Aruna Kanaya
Aruna sejak masih bayi dibuang oleh kedua orang tuanya ke sebuah panti asuhan.
Saat usia Aruna 6 tahun, ia diadopsi oleh keluarga kaya yang memang tak memiliki anak perempuan. Keluarga itu hanya memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Brian.
Semenjak Aruna ikut dengan keluarga barunya, ia mendapatkan kasih sayang dari ayah angkatnya.
Seperti pagi ini, Aruna yang sudah rapi, bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Usianya kini sudah menginjak 19 tahun. Ia kuliah di kampus yang sama dengan Brian.
“Pagi Pa.” Aruna mencium pipi papanya.
“Pagi, Sayang, putri Papa yang cantik sudah bangun,” balas Daren seraya mengusap lembut puncak kepala Aruna.
Sorot mata yang tajam kini tengah menatap Aruna dengan penuh kebencian. Siapa lagi kalau bukan Brian. Ia sangat membenci Aruna karena telah merebut kasih sayang Daren darinya.
“Pagi, Kak, Ma.”
Aruna berjalan mendekati Ines—mama angkatnya. Ia lalu mencium punggung tangannya.
“Duduk,” perintah Ines dengan nada dingin. Ines tidak membenci Aruna tapi ia tidak bisa menyayangi Aruna karena dia bukan anak kandungnya.
Aruna duduk di sebelah Brian. Mereka makan dalam diam. Hanya terdengar dentingan dari sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring.
“Brian berangkat kuliah dulu Ma, Pa,” pamit Brian lalu beranjak dari duduknya.
Brian melangkah mendekati mamanya dan mencium punggung tangannya. Ia juga melangkah mendekati papanya dan mencium punggung tangannya. Ia memang selalu melakukan itu sebelum berangkat ke kampus.
“Kamu tidak menunggu Aruna? Dia baru juga mau sarapan, tunggulah sebentar,” pinta Daren.
Bukan Brian namanya kalau ia akan menunggu Aruna dan mengajaknya untuk berangkat bersama ke kampus.
“Brian berangkat,” pamitnya lalu melangkah pergi.
Brian bahkan tak mendengarkan apa yang papanya katakan.
“Dasar anak itu! kapan dia bisa menghargai orang tuanya!” Daren terlihat sangat kesal.
Ines mengusap lengan suaminya agar tetap tenang. “Sudahlah, Pa. Kayak Papa gak kenal Brian aja.”
“Aruna gak apa-apa kok, Pa. Aruna bisa naik taksi,” ucap Aruna sembari memperlihatkan senyum manisnya.
Aruna tidak ingin papa dan kakaknya bertengkar hanya karena dirinya. Ia lalu beranjak berdiri dan berjalan mendekati kedua orang tua angkatnya. Ia lalu mencium punggung tangan mereka dan berpamitan untuk berangkat ke kampus.
Aruna tengah berdiri di depan rumah sambil menunggu taksi online yang telah ia pesan. Tak berselang lama sebuah taksi berhenti di depan Aruna.
Aruna membuka pintu taksi dan masuk ke dalam taksi. Meminta supir taksi untuk segera melajukan taksinya menuju kampus.
Saat ini Aruna kuliah di semester pertama sedangkan Brian dia sudah di semester akhir. Di kampus Aruna termasuk cewek yang pendiam. Ia juga tidak mempunyai banyak teman. Ia hanya mempunyai satu teman yang sangat dekat dengannya.
“Pagi, Aruna,” sapa Iren sambil merangkul bahu Aruna.
“Lepasin gak! lo mau nyekek gue!” seru Aruna sambil menyingkirkan tangan Iren dari lehernya.
“Lo kenapa sih muram durjana begitu, lo lagi ada masalah sama kakak lo?” tanya Iren penasaran.
Aruna tidak memperdulikan pertanyaan Iren dan terus berjalan.
Iren mengikuti Aruna dan terus menggerutu. “Ditanya baik-baik malah gak dijawab. Tau gini tadi gue diem aja. Terserah lo mau ada masalah apa gak. Bodo amat,” gerutunya.
“Lo bisa diem gak! Berisik tahu!" seru Aruna.
Iren terus mengerucutkan bibirnya. Walau Aruna sering bersikap jutek pada Iren, tapi ia tidak pernah merasa sakit hati. Karena ia tahu, Aruna selama ini hidup dalam penekanan terutama dari kakak angkatnya—Brian.
Aruna tidak pernah menyembunyikan apapun dari Iren. Entah soal ia yang hanya anak angkat dan juga masalahnya dengan Brian yang tidak bisa akur dari dulu.
Sementara itu, saat ini Brian sedang bersama dengan teman-temannya. Di kampus Aruna ada tiga cowok yang begitu di segani dan di takuti, yaitu Brian, Thomas, dan Jordy. Mereka cowok-cowok tertampan di kampus itu, semua cewek terkagum-kagum melihat ketampanan mereka.
Brian dan teman-temannya kini sedang nongkrong di warung pojok. Brian memang sering nongkrong di warung pojok bersama teman-temannya seusai pulang kuliah.
“Lo besok jadi ikut balap motor kan?” tanya Jordy.
Setiap bulan Brian memang sering ikut balap motor. Mereka bahkan mempertaruhkan apa pun yang sangat berharga miliknya.
“Jadi,” sahut Brian sambil mengambil keripik kentang di depannya, lalu memasukan keripik kentang itu ke dalam mulutnya.
“Kali ini apa yang mau lo pertaruhkan dalam pertandingan nanti?” tanya Thomas.
Bulan lalu Brian mempertaruhkan jam tangan mahalnya dan dia kalah taruhan.
“Gimana kalau adik lo yang cantik itu?” usul Jordy.
Sejak awal Jordy memang sudah tertarik sama Aruna. Tapi, ia tak langsung menunjukkan rasa sukanya itu. Tapi, keinginan untuk bisa mendapatkan Aruna tetap ada dalam dirinya.
“Gila lo, Jor! masa Aruna mau lo jadiin taruhan!” seru Thomas.
“Brian, jangan. Lo pikir adik lo itu barang yang bisa lo buat untuk taruhan?” lanjutnya.
Brian tidak memperdulikan omongan Thomas. Bersikap masa bodoh dengan ucapan sahabatnya itu. Apalagi menyangkut adik angkatnya yang sangat dibencinya selama ini.
“Ok, deal,” ucap Brian dengan menyunggingkan senyumannya.
Brian memang ingin sekali mengerjai Aruna, tapi ia tidak pernah mempunyai kesempatan. Aruna selalu lolos dari semua rencana-rencana jahatnya selama ini.
Jordy tersenyum senang sedangkan Thomas hanya menggelengkan kepalanya.
Gue kali ini harus menang. Gue akan mendapatkan Aruna, bagaimanapun caranya. Gue gak akan membiarkan Thomas menang kali ini.
Jordy bergumam dalam hati sambil menatap tajam ke arah Thomas.
Brian seakan cuek dengan apa yang telah ia pertaruhkan. Ia tidak peduli mau menang atau kalah di balapan kali ini. Karena bagi Brian, Aruna sama sekali tidak berharga untuknya.
Gue gak akan membiarkan Jordy menang. Gue gak akan membiarkan Aruna menjadi barang taruhan. Gue harus memenangkan balap motor kali ini untuk menyelamatkan Aruna.
Kini giliran Thomas yang bergumam dalam hati. Di mata Thomas, Aruna sosok gadis yang sangat cantik. Tapi, ia tau, selama ini Aruna begitu tertekan dengan sikap Brian selama ini.
Thomas pernah menasehati Brian untuk bisa menerima Aruna sebagai adiknya. Tapi, apa yang keluar dari mulutnya, sama sekali tak didengar oleh sahabatnya itu.
Brian tidak peduli dengan perang batin antara Thomas dan Jordy. Ia memilih untuk beranjak dari duduknya dan melangkah keluar dari warung pojok itu. Meninggalkan Thomas dan Jordy yang masih beradu pandang.
Brian berjalan menuju parkiran. Ia lalu masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran. Saat di depan kampus Brian melihat Aruna tengah berdiri menunggu taksi.
“Masuk!” seru Brian sambil membuka jendela mobilnya.
Aruna menengok ke arah kanan dan kirinya. Ia tidak sadar kalau yang Brian suruh masuk itu dirinya. Bukan malah mencari orang lain.
“Kenapa lo bengong! gue bilang masuk!” seru Brian lagi dengan nada tinggi.
Aruna bergegas masuk ke dalam mobil Brian. Ia tidak ingin kena semprot kakaknya lagi. Brian melajukan mobilnya meninggalkan kampus.
“Malam minggu besok lo ikut gue!”
Brian masih saja berbicara dengan nada ketus. menatap kedepan. Ia bahkan tak menatap wajah Aruna saat mengajaknya bicara.
“Memangnya mau kemana, kak?” tanya Aruna penasaran.
Ini pertama kalinya Aruna diajak keluar oleh Brian semenjak ia masuk ke dalam keluarga besar Sanjaya.
“Enggak usah banyak tanya! Pukul 20.00 nanti lo harus sudah siap. Jangan buat gue menunggu, kalau lo gak mau menerima akibatnya!” seru Brian dengan nada mengancam.
Aruna tidak bisa menolak keinginan Brian, ia takut Brian akan menyakitinya.
“Satu lagi, kalau Papa dan Mama bertanya, bilang saja kalau lo mau mengerjakan tugas kelompok sama teman-teman lo. Ngerti gak!” bentak Brian dengan sorot mata yang tajam.
Aruna selalu merasa takut saat Brian mulai membentak dirinya. Ini bukan pertama kalinya Brian membentaknya. Tapi, meskipun begitu hatinya masih tetap merasakan sakit.
Dulu Aruna bermimpi ingin mempunyai seorang kakak yang bisa selalu menjaga dan melindunginya. Ia berharap, Brian akan bersikap seperti itu padanya. Menyayanginya sebagai adiknya. Tapi, semua itu hanyalah angan yang tak akan pernah terwujud.
Apalagi mengingat sifat Brian yang keras kepala dan tak mau mendengar siapapun. Belum lagi kebenciannya kepada Aruna, semakin menjadi saat papanya mulai mementingkan Aruna, ketimbang dirinya—putra kandungnya sendiri.
Tapi, dalam hati Aruna, ia masih tetap berharap, jika suatu saat nanti, Brian akan berubah sikap padanya, dan mau menerimanya, menganggapnya sebagai adiknya.
“Kenapa lo diam? lo gak mau menuruti ucapan gue? Lo sudah berani melawan gue, hah!”
“Bu-bukan begitu, Kak. Tapi kita mau kemana? Aku juga gak mau berbohong sama Papa dan Mama.”
Brian mencengkram pergelangan tangan Aruna dengan sangat erat, membuat Aruna meringis kesakitan.
“Sakit, Kak!” pekik Aruna sambil mencoba untuk melepas cengkraman tangan Brian dari pergelangan tangannya.
“Gue gak akan lepasin lo, sebelum lo nurut sama gue! gue tanya sekali lagi sama lo, lo mau nurut sama gue gak!”
“Ok, aku akan ikut Kakak nanti. Aku akan lakukan apapun yang Kakak minta.”
Brian menyunggingkan senyumannya, lalu melepas cengkraman tangannya. “Awas kalau lo ingkar janji, lo akan terima akibatnya. Pastinya lo sudah tau gimana gue. Gue gak akan lepasin lo gitu aja.”
Aruna tak punya pilihan lain lagi selain menganggukkan kepalanya.
“Keluar lo sekarang!”