Satu bulan telah berlalu semenjak kejadian di Villa waktu itu. Kini Brian dan Aruna bersikap seperti biasanya.
Brian tetap menunjukkan rasa kepeduliannya terhadap Aruna, karena dirinya tak bisa mengabaikan Aruna begitu saja.
Aruna pun tidak merasa terbebani dengan sikap Brian terhadapnya selama itu masih dalam mode aman, karena bagi dirinya tidak ada kasih sayang lain selain kasih sayang adik kepada kakaknya.
Tapi tidak dengan Brian, semakin hari perasaannya semakin dalam terhadap Aruna, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkannya, karena ia sudah berjanji kepada sang papa untuk membuang jauh-jauh perasaannya.
Tapi semua itu tidak mudah untuk Brian, apalagi sikap Aruna yang selalu bisa membuatnya nyaman berada di sisi gadis itu.
Apalagi saat melihat senyuman manis Aruna, membuat detak jantungnya semakin berdetak tak beraturan hingga membuat dadanya terasa sesak.
Andai dirinya sanggup mengatakan isi hatinya kepada Aruna saat ini juga, maka saat ini dirinya tak akan tersiksa dengan perasaannya itu.
Brian juga merasa cemburu saat Thomas selalu mendekati Aruna. Dirinya tau kalau sahabatnya itu diam-diam masih mempunyai perasaan kepada gadis pujaan hatinya.
"Brian. Kali ini lo sudah keterlaluan. Masa gue cuma mau ngajak Aruna jalan aja lo marah. Emangnya Aruna itu pacar lo? Dia kan cuma adik lo, jadi gak ada masalah kan gue mencoba untuk mendekati Aruna? Lagian lo sudah nyerahin Aruna ke gue. Apa lo sudah lupa itu?”
Thomas mencoba mengingatkan Brian soal taruhannya waktu itu. Dimana dirinya yang memenangkan pertandingan itu.
Brian melipat kedua tangannya di dadanya, seakan tidak peduli dengan perjanjian yang pernah ia janjikan waktu itu.
Lagian itu sudah lama berlalu dan Aruna tak suka kalau dirinya dijadikan taruhan waktu itu. Brian menganggap taruhannya batal.
“Gue gak peduli. Sekarang lo bisa minta apa saja sebagai ganti taruhan gue waktu itu. Yang jelas lo gak usah lagi deketin Aruna. Gue gak suka.” ucapnya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Thomas.
"Gue sebenarnya juga gak terlalu peduli dengan taruhan waktu itu. Tapi kali ini tentang perasaan gue ke Aruna. Gue serius. Gue beneran suka sama Aruna.”
“Sebagai abangnya, lo harus dukung gue, karena lo sahabat gue. Gue janji gak akan pernah nyakitin Aruna. Gue akan perlakukan Aruna dengan sangat baik."
Brian sontak langsung memberikan bogem mentah ke lengan sahabatnya itu. Ia tak suka saat Thomas dengan terang-terangan mengatakan kalau dirinya suka kepada Aruna.
Thomas mendesis menahan sakit di lengan kirinya.
“Apaan sih lo, hah!” kesalnya.
“Terus Keyla, mau lo kemanain, hah! Sorry ya, gue gak akan membiarkan siapa pun menyakiti hati Aruna! Termasuk lo!" seru Brian lalu pergi meninggalkan Thomas.
“Lo tenang aja, gue sama Keyla sudah putus lama! Jadi jangan bawa-bawa Keyla!” teriak Thomas sambil menatap kepergian Brian.
Brian hanya melambaikan tangannya tanda ia tetap tidak setuju. Bagaimanapun caranya, dirinya akan menghalangi Thomas untuk mendekati Aruna.
Meskipun Thomas adalah sahabatnya, Brian tetap tak akan membiarkan Aruna menjadi milik Thomas. Aruna terlalu berharga untuk ia lepas kepada sahabatnya itu.
Brian menghampiri Aruna di kelasnya. Setelah kelas berakhir, Brian selalu datang ke kelas Aruna untuk mengajaknya pulang bersama.
Aruna tersenyum melihat Brian yang sudah berdiri di depan pintu kelasnya. Apalagi kedatangan Brian membuat teman-teman sekelas Aruna jadi menatap ke arah pintu.
“Cie... cie... yang sudah dijemput sama sang kakak pujaan hati," ledek Iren sambil senyum-senyum dengan kedua alis naik turun.
“Hust! Jangan bicara ngawur deh. Nanti kalau orang lain denger 'kan bisa salah paham."
Aruna menatap ke sekeliling kelas yang masih ada beberapa anak lain selain dirinya dan Iren.
“Ups. Sorry, gue kelepasan. Habisnya perhatian Kak Brian selama ini kayak perhatian sama pacar sih,” goda Iren.
Aruna memilih untuk tak menggubris omongan Iren, karena kalau ditanggapi sahabatnya itu tak akan berhenti mengoceh.
Aruna beranjak dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan Iren.
“Astaga, Na! lo ninggalin gue sendirian! Tega amat sih lo!” kesal Iren lalu beranjak dari duduknya dan langsung mengejar Aruna.
“Hai, Kak Brian,” sapa Iren sambil melambaikan tangannya.
“Hem.” Brian lalu menatap Aruna, “kita pergi sekarang.”
Aruna menganggukkan kepalanya.
“Na, lo mau tinggalin gue? Lo gak mau ngajak gue pulang bareng gitu?”
Aruna menatap Brian, seakan tatapannya itu meminta persetujuan Brian kalau dirinya akan berniat mengajak Iren pulang bersamanya.
Brian seolah tau maksud dari tatapan Aruna, “gak! Gak boleh ada yang naik mobil gue!”
Iren mengerucutkan bibirnya, “alah, Kak. Sekali ini aja. Lagian supir aku gak bisa jemput,” pintanya.
“Lo ‘kan bisa naik taksi. Lo ‘kan anak orang kaya. Masa bayar taksi aja gak sanggup!”
Aruna merasa ucapan Brian sudah kelewatan, “kalau Kakak gak suka Iren ikut sama kita, ya gak usah bicara kayak gitu sama Iren.”
“Habisnya teman kamu itu maunya yang gratisan. Padahal anak orang kaya.”
Aruna menatap Iren, “sorry ya, Ren. Lo gak apa ‘kan naik taksi?”
Aruna sebenarnya tak enak hati kepada sahabatnya itu. Tapi dirinya juga tak bisa berbuat apa-apa kalau Brian sudah bilang tidak.
“Iya, Na. Gak apa kok. Gue bisa naik taksi.”
Aruna memeluk Iren, “gue duluan ya. Maaf, gue gak bisa temani lo sampai dapat taksi.”
Iren menganggukkan kepalanya.
“Kita pergi sekarang.”
Aruna menganggukkan kepalanya, “bye, Iren,” pamitnya sambil melambaikan tangannya.
Brian menggandeng tangan Aruna dan mengajaknya menuju parkiran, hingga membuat Aruna terkejut.
“Kak, lepasin. Semua orang melihat ke arah kita.”
Semua mata menatap ke arah Aruna dan Brian yang tengah melewati lorong demi lorong untuk menuju parkiran.
Bukannya melepas genggaman tangannya, Brian malah justru semakin mengeratkan genggaman tangannya.
“Biarin aja, emangnya aku peduli sama mereka.”
Aruna tak punya pilihan lain selain membiarkan Brian untuk tetap menggenggam tangannya sampai di parkiran.
Sudahlah. Mau aku minta lepas pun Kak Brian gak akan melepas tangan aku. Dari dulu sampai sekarang Kak Brian ‘kan memang keras kepala.
Sesampainya di parkiran Brian membukakan pintu mobilnya untuk Aruna.
Aruna senang diperlakukan bak tuan putri oleh Brian sejak mereka memutuskan untuk berbaikan. Tapi, ia takut lama kelamaan ia tidak akan sanggup menjaga hatinya lagi.
Aruna takut kalau dirinya akan benar-benar jatuh cinta kepada kakak angkatnya itu.
Cinta yang seharusnya tak ia rasakan mengingat saat ini Brian adalah kakak angkatnya.
Brian masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin mobilnya, lalu melajukan mobilnya meninggalkan parkiran.
Brian sesekali melirik Aruna yang tengah asyik dengan ponselnya. Ia yang merasa sangat penasaran sontak langsung merebut ponsel itu dari tangan Aruna.
Aruna terlihat kesal, saat Brian mengambil ponselnya tanpa seizin darinya. Apalagi posisi Brian yang tengah menyetir.
“Kak! kamu apa-apaan sih, kembalikan gak!" seru Aruna kesal sambil mencoba merebut ponselnya lagi.
Tapi Brian justru memasukan ponsel Aruna ke dalam saku celananya.
“Coba kamu ambil sendiri kalau bisa," tantang Brian sambil melirik Aruna sekilas.
Aruna melipat kedua tangannya di depan dadanya dengan raut wajah kesal. Dirinya terus saja menggerutu dengan sikap kakaknya.
Tapi Brian sama sekali tidak peduli. Ia juga tak akan mengembalikan ponsel Aruna begitu saja.
Anggap saja itu hukuman buat Aruna, karena telah mengabaikannya dan malah asyik dengan ponselnya.
Sesampainya di rumah Brian tetap tidak mengembalikan ponsel Aruna. Padahal Aruna terus merengek agar Brian mengembalikan ponselnya.
“Kak! kembalikan dong ponsel aku," rengek Aruna sambil menggoyang-goyangkan lengan Brian.
Brian mengambil ponsel Aruna dari dalam saku celananya. Ia membuka aplikasi w******p, ia ingin tau dengan siapa tadi Aruna mengirim pesan.
Mata Brian seketika membulat saat melihat nama Thomas tertera dalam chatting Aruna.
Aruna dengan secepat kilat mengambil ponselnya dari tangan Brian, karena Brian sudah lancang membuka ponselnya.
“Gak sopan tau membaca chatting orang lain!" seru Aruna sambil mengerucutkan bibirnya.
“Ada hubungan apa kamu sama Thomas?" tanya Brian sambil menahan rasa kesalnya.
“Kita cuma teman. Kenapa kakak menanyakan itu? Kakak 'kan tau aku berteman baik dengan kak Thomas."
Aruna hendak berjalan masuk ke dalam rumah tapi Brian menghentikan langkahnya, hingga membuat Aruna kesal.
“Kakak apaan sih! Mau kakak itu apa!”
Brian berdiri di depan Aruna, “aku gak suka kamu terlalu dekat dengan Thomas. Papa nyuruh aku untuk menjaga kamu. Kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu, nanti aku juga yang kena marah."
Aruna menatap kedua mata indah Brian, “aku dan Kak Thomas cuma temenan, jadi kakak gak usah khawatir. Aku juga bisa jaga diri kok. Lagian aku juga bukan anak kecil lagi yang harus kakak jaga selama 24 jam."
Aruna lalu berjalan melewati Brian sambil terus menggerutu, ‘yang lebih berbahaya itu kamu Kak, bukan Kak Thomas. Jika kakak terus bersikap kayak gini ke aku, entah sampai kapan aku bisa menahan gejolak yang ada di hati aku ini,’ gumamnya dalam hati.
Aruna masuk ke dalam kamarnya. Tak lupa dirinya menutup pintu dan menguncinya, karena ia tak ingin Brian sembarangan masuk ke dalam kamarnya.
Aruna meletakkan tas selempangnya ke atas meja belajarnya. Ia lalu melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa sangat lengket oleh keringat.
Entah mengapa hari ini Aruna merasa cuacanya begitu panas. Apalagi saat berdekatan dengan Brian, membuat suhu tubuhnya meningkat tajam.
Setelah selesai membersihkan diri dan berpakaian, Aruna keluar dari kamarnya untuk membantu Bibik Karti menyiapkan makan malam.
Aruna tak membantu memasak juga. Ia hanya membantu menghidangkan makanan yang sudah disiapkan oleh asisten rumah tangganya ke atas meja.
“Bik, aku bantu ya.” Aruna sudah mengambil piring yang berisi ayam goreng.
“Makasih ya, Non. Non sebenarnya tidak perlu melakukan ini,” ucap wanita paruh baya itu tak enak hati.
“Gak apalagi, Bik. Lagian aku juga gak ada kerjaan. Tapi jangan minta aku untuk membantu memasak ya, Bik, karena aku gak bisa masak,” canda Aruna sambil nyengir kuda.
“Ah si Enon. Mana mungkin Bibik minta Non Aruna untuk bantu Bibik masak. Ada-ada aja sih Non Aruna ini.”
“Bercanda, Bik. Aku hanya bercanda,” ucap Aruna sambil menepiskan senyumannya.
Brian berjalan menuju meja makan, ia meminta Aruna untuk mengambilkan makanan untuknya, tapi Aruna seakan bersikap acuh.
Brian menggerutu kesal, ia akhirnya mengambil makanannya sendiri.
Bik Karti mengulum senyum melihat tingkah kedua anak majikannya itu. Apalagi selama ini wanita paruh baya itu belum pernah melihat Brian bersikap seperti ini kepada Aruna.
Biasanya Brian selalu berbicara ketus dan bersikap seperti orang yang tengah bermusuhan kalau bertemu dengan Aruna.
“Ternyata bisa ambil sendiri. Ngapain tadi minta aku untuk mengambilkan makanan. Untuk apa punya dua tangan,” gerutu Aruna yang masih bisa didengar Brian.
Tapi Brian memilih untuk diam, karena dirinya tak ingin memancing keributan dengan Aruna, meskipun sejak tadi mulutnya terus menggerutu kesal.
Daren dan Ines berjalan menuju meja makan, mereka penasaran melihat tingkah Brian yang terus menggerutu sambil memakan makanannya.
“Sayang, kamu kenapa kesal kayak gitu?" tanya Ines sambil mengambilkan makanan untuk suaminya."
Tak ada jawaban dari Brian, karena Brian terus memakan makanannya.
“Lagi putus cinta kali Ma," sindir Aruna sambil melirik Brian yang sejak tadi fokus dengan makanan yang ada di depannya.
Ines meletakan piring yang sudah diisi makanan di depan suaminya. Ia tersenyum sambil menatap Brian.
Dirinya baru tahu kalau ada wanita yang berani menolak pesona ketampanan anaknya.
"Siapa wanita itu yang berani menolak pesona ketampanan kamu, Sayang?” goda Ines sambil tersenyum.
Mendengar pertanyaan sang mama, membuat Aruna tersedak makanan yang baru ingin ditelannya.
Brian mengambil segelas air minum lalu ia berikan kepada Aruna.
“Makanya, kalau makan itu pelan-pelan, gak ada yang minta juga,” sindir Brian sambil mengedipkan matanya.
Aruna mengambil gelas minuman itu dari tangan Brian lalu meneguknya. Ia meletakan kembali gelas itu ke atas meja.
Aruna tidak suka dengan situasi saat ini, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kamar. Apalagi suasana hatinya saat ini sedang tak karuan.
“Maaf Ma, Pa. Aruna ke kamar dulu. Aruna lupa kalau ada tugas dari kampus,” ucapnya lalu beranjak dari duduknya, lalu melangkah keluar dari ruang makan.
Brian tersenyum melihat tingkah Aruna. Ia yakin, kalau saat ini Aruna tengah memikirkan ucapan sang mama.
Ines masih terus menanyakan perihal wanita yang sudah berani menolak pesona anak laki-lakinya itu.
“Sayang, kamu belum menjawab pertanyaan Mama. Siapa wanita yang berani menolak putra Mama yang tampan ini?”
“Gak ada Ma. Siapa juga yang berani menolak pesona anak Mama ini. Lagian Brian juga gak sedang patah hati kok, Ma. Aruna aja yang bicara ngawur,” ucap Brian lalu melanjutkan makannya.
Yang berani menolak pesona anak Mama ini hanya anak perempuan Mama satu-satunya.
Brian hanya berani mengatakan itu di dalam hatinya. Kalau sampai kedua orang tuanya tau kalau dirinya benar-benar jatuh cinta kepada Aruna, maka dirinya yakin, keluarganya tak akan bisa seharmonis ini lagi.
Setelah selesai makan, Brian langsung keluar dari ruang makan dan berjalan menuju tangga. Ia ingin memberi pelajaran kepada Aruna karena telah membuat dirinya dalam masalah.
Brian mengetuk pintu kamar Aruna.
“Siapa?” tanya Aruna dari dalam.
“Aku.”
Brian membuka pintu kamar Aruna tanpa izin dari Aruna. Ia melihat Aruna yang tengah mengerjakan tugas kampusnya.
Brian melangkah masuk ke dalam kamar Aruna.
“Apa mau Kakak kesini?” Aruna beranjak dari duduknya.
Brian kini sudah berdiri di depan Aruna, “apa maksud dari kata-kata kamu tadi?”
Aruna mengernyitkan dahinya, “maksud Kakak apa ya?” tanyanya bingung.
“Alah! Gak usah sok gak tau!”
“Tapi aku memang gak paham sama maksud kakak.”
“Kenapa kamu tadi bilang sama Mama kalau aku sedang patah hati?”
Brian bahkan mencengkram kedua lengan Aruna, “apa kamu sudah ingat, hah!”
Aruna menghempaskan kedua tangannya, hingga cengkraman tangan Brian terlepas.
“Aku ‘kan hanya asal bicara. Kalau itu memang gak benar, kenapa tadi Kakak hanya diam saja?”
“Itu karena aku gak mau berdebat sama kamu di depan Mama dan Papa.”
Brian lalu menangkup kedua pipi Aruna, “aku gak suka kamu bilang kayak gitu lagi. mengerti?”
Aruna hanya menganggukkan kepalanya.
Aku memang sudah patah hati, Na, karena aku tak bisa mengungkapkan perasaan aku sama kamu. Andai kamu bukan adik angkatku.
“Kak,” panggil Aruna saat melihat Brian yang tengah melamun sambil menatapnya.
Brian menyingkirkan kedua telapak tangannya dari pipi Aruna.
“Ingat apa yang tadi aku katakan,” ucapnya lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari kamar Aruna.
Aruna mengernyitkan dahinya, “dasar aneh!”