Ciuman pertama

2311 Words
Hari ini Aruna enggan pergi kemana-mana. Setelah sarapan pagi, dirinya hanya berdiam diri di dalam kamarnya. Sedangkan Brian sejak tadi menunggu Aruna yang tak kunjung keluar dari kamarnya, memutuskan untuk menghampiri Aruna di kamarnya. “Apa sih yang dia lakukan di dalam kamar?” Brian melangkah menaiki anak tangga satu persatu. “Gak mungkin ‘kan dia menghabiskan waktu liburnya dengan hanya tiduran di dalam kamar?” Brian mengetuk pintu kamar Aruna, ia ingin menepati janjinya mengajak Aruna jalan-jalan menggunakan motornya. Aruna yang mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. “Apa sih! Mengganggu aja!” gerutunya lalu berjalan menuju pintu dan membukanya. Aruna terkejut saat melihat Brian berdiri di depan pintu kamarnya. "Apa!" tanya Aruna dengan nada ketus. "Jadi jalan-jalan gak?" Brian menyandarkan tubuhnya ke dinding, ia memiringkan wajahnya menatap Aruna. "Katanya mau jalan-jalan pakai motor? Jadi gak?" tanya Brian lagi. "Memangnya kita mau jalan-jalan kemana, Kak?" tanya Aruna sambil menatap kedua mata Brian, tampak senyuman di wajah Aruna. Brian menjadi salah tingkah saat Aruna menatapnya dengan senyuman manisnya. Brian lalu memalingkan wajahnya ke arah lain, karena dirinya tidak berani menatap kedua mata indah Aruna yang terlihat bersinar. "Kak, kok malah diam saja, kita mau kemana?" tanya Aruna lagi. "Terserah kamu, aku akan mengantarmu kemanapun kamu mau. Aku tunggu di bawah, tapi kalau kamu lama akan aku tinggal!" Seru Brian sambil terus berjalan. Aruna menggerutu kesal, tapi ia juga bahagia akhirnya ia bisa pergi jalan-jalan berdua dengan Brian dengan menggunakan motor. Aruna masuk ke dalam kamarnya, ia mengganti pakaiannya dan juga sedikit memakai make up agar wajahnya terlihat fresh. “Kira-kira Kak Brian mau mengajak aku jalan-jalan kemana ya? aku sendiri bingung mau jalan-jalan kemana.” Aruna yang sudah selesai bersiap-siap berjalan keluar dari kamarnya untuk menghampiri Brian yang tengah menunggunya di luar. "Ayo Kak, kita berangkat." Brian menatap Aruna sampai tak berkedip. Entah mengapa sejak dirinya memutuskan untuk bersikap baik kepada Aruna, sejak saat itu juga dirinya tidak bisa menghilangkan wajah Aruna dari pikirannya. "Kak! Ayo! Kok malah bengong," ajak Aruna sambil menarik lengan Brian. "Emm... Ok. Ayo naik." Brian menyerahkan helm yang ada di tangannya kepada Aruna. Aruna memakai helm itu lalu naik ke atas motor. Ia melingkarkan kedua tangannya ke perut Brian. Detak jantung Brian semakin tidak beraturan, apa lagi Aruna semakin mempererat pelukannya. Tubuh Aruna menempel sepenuhnya di punggungnya. Brian mencoba menetralkan detak jantungnya. “Ngomong-ngomong kita mau kemana, Kak?” “Ka—kamu maunya kemana?” tanya Brian dengan nada gugup. “Em... kalau aku terserah sama Kakak sih.” “Ok. Aku akan membawa kamu ke tempat yang indah kalau begitu.” Brian lalu menstarter motornya, lalu mulai melajukan motornya. Sepanjang perjalanan, mata Aruna menikmati pemandangan dengan rindangnya pepohonan yang berjajar di setiap jalan yang mereka lewati. Brian berniat mengajak Aruna ke puncak. Keluarganya memiliki sebuah Villa di puncak. Villa yang biasa mereka gunakan saat liburan tiba. “Makasih ya, Kak, sudah mengabulkan keinginan aku,” ucap Aruna dengan nada sedikit keras, karena takut Brian tak akan mendengar apa yang dikatakannya. “Hem.” Hanya deheman yang keluar dari mulut Brian. Sesampai di Villa, mereka turun dari motor. Brian dan Aruna disambut hangat oleh wanita paruh baya yang menjaga Villa itu. "Selamat datang, Den Brian dan Non Aruna," sambut Bik Tini sambil membungkukan tubuhnya dan tersenyum ramah. "Terima kasih, Bik. Bibik apa kabar?" tanya Brian. "Baik, Den, mari Den, Non, silahkan masuk." “Terima kasih, Bik. O ya, Bik, tolong siapkan makan siang ya, kami sudah lapar soalnya,” pinta Brian dengan senyuman di wajahnya. “Baik, Den, kalau begitu Bibik tinggal ke dapur dulu.” Setelah mendapatkan anggukkan kepala dari Brian, wanita paruh baya itu melangkah pergi. “Mau jalan-jalan?” tawar Brian sambil menatap Aruna. “Hem. Sudah lama kita gak kesini, Kak.” Aruna melihat sekeliling Villa yang terlihat sangat indah dan asri. Halaman yang dipenuhi bunga-bunga mawar yang sangat indah. Ines sangat suka menanam bunga mawar, bahkan di rumahnya sekarang Ines juga menanam berbagai macam bunga mawar. "Kak, kenapa kita kesini?" tanya Aruna penasaran. "Ingin kesini aja, sudah lama kita gak kesini. Terakhir kita kesini 1 tahun yang lalu. Disini pemandangannya sangat indah, kamu pasti suka.” Brian mengajak Aruna untuk berjalan-jalan melihat-lihat sekeliling Villa itu dengan menggandeng tangan Aruna. Aruna tersenyum, saat melihat tangannya digandeng oleh Brian. Brian mengernyitkan dahinya saat melihat Aruna yang tengah senyum-senyum sendiri. “Ada apa? kenapa kamu dari tadi senyum-senyum gitu?” tanyanya penasaran. Aruna hanya menggelengkan kepalanya, “disini suasana tenang,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya. Mereka duduk di atas batu besar yang letaknya tak jauh dari Villa. Mereka melihat pemandangan yang terlihat begitu asri dan menyejukan, suasana yang menenangkan dan mendamaikan jiwanya. Ditambah lagi hembusan angin yang sepoi-sepoi. Angin menari-nari di sana menerpa rambut Aruna yang tergerai indah hingga membuat rambut Aruna sedikit berantakan. Brian merapikan rambut Aruna dan menyisipkan rambut Aruna ke daun telinganya. Mereka terus berbincang-bincang. Brian tak henti-hentinya memandangi wajah Aruna yang terlihat begitu bahagia. Terpancar senyuman yang merekah di bibir Aruna. Brian tidak henti-hentinya memandang bibir mungil Aruna yang sedari tadi bicara tiada henti. Ia menepiskan senyumannya sambil mendengarkan celotehan Aruna. Aku gak menyangka kamu akan secerewet ini, Na. Matahari semakin tinggi, Brian mengajak Aruna untuk masuk ke dalam Vila. Ia lalu membantu Aruna turun dari atas batu dengan menggenggam kedua tangan Aruna. Aruna turun dengan perlahan. Saat dirinya hendak menurunkan tubuhnya. Tapi tiba-tiba kakinya tergelincir. Akhirnya dirinya terjatuh menimpa tubuh Brian. Brian sangat terkejut karena saat ini Aruna jatuh tepat di atas tubuhnya. Bahkan jarak wajah mereka sangat dekat. Brian bahkan bisa merasakan hangatnya hembusan nafas yang keluar dari hidung Aruna. Apalagi saat ini jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Brian menarik tubuh Aruna agar semakin lekat. Entah apa yang sudah merasuki tubuhnya hingga dirinya nekat menarik tubuh Aruna dan memeluknya dengan sangat erat. Aruna tentu saja sangat terkejut dengan sikap Brian saat ini, karena bukannya membantunya bangun, tapi malah memeluknya. "Kak! Lepas!" teriak Aruna. Brian semakin mempererat pelukannya. Ia menatap kedua mata Aruna yang saat ini juga tengah menatapnya. Brian beralih menatap bibir mungil Aruna, lalu mengubah posisinya. Kini Aruna yang berada di bawah tubuh Brian. Aruna semakin bingung dengan tingkah Brian yang semakin tidak bisa dipahaminya. Ada apa sebenarnya dengan Kak Brian? Brian mencondongkan wajahnya ke wajah Aruna, membuat nafas Aruna semakin memburu. Dirinya bahkan merasa jantungnya berdetak lebih cepat karena perlakuan Brian padanya. "Kak!" teriak Aruna lagi. Brian tak menggubris teriakan Aruna. Ia malah menatap lekat bibir mungil Aruna. Entah mengapa bibir mungil itu sejak tadi menarik perhatiannya. Aruna bingung harus berbuat apa, saat ini Brian menjadi sosok yang berbeda. Astaga! ada apa sih dengan Kak Brian? Kenapa sikapnya jadi aneh gini? Aruna menahan dadanya Brian, agar tak menempel di tubuhnya. Brian mendekatkan bibirnya ke bibir Aruna. Aruna melebarkan kedua matanya saat Brian mencium bibirnya. Kak Brian menciumku! Ciuman pertama ku! Ada apa dengan Kak Brian, kenapa dia tiba-tiba menciumku? Jantungku. Kenapa jantungku berdebar-debar? Aruna mendorong tubuh Brian saat ia merasakan bibir Brian meminta lebih dari sekedar kecupan. Brian terkejut saat Aruna tiba-tiba mendorong tubuhnya. Aruna langsung berdiri dan berlari ke arah Villa meninggalkan Brian yang masih pada posisinya semula. Brian meremas rambutnya dengan sangat kasar. Dirinya menyesali apa yang telah ia lakukan kepada Aruna. ‘Sial! apa yang telah aku lakukan, Aruna pasti marah besar,’ gumamnya dalam hati. Brian beranjak berdiri lalu berlari mengejar Aruna. Dirinya lalu masuk ke dalam Villa dan mencari keberadaan Aruna, tapi ia sama sekali tidak menemukan Aruna. “Bibik tahu dimana Aruna?" Bik Tini menggelengkan kepalanya, karena dirinya memang tidak tau dimana Aruna sekarang, karena setahu dirinya tadi Aruna pergi bersama dengan Brian. Brian mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Ia berjalan ke belakang Villa. Ia melihat Aruna sedang duduk di bawah pohon yang letaknya tak jauh dari Villa. Brian berjalan mendekati Aruna, ia melihat Aruna menangis sambil menekuk kedua lututnya. Ia lalu mendudukkan tubuhnya di samping Aruna. Brian menarik tubuh Aruna ke dalam pelukannya, "maafin aku," ucap lalu mengecup puncak kepala Aruna. Aruna menangis dalam pelukan Brian, ia sendiri juga merasa ada yang aneh dengan hatinya. Ada rasa yang aneh yang tengah menggebu-gebu dalam hatinya. Brian mendongakkan wajah Aruna lalu menghapus air matanya. "Aku gak tau apa yang telah aku lakukan tadi, maaf." Brian menyesali perbuatannya yang malah membuat Aruna sedih. Untuk kesekian kalinya Aruna menangis karena sikap buruknya. Brian tidak tau, sebenarnya Aruna menangis bukan karena sikap buruknya, melainkan karena rasa aneh yang ia coba tepis dari dalam hatinya. Aruna menyadari rasa itu salah, tak seharusnya ia mempunyai perasaan itu kepada Brian. Dirinya takut akan mengecewakan kedua orang tuanya yang sudah membesarkannya selama ini. Aruna menatap kedua mata indah Brian, ia menunjukan sebuah senyuman di wajahnya. "Kak." Sejenak Aruna diam, lalu menggenggam tangan Brian. "Aku tau, tadi Kakak tidak sengaja. Lebih baik kita lupakan kejadian tadi. Aku gak mau ada kecanggungan diantara kita." Brian menganggukan kepalanya. Ia tidak ingin membebani Aruna atas perasaan yang ia rasakan selama ini. "Ayo masuk, kamu pasti sudah lapar 'kan?" Aruna menganggukan kepalanya. Ia mencoba untuk melupakan semuanya dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Mereka masuk ke dalam Villa dan berjalan menuju meja makan. Bik Tini sudah menyiapkan hidangan makan siang kesukaan majikannya. Brian dan Aruna masih saling diam satu sama lain. Mereka masih merasa sedikit canggung. Mereka pun makan dalam diam, tak ada suara dari Brian maupun Aruna. Yang ada hanya dentingan dari sendok dan garpu yang saling bersentuhan. Setelah selesai makan, Aruna mengajak Brian untuk pulang. Brian dan Aruna berpamitan kepada Bik Tini. "Kami pulang dulu ya, Bik. Lain kali kita akan mampir lagi kesini lagi," pamit Aruna lalu memeluk Bik Tini. "Iya Non, hati-hati di jalan ya, Non," ucap Bik Tini. Brian memakaikan helm di kepala gadis yang tanpa sadar telah mengisi relung hatinya. Aruna naik ke atas motor, tapi kali ini dirinya tidak berpegangan pada tubuh Brian, melainkan hanya berpegangan pada kedua ujung jaket yang Brian pakai. "Ada apa? Kok gak pegangan? nanti kamu jatuh." Brian lalu menarik kedua tangan Aruna lalu dilingkarkan ke perutnya. Ia lalu menstarter motornya dan melajukan motornya meninggalkan Villa. Rencananya untuk mengajak Aruna bersenang-senang semuanya gagal hanya gara-gara kecerobohannya sendiri. Brian merutuki dirinya sendiri, entah apa yang membuat dirinya seberani itu mencium Aruna. Apa lagi dengan statusnya yang sebagai kakak gadis itu. Brian kini tengah bergelut dengan pikirannya sendiri yang tidak bisa sinkron dengan hatinya. Sesampainya di rumah, Aruna bersikap biasa-biasa saja terhadap Brian. Ia tidak ingin hubungannya dengan Brian hancur hanya gara-gara kesalahpahaman ini. "Emm... makasih ya, Kak, sudah mau mengajak aku jalan-jalan. Aku bahagia bisa pergi jalan-jalan berdua sama Kakak. Itu adalah impian aku dari dulu, pergi berdua dengan kakak naik motor. Makasih ya, Kak," ucap Aruna sambil menampakan senyuman manis di wajahnya. Brian mengusap lembut puncak kepala Aruna, "lain kali akan aku ajak ke tempat yang lebih indah." Brian menarik Aruna ke pelukannya, "maafin sikap aku tadi ya, aku gak ber..." Brian menghentikan ucapannya saat Aruna melepaskan pelukannya dan menutup mulutnya dengan jari telunjuknya. "Gak usah dibahas lagi. Tadi 'kan aku sudah bilang, lupakan, kita anggap itu hanya kecelakaan. Aku gak mau hubungan persaudaraan kita hancur hanya karena salah paham ini. Aku sayang sama Kakak," ucap Aruna sambil menatap kedua mata Brian. Brian menarik tangan Aruna, "aku sayang sama kamu," ucapnya lalu mengecup kening Aruna. "Aku gak akan bisa melupakan kejadian tadi semudah itu. Itu bukan kecelakaan, aku memang ingin menciummu. Entah apa yang membuatku ingin melakukan itu, tapi aku gak akan pernah melupakannya," sambung Brian lagi. Aruna melepaskan tangan Brian dari tangannya, "maaf, Kak, aku capek, aku mau istirahat." Aruna berjalan menuju pintu. Ia menghentikan langkahnya saat melihat papanya yang tengah berdiri di depan pintu sambil menatap ke arahnya. Entah sejak kapan Daren berdiri di sana. Apa papanya melihat semuanya? Itu yang ada dalam pikiran Aruna saat ini. Dengan detak jantung yang berdegup dengan sangat cepat karena rasa takut yang saat ini tengah menderanya, Aruna melanjutkan langkahnya menghampiri sang papa. Aruna menyapa dan mencium punggung tangan sang papa. "Kalian habis dari mana?" tanya Daren datar. Bukannya menjawab, Aruna justru menatap Brian yang kini tengah berjalan ke arahnya. "Aruna, Papa bertanya sama kamu," ulang Daren lagi. Brian menggenggam tangan Aruna yang membuat Aruna membulatkan matanya. Aruna sontak langsung melepas genggaman tangan Brian. "Kita habis jalan-jalan Pa, tadi kita mampir ke puncak sebentar," sahut Brian. Dengan nada sedikit meninggi Daren menyuruh Aruna untuk masuk ke dalam rumah. Aruna menundukkan wajahnya lalu masuk kedalam rumah. Ia berlari menuju kamarnya. Ini pertama kalinya Aruna mendapatkan bentakan dari orang yang begitu sangat ia sayangi. Aruna menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Ia menenggelamkan wajahnya, ia menangis meluapkan kesedihannya. Daren mengajak Brian untuk berbicara empat mata. Tanpa Brian sadari, Daren diam-diam mengamati gerak-gerik Brian yang ia rasa mulai berbeda. Walau ia senang Brian sudah mulai mau menerima Aruna, tapi ia tidak ingin kedua anaknya terjerumus dalam hubungan yang salah. "Pa. Ini tidak..." Sebuah tamparan melayang ke pipi Brian. Kedua mata Brian membulat seketika, ia tidak menyangka papa nya akan tega menamparnya tanpa mendengar penjelasannya lebih dulu. "Buang jauh-jauh perasaan kamu, Aruna itu adik kamu. Papa menitipkan Aruna untuk kamu jaga dan kamu lindungi!" Daren berbicara dengan nada tinggi. Daren menghela nafas berat, ia sebenarnya tidak tega menampar Brian, tapi entah mengapa seketika emosinya meluap. "Bagaimana perasaan mama kamu saat dia tau, anak laki-lakinya menyukai adiknya sendiri." Brian menundukkan kepalanya. Ia tidak berpikir sampai ke arah sana, ia hanya mencoba mengikuti kata hatinya. “Tapi Aruna itu hanya anak angkat Papa. Sama sekali tak ada hubungan darah sama Brian, Pa. Jadi...” “Cukup! Papa gak mau mendengar alasan apapun.” "Maafin Brian, Pa," ucap Brian pelan. Daren menepuk bahu Brian. "kamu harus ingat ini. Aruna itu adik kamu dan selamanya akan tetap seperti itu." Daren lalu pergi meninggalkan Brian yang masih menundukkan kepalanya. “Tapi aku mencintai Aruna, Pa. Sekarang apa yang harus aku lakukan dengan hati ini? apa aku harus membuang jauh-jauh perasaan ini? tapi apa aku akan sanggup melakukannya? Brian melangkah menuju tangga untuk pergi ke kamarnya. Hari ini dirinya sangat lelah dan ingin segera beristirahat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD