Ira menunduk malu.
Apaan sih?
"Mas udah sarapan?" tanya Ira sambil mencium pipiku.
Maklum cuy, pengantin baru. Masih mesra-mesranya. Sekalipun dari jaman pacaran kami juga sudah mesra. Wkwkwkwk.
"Belum," jawabku.
"Ya udah, kita beli soto kok untuk Mas. Kami tadi sudah makan disana. Ira ambilin piring dulu ya," kata Ira lalu mengambil plastik dari tangan Ibu dan masuk ke dapur.
"Adek ngapain sih Bu? Bangun-bangun monyong aja," tanyaku ke Ibu.
"Kalian tu. Berisik banget, kata si Ningrum," jawab Ibu sambil tertawa kecil.
Aku langsung ngeh.
Pantesan si Ira malu. Tapi kan semalem dah aku ingetin. Dianya yang teriak-teriak kan. Aku serba salah juga.
"Bu, kami cari rumah sendiri ya?" tanyaku pelan.
Ibu justru terlihat kaget waktu aku nanya gitu.
"Kenapa? Gara-gara itu?" tanya Ibu.
Aku menganggukkan kepala.
"Nggak usah. Toh, Ira kan pulang juga seminggu sekali. Kalau kamu mau cari rumah sendiri, nanti tinggal sendirian malah," jawab Ibu.
"Tapi..." protesku.
"Lagian, disini kan nggak ada lakinya. Cuma ada Ibu sama Ningrum. Kalau nggak ada lelaki dalam rumah, nanti..." Ibu diam dan tak melanjutkan kata-katanya.
Aku tahu maksudnya.
Apapun ceritanya Ibu kan wanita, statusnya juga janda. Meskipun berumur, tapi Ibu masih cantik, mungkin dia takut distaronin laki-laki tak jelas atau jadi bahan gunjingan.
Aku kasihan juga. Niatku untuk cari rumah sendiri juga sedikit meredup. Tapi...
"Tapi, kami kan... Jadinya nanti..." kataku ragu-ragu mau ngomong soal aktivitas malam bersama gadisku.
"Udah, nanti biar Ibu yang ngomongin Ningrum. Biar dia tidur sama Ibu aja," jawab Ibu memberi solusi.
Tak seperti keluarga lain. Ibu emang memilih kamar di lantai dua. Anak-anaknya dibawah. Kamar Ningrum sebelahan sama kamarku.
Di atas cuma ada satu kamar tidur utama. Jadi kalau emang beneran Ningrum tidur sama Ibu diatas, aman sikit dunia. Wkwkwkwkwk.
"Iya Bu," jawabku mengalah dan setuju dengan usul Ibuku.
*****
"Assalamualaikum,"
Terdengar suara salam dari depan rumah. Aku masih merokok di ruang tamu. Ira sama yang lain didalam.
"Waalaikumussalam,"
Seraut wajah cantik tersenyum manis di depan rumah.
Putri.
Wkwkwkwkwk.
Muallaf?
Nggak.
Tapi nggak tahu kenapa dia ikutan salam juga. Biarin aja.
"Ayang... Putri kangen," kata Putri sambil memelukku.
Aku bisa merasakan tubuhnya terasa sedikit hangat. Sakit ni anak.
"Kamu sakit ya?" tanyaku.
Putri dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Mana ada? Ni panas gini badan," tegurku.
"Nggak kok Yang, Putri cuma kecapekan," jawab Putri.
"Put..." tegurku lagi.
"Apa sih Yang..." jawab Putri.
"Kan dah dibilang jangan dipaksain," kataku.
"Tapi Putri pengen cepet lulus Yang. Pengen kerja terus mandiri, biar bisa married sama Ayang. Ayang nggak suka ya?" tanya Putri.
"Suka lah. Tapi kalau kamu sakit kek mana?" tanyaku.
"Udah ah, Putri tu kangen. Pengen dimesrain, malah Ayang cerewetin," gerutu Putri sambil menggelayut manja.
"Kan itu karena aku sayang Putri, makanya cerewet. Putri nggak suka?" tanyaku.
"Suka lah Yang," jawab Putri cepat sambil nyosor.
Kami berciuman mesra di ruang tamu. Putri nggak protes meskipun aku barusan ngerokok.
"Ehm."
Suara dehemen mengagetkan kami berdua.
Putri melepaskan ciumannya dan melirik ke arah si pemilik suara.
"Mbak..." kata Putri pelan.
Ira tersenyum, "Duhhh. Yang datang langsung main nyosor," goda Ira.