Perhatian

2276 Words
Brian menghela nafas panjang, mungkin kali ini sikapnya memang sudah kelewat batas, karena dirinya sudah masuk ke dalam kamar Aruna tanpa izin. Bahkan Aruna ternyata baru selesai mandi, hal itu juga yang membuat Brian semakin merasa bersalah, karena dirinya sudah melihat tubuh indah Aruna yang hanya berbalut handuk sebatas lutut, hingga memperlihatkan kaki jenjangnya yang putih mulus tanpa noda. Brian lalu beranjak dari duduknya. Ia lalu melangkahkan kakinya menghampiri Aruna. Aruna sontak langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Ia ingin melindungi dirinya dari tatapan sang kakak yang saat ini tengah menatapnya. “Awas kalau kakak berani mendekat, aku akan teriak!” ancam Aruna dengan menatap Brian dengan sorot mata yang tajam. Brian hanya mengulum senyum melihat tingkah Aruna. Ia lalu mengusap lembut puncak kepala Aruna lalu mengecup kening Aruna. “Met malam ya, moga mimpi indah.” Aruna sontak langsung membulatkan kedua matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihat nya. Seorang Brian mengucapkan selamat malam bahkan mengecup keningnya. Bahkan masih bersikap tenang setelah membuat Aruna begitu terkejut dengan sikapnya kali ini. Aruna menatap Brian yang kini tengah berjalan menuju pintu untuk keluar dari kamarnya. “Kak!" teriak Aruna. Brian langsung menghentikan langkahnya, lalu menengok ke belakang menatap Aruna yang kini juga tengah menatapnya. “Apa? apa kamu berubah pikiran dan memintaku untuk tetap berada disini?” goda Brian sambil tersenyum. "Met malam juga, Kak. Makasih untuk semuanya. Aku sayang kakak,” ucap Aruna dengan senyuman di wajahnya. Brian menganggukkan kepalanya dengan senyuman di wajahnya. Ia lalu membalikkan tubuhnya, membuka pintu dan berjalan keluar dari kamar Aruna. Tak lupa dirinya kembali menutup pintu kamar Aruna. Brian menyandarkan tubuhnya ke dinding. Saat ini dirinya tengah menyentuh dadanya. Dimana saat ini jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Brian lalu mengusap dadanya naik turun untuk menetralkan kembali detak jantungnya. Bayang-bayang tubuh Aruna yang hanya memakai handuk yang melilit tubuh mungilnya terus berputar di otaknya. “Sial! kenapa sih aku jadi nekat gini? Kenapa tadi aku gak langsung keluar waktu Aruna menyuruh aku keluar. Akibatnya gak akan jadi seperti sekarang ini." Brian membayangkan kembali kemolekan tubuh Aruna. Meski mereka tumbuh bersama sejak kecil, tapi baru kali ini dirinya melihat Aruna dengan keadaan seperti itu setelah beranjak dewasa. Sial! Brian terus merutuki kelancangan dirinya yang masuk ke dalam kamar Aruna tanpa izin dari sang pemilik kamar. Untuk menghilangkan pikiran kotor dari otaknya, Brian memilih untuk pergi dari depan pintu kamar Aruna menuju kamarnya. Sedangkan di dalam kamar, Aruna baru saja selesai berpakaian. Dirinya kini tengah duduk di depan cermin riasnya sambil menyisir rambut panjangnya. Dasar, Kak Brian! Main masuk kamar orang tanpa ketuk pintu dulu. Untung tadi aku pakai handuk. Kalau pas aku lupa gak bawa handuk gimana coba. Aruna terkadang lupa membawa handuk saat masuk ke dalam kamar mandi, karena terpaksa dan itu kamarnya sendiri, terkadang dirinya keluar dari dalam kamar mandi tanpa memakai sehelai benangpun. Toh tak ada siapa-siapa di dalam kamarnya. Siapapun yang ingin masuk ke dalam kamarnya pasti ketuk pintu dulu. Terkecuali si biang kerok Brian. Setelah selesai menyisir rambutnya, Aruna memakai cream malam. Itu adalah rutinitas yang biasa dirinya lakukan sebelum tidur. Aruna beranjak dari duduknya, “lebih baik aku tidur sekarang. Aku benar-benar lelah.” Aruna lalu melangkah menuju ranjang, merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia tatap langit-langit kamarnya, dimana lampu kamarnya masih menyala terang. Aruna lalu tersenyum, karena teringat dengan kejadian hari ini. Dimana untuk pertama kalinya Brian mengajaknya jalan-jalan. Apalagi Brian mengajaknya untuk mengunjungi Panti Asuhan dimana dirinya dulu dibesarkan. Makasih ya, Kak. Makasih untuk hari ini. Aku gak akan pernah melupakan hari ini. Aruna lalu memiringkan tubuhnya, memeluk guling yang biasa dipeluknya tiap malam. Ia lalu mulai memejamkan kedua matanya. Malam ini Aruna berharap dirinya akan bermimpi indah. Seperti suasana hatinya saat ini yang tengah bahagia, karena Brian sudah tak lagi membencinya seperti dulu lagi. Saat ini Brian dan Aruna sudah bersiap-siap berangkat ke kampus. Mereka sudah selesai sarapan. Suasana ruang makan pun tak seperti biasanya, karena tak ada lagi keributan antara Aruna dan Brian. Bukan hanya Daren yang merasa heran dengan sikap Brian kepada Aruna hari ini. Tapi juga Ines sang mama. Apalagi setelah sekian tahun Aruna masuk ke dalam keluarganya, baru kali ini dirinya melihat Brian bersikap baik kepada putri angkatnya itu. “Ma, kami berangkat dulu ya,” pamit Brian sambil mencium punggung tangan sang mama, lalu punggung tangan sang papa. Aruna juga melakukan hal yang sama seperti yang Brian lakukan. “Brian, nanti kamu juga akan pulang sama Aruna ‘kan?” tanya Daren. Siapa tau Brian akan meninggalkan putrinya itu dan menyuruhnya untuk pulang sendiri. “Iya, Pa. Brian akan menunggu Aruna sampai pulang nanti dan mengajaknya pulang bareng. Papa tenang aja. Brian sudah berubah kok, Pa,” ucap Brian dengan menepiskan senyumannya. Aruna menatap Brian, lalu tersenyum. Ines mengusap lengan sang suami, “percaya sama Brian, Pa. Brian pasti akan jaga Aruna,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya. Daren menganggukkan kepalanya, “Papa percaya sama Brian, Ma.” Setelah berpamitan, Brian dan Aruna keluar dari rumah. Seperti kemarin, Brian membukakan pintu untuk Aruna. “Masuklah.” Aruna menganggukkan kepalanya. Dirinya merasa diperlakukan seperti seorang putri raja oleh Brian. Betapa bahagia hatinya saat ini. Brian menutup pintu mobil setelah Aruna masuk ke dalam mobil. Ia lalu berjalan memutar untuk masuk ke dalam ruang pengemudi. “Kak, aku bahagia deh bisa berangkat bareng sama kakak seperti ini. Dulu waktu aku masih SMP, aku ingin sekali diantar sekolah oleh Kakak naik motor. Tapi..." Brian mengusap lembut puncak kepala Aruna. “Sudah gak usah mengingat masa lalu. Besokkan weekend, aku akan mengajak kamu jalan-jalan naik motor,” ucap Brian dengan senyuman di wajahnya. Aruna tersenyum bahagia sambil menganggukan kepalanya, “janji ya, Kak?” “Hem. Aku janji.” “Makasih ya kak,” ucap Aruna sambil menggenggam tangan Brian. Brian lalu melajukan mobilnya keluar dari pintu gerbang rumahnya. Dalam perjalanan menuju kampus, Aruna menikmati pemandangan jalanan yang sudah ramai dengan lalu lalang kendaraan. Apalagi mereka berangkat ke kampus berbarengan dengan waktu orang-orang pergi bekerja. Kota Jakarta memang kota dengan kepadatan penduduk. Begitu banyak orang dari luar Jakarta yang merantau ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan. Sesampainya di kampus, Brian mengantar Aruna sampai ke dalam kelas. Semua anak-anak termasuk Iren sangat terkejut akan tingkah Brian yang berubah terhadap Aruna. Setelah Brian keluar dari kelas Aruna, Iren langsung mencerca Aruna dengan begitu banyak pertanyaan. Aruna menghela nafas panjang mendengar begitu banyak pertanyaan yang keluar dari mulut sahabatnya itu. “Ren, lo itu kalau nanya satu-satu bisa gak sih! Sudah kayak wartawan yang sedang dikejar setoran aja lo!" Seru Aruna sambil geleng kepala. “Gue ‘kan penasaran, Na. Bagaimana sikap Brian bisa langsung berubah drastis seperti itu ke elo. Padahal biasanya dia begitu ketus sama lo. Gue kan jadi kepo ada apa sebenarnya yang bisa membuat Brian berubah gitu?" “Lebih baik lo duduk dulu.” Aruna menyuruh Iren untuk duduk di sampingnya. Iren pun menurutinya dan mendudukkan tubuhnya di samping Aruna. Aruna lalu menceritakan semuanya dari awal, tentang bagaimana dirinya bisa berbaikan dengan Brian, dan sikap Brian yang berubah baik padanya. Iren hanya diam menyimak sambil mengangguk-anggukkan kepalanya sesekali. Expresi wajah Aruna saat menceritakan semuanya kepada Iren terlihat begitu bahagia. Kalau dilihat dari expresi wajah Aruna saat ini seperti orang yang baru saja mendapat undian ratusan juta rupiah. Iren ikut merasakan kebahagian yang Aruna rasakan, karena hanya dirinya tempat Aruna berbagi keluh kesahnya selama ini. “Gue ikut bahagia, Na. Akhirnya Brian sudah mau nerima lo jadi adiknya,” ucap Iren dengan senyuman di wajahnya. “Gue juga gak menyangka, Ren. Kak Brian bisa berubah baik sama gue. Gue pikir, Kak Brian gak akan pernah mau menganggap gue adiknya seumur hidupnya.” Iren lalu memeluk Aruna, “semua pasti butuh waktu, Na. Akhirnya apa yang lo inginkan terwujud sekarang.” Aruna menganggukkan kepalanya, lalu melepas pelukan Iren. Seorang pria tampan bertubuh tinggi tegap melangkah masuk ke dalam kelas Aruna. Iren menyenggol lengan Aruna, “lo udah dengar belum, kalau Pak Boy mau nikah?” Aruna menggelengkan kepalanya, “itu juga bukan urusan gue,” ucapnya cuek. “Tapi banyak mahasiswa yang patah hati karena Pak Boy mau nikah.” Aruna menatap Iren, “termasuk lo juga?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya. Iren hanya nyengir kuda. Aruna hanya geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu. Pak Boy memang memiliki paras tampan. Usianya juga sudah matang untuk menikah. Tapi ketampanan Pak Boy sama sekali tak menarik perhatian Aruna. Setelah beberapa jam, kelas pun berakhir. Aruna mengajak Iren untuk makan di kantin. “Ren, gue laper nih? Gimana kalau kita makan di kantin? Tenang gue yang traktir.” “Boleh. Gue aja yang traktir lo. Kemarin ‘kan lo udah traktir gue.” Aruna menganggukkan kepalanya. Mereka lalu melangkah menuju kantin. “Lo mau pesan apa, Na?” “Bakso aja, Ren. Gue lagi pengen makan bakso.” Iren pun memesan dua mangkuk bakso dan dua gelas es teh. Tak berselang lama bakso dan minuman yang mereka pesan sudah tersaji di atas meja. “Wuih... mantap,” ucap Iren lalu mulai menikmati bakso yang tadi dipesannya. “Enak gak, Ren?” tanya Aruna saat melihat Iren yang tengah menikmati sebutir bakso yang baru masuk ke dalam mulutnya. “Enak banget, Na. Lain dari biasanya pokoknya,” ucap Iren sambil kembali memasukkan satu butir bakso ke dalam mulutnya. Saat mereka sedang asyik menikmati bakso yang mereka pesan, tiba-tiba Thomas datang dan langsung duduk di samping Aruna. Ternyata Thomas tidak sendirian, ada Brian dan Jordy juga. “Wah yang lagi PDKT," goda Jordy sambil menggerakkan kedua alisnya naik turun. Brian sontak langsung melirik ke arah Thomas dan Aruna. Ia merasa sangat tidak suka saat Thomas terlihat begitu akrab dengan Aruna. “Boleh dong gue PDKT sama Aruna? secara Aruna dan gue ‘kan sama-sama single. Iya kan Na?" tanya Thomas sambil menyentuh tangan Aruna yang ada diatas meja. Aruna yang terkejut dengan sikap Thomas, tentu saja langsung menarik tangannya sambil menunjukan senyuman tipisnya. “Kecuali Aruna sudah punya pasangan, nah itu baru gue mundur secara teratur,” sambung Thomas lagi. “Aruna sudah ada pasangan! Jadi lo bisa mulai mundur secara teratur dari sekarang!" Seru Brian dengan nada keras. Aruna membulatkan kedua matanya tidak percaya. Bisa-bisanya Brian mengatakan itu semua di depan Iren dan yang lainnya. Thomas mengernyitkan dahinya, “betul itu Na?" tanyanya terkejut. Thomas dan Jordy saling menatap satu sama lain. Mereka sama-sama terkejut dengan apa yang baru saja Brian katakan. Aruna tentu saja langsung menggelengkan kepalanya. “Gak! Aku belum punya pasangan kok, Kak. Lagian aku juga belum mikirin hal kayak gitu. Aku mau fokus belajar dulu. Aku ingin membuat Papa dan Mama bangga sama aku. Jangan percaya dengan apa yang Kak Brian katakan, semua itu gak benar,” ucap Aruna lalu menatap Brian. Brian senang mendengar ucapan Aruna, entah kenapa hatinya merasa sangat tenang. “Gue gak akan menyerah Na, gue akan bersabar menunggu lo," goda Thomas sambil mengedipkan sebelah matanya. “Gak usah kak, aku sebenarnya gak tertarik dengan hal kayak gitu. Daripada nanti Kak Thomas sakit hati, lebih baik Kak Thomas terima itu para cewek-cewek yang selalu mengejar-ngejar Kak Thomas. Nanti aku malah dilabrak lagi sama kak Sela,” ucap Aruna sambil menepiskan senyumannya. Brian dan Thomas seketika langsung menunjukkan wajah geram. Untung waktu itu Thomas dan Brian langsung mendatangi Sela dan memperingatkannya agar tidak lagi mengganggu Aruna. “Kalau sampai Sela mengganggu kamu lagi, kasih tau aku,” ucap Brian dan langsung mendapat anggukkan kepala dari Aruna. Brian, Thomas, dan Jordy lalu memesan bakso dan es teh seperti yang Aruna dan Iren pesan. Setelah selesai makan, mereka kembali ke kelas masing-masing. Hingga saatnya memasuki jam pulang. Brian mendatangi kelas Aruna dan mengajaknya untuk pulang bareng. Brian melihat Aruna dan Iren yang baru saja keluar dari kelas. Aruna pun melihat Brian yang tengah berjalan ke arahnya. “Ren, gue duluan ya. Kak Brian sudah menunggu gue soalnya.” Iren menganggukkan kepalanya, karena dirinya juga melihat Brian yang kini tengah menunggu Aruna di lorong yang tak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini. “Kita pulang sekarang, Kak?” Aruna sudah berdiri di depan Brian. “Hem.” Mereka lalu melangkah pergi melewati lorong demi lorong menuju lobby kampus. Sesampainya di parkiran mereka masuk ke dalam mobil. Brian sampai saat ini masih memikirkan tentang perasaan Thomas pada Aruna. “Kak Brian kenapa? kok aku lihat dari tadi cemberut gitu?" tanya Aruna yang penasaran akan sikap Brian yang tiba-tiba jadi pendiam. “Aku gak suka lihat kamu seakrab itu sama Thomas,” ucap Brian pelan tapi masih bisa didengar oleh Aruna. “Kok Kakak bilang kayak gitu? aku ‘kan dari dulu memang sudah akrab sama teman-teman Kakak. Bukan hanya Kak Thomas, tapi sama Kak Jordy juga,” ucap Aruna penasaran, karena biasanya Brian selalu cuek dengan hal itu. “Itu dulu, tapi sekarang aku gak suka,” ucap Brian dengan tatapan dingin. “Tapi kenapa, Kak? mereka ‘kan teman-teman Kakak. Jadi gak mungkin aku menghindar dari Kak Thomas." Brian menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Ia lalu menatap Aruna dengan sorot mata yang tajam. “Aku bilang gak suka ya gak suka! kamu turutin aja ucapan aku! Aku gak ngelarang kamu untuk berteman dengan mereka, tapi aku gak suka kamu terlalu dekat dengan mereka, itu saja!" Seru Brian emosi yang sudah berada di ubun-ubun. “Iya, tapi apa alasan Kakak?" Brian hanya diam sambil memalingkan wajahnya. Ia sendiri juga tidak tau, kenapa dirinya bisa semarah itu saat melihat kedua temannya begitu perhatian dengan Aruna. Apalagi Thomas dengan percaya diri mengatakan kalau dia suka sama Aruna dan siap untuk menunggunya. “Ya sudah kalau kakak gak mau jawab Lagian aku cuma mau temenan sama mereka, jadi kakak gak berhak melarang aku!” kesal Aruna lalu memalingkan wajahnya menatap keluar jendela.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD