Kawan lama

2468 Words
Aruna dan Brian tengah menikmati liburan semester mereka selama satu bulan penuh. Aruna merasa jenuh di rumah, karena Brian pergi bersama dengan Thomas dan Jordy untuk mempersiapkan pertandingan balap motor mereka. Sebenarnya Thomas mengajak Aruna untuk ikut gabung, tapi Brian melarang Aruna untuk ikut. Kalian pasti tau kan apa alasan Brian, yang tak lain dan tak bukan karena ia tidak ingin melihat Thomas mencari kesempatan untuk dekat-dekat sama Aruna. Walau Brian tidak pernah mengutarakan rasa cintanya kepada Aruna tapi laki-laki itu sampai sekarang masih mempunyai perasaan yang sama seperti sebelumnya. Brian sudah berusaha untuk menghilangkan perasaan yang ada di hatinya tapi semuanya sia-sia. Pesona Aruna sungguh membuat seorang Brian yang angkuh dan keras hati menjadi luluh. Selama beberapa bulan terakhir ini banyak cewek-cewek yang menyatakan cintanya kepada Brian, tapi semuanya ditolak mentah-mentah oleh laki-laki berparas tampan itu. Thomas dan Jordy sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya ini. Apalagi banyak gadis-gadis yang menurut mereka cantik, tapi bagi Brian biasa saja, karena bagi Brian gadis yang cantik itu hanyalah Aruna. Tapi buat Aruna, ia tidak ingin ambil pusing masalah kakak nya itu. Ia tidak peduli dengan siapa gadis-gadis yang begitu tertarik dengan ketampanan kakak angkatnya itu. Karena bagi Aruna, perasaan yang ia rasakan kepada Brian selama ini salah. Ia tidak seharusnya memiliki perasaan itu untuk kakak angkatnya. Aruna merasa kesepian di rumah, biasanya Brian yang selalu menemaninya saat liburan seperti ini. Tapi kini Brian tengah sibuk dengan urusannya sendiri. “Andai ada Kak Brian sekarang, aku yakin, Kak Brian akan mengajak aku jalan-jalan.” Aruna mengambil remot televisi yang ada di atas meja. Dirinya saat ini hanya bisa melihat acara televisi untuk mengisi waktu liburnya. Daren yang sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, mengernyitkan dahinya saat melihat Aruna yang tengah duduk di ruang tengah seorang diri. Daren melangkah mendekati Aruna, “Sayang, kok kamu gak pergi jalan-jalan? bukannya kamu libur ya?” “Iya sih, Pa. Tapi Aruna malas kemana-mana.” “Daripada kamu suntuk di rumah, bagaimana kalau kamu ikut Papa ke kantor?” Aruna mengernyitkan dahinya, “kantor, Pa? Papa yakin mau mengajak Aruna ke kantor?” “Hem. Papa ingin kamu belajar dari sekarang untuk mengurus kantor Papa nanti.” Aruna menggelengkan kepalanya, “Aruna gak mau mengurus perusahaan Papa, karena Kak Brian yang akan mengurus perusahaan Papa nanti.” Aruna lalu beranjak dari duduknya, “tapi Aruna mau ikut Papa ke kantor,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Selama ini Daren berharap Brian dan Aruna bisa meneruskan perusahaannya kelak. Hanya mereka berdua harapan satu-satunya. “Baiklah. Lebih baik sekarang kamu bersiap-siap dulu. Papa akan tunggu di luar.” Aruna menganggukkan kepalanya. Daren melangkah keluar dari rumah itu, sedangkan Aruna berjalan menaiki tangga menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Aruna tak ingin sampai mempermalukan papa angkatnya di depan para karyawannya nanti, jadi dirinya harus berpenampilan secantik mungkin. Aruna memakai kemeja dan celana jeans. Tak lupa dirinya mempoles wajahnya dengan sedikit make up, meskipun tanpa make up, wajahnya tetap terlihat cantik secara alami. Aruna yang sudah selesai bersiap-siap melangkah keluar dari kamarnya. Tak lupa ia memakai tas selempangnya untuk tempat ponsel dan juga dompetnya. “Ma, Aruna mau ikut Papa ke kantor dulu ya. Aruna bosan di rumah.” “Tapi kamu jangan mengganggu pekerjaan papa kamu ya.” Aruna menganggukkan kepalanya, “Aruna janji, Ma,” ucapnya lalu mencium punggung tangan sang mama. Setelah berpamitan dengan mama angkatnya, Aruna melangkah keluar dari rumah itu. Ia melihat papa angkatnya yang sudah menunggunya di dekat mobil. Daren melihat Aruna yang tengah berjalan ke arahnya, “sudah siap sayang?" Aruna menganggukan kepalanya. Supir pribadi Daren membukakan pintu mobil, “silahkan masuk, Tuan.” “Sayang, kamu masuklah dulu,” ucap Daren meminta Aruna untuk masuk lebih dulu. Aruna menganggukkan kepalanya, ia lalu melangkah masuk ke dalam mobil. Setelah itu Daren baru masuk ke dalam mobil. “Pa, nanti apa yang harus Aruna lakukan di kantor? Aruna ‘kan gak tau soal kerjaan kantor.” Aruna menatap sang papa yang duduk disampingnya. “Kamu hanya menemani Papa juga gak apa, Sayang. Sekalian kamu belajar nanti. Papa berharap kamu atau kakak kamu akan meneruskan usaha Papa ini,” ucap Daren sambil menatap putri cantiknya itu. Aruna menggelengkan kepalanya, “biar Kak Brian saja, Pa yang meneruskan usaha Papa. Kak Brian ‘kan anak cowok. Kak Brian pasti bisa membuat perusahaan Papa berjaya nanti,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya. Aruna bukannya tak mau meneruskan usaha sang papa. Tapi baginya Brian lebih berhak untuk itu, karena Brian adalah anak kandung papanya, sedangkan dirinya hanyalah anak angkat. “Terserah kamu saja, Sayang. Tapi kalau kakak kamu gak mau meneruskan usaha Papa, tinggal kamu harapan Papa. Mengerti?” Aruna mengangguk pelan, “baik, Pa.” Setibanya di kantor, Aruna kagum melihat ruangan papa nya yang terlihat sangat luas. Ia mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada di depan meja kerja sang papa. Daren meletakan tas kerjanya di atas meja. Ia lalu mendudukkan tubuhnya di kursi kerjanya. “Sayang, kalau kamu bosan, kamu bisa membaca buku. Di sebelah lemari itu ada ruangan dan bisa kamu pakai untuk membaca buku." Daren menunjuk ke arah lemari yang letaknya tak jauh dari meja kerjanya. Di balik lemari itu ada sebuah ruang kosong yang biasa digunakannya untuk beristirahat sekedar melepas rasa penat. “Baik, Pa.” Aruna lalu beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju lemari itu. Ia melihat sebuah rak buku yang terisi dengan berbagai macam jenis buku. Aruna mengambil sebuah buku n****+ lalu membacanya. Gadis itu senang sekali membaca n****+, ia bahkan ingin sekali hidup seperti di cerita-cerita yang ada di n****+. Aruna membayangkan suatu saat ia akan menikah dengan laki-laki tampan yang berhati baik. Pria itu tak perlu kaya raya. Ia hanya ingin mempunyai suami yang benar-benar mencintainya, bisa melindunginya, dan tentu saja bisa membuatnya nyaman. Aruna mendudukkan tubuhnya di sofa panjang yang ada di ruangan itu. Ia lalu mulai membaca buku n****+ yang tadi diambilnya. “Aku gak menyangka, Papa mengoleksi buku n****+ juga. Atau jangan-jangan ini punya Mama? ya... ini pasti punya Mama. Dulu ‘kan Mama sering ke kantor Papa.” Sudah satu jam Aruna membaca buku, ia merasa sangat mengantuk. Gadis itu akhirnya terlelap di atas sofa dengan buku yang masih ia pegang di atas dadanya. Sedangkan Daren sudah mulai mengecek berkas-berkas yang ada di atas mejanya. Hingga telinganya mendengar suara ketukan di pintu. “Masuk,” sahutnya sambil menatap ke arah pintu. Pintu mulai terbuka dengan perlahan, memperlihatkan sekretaris Daren yang bernama Nina. Usia Nina saat ini adalah dua puluh lima tahun. Nina adalah sekretaris termuda yang pernah Daren miliki. Tapi kinerja Nina sangat memuaskan Daren. “Maaf Pak, ada Pak Reza yang ingin bertemu dengan Bapak,” ucap Nina sambil masih berdiri di depan pintu. Reza? Tumben dia datang kesini? “Suruh dia masuk." “Baik, Pak." Nina lalu menghadap Reza, “silahkan masuk, Pak. Pak Daren sudah menunggu di dalam,” ucapnya dengan tersenyum ramah. “Terima kasih ya.” Nina lalu menyingkir dari depan pintu. Reza lalu melangkah masuk ke dalam ruangan Daren. Sahabat yang sudah lama tak ditemuinya. Daren sudah beranjak dari duduknya dan melangkah menghampiri Reza. “Apa kabar? Lama kita tidak bertemu." Daren memeluk Reza, lalu melepaskannya. “Kabar aku baik, kamu sendiri apa kabar? Sudah 15 tahun kita tidak bertemu. Tapi kamu masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah,” ucap Reza sambil menepiskan senyuman. “Kamu bisa saja, sekarang aku sudah bertambah tua." Daren lalu mengajak Reza untuk duduk di sofa. Aruna membuka matanya secara perlahan, ia mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap sambil tertawa lepas. Karena merasa sangat penasaran, Aruna akhirnya memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Papa sedang mengobrol dengan siapa ya? kok aku baru pertama kali melihatnya. Daren melihat Aruna yang tengah mengintip dari balik lemari, langsung menyuruhnya untuk mendekat. “Sayang, kemarilah,” pintanya sambil melambaikan tangannya. Aruna menganggukkan kepalanya, ia lalu melangkah menghampiri sang papa yang tengah duduk di sofa bersama dengan seorang pria yang sama sekali tak dikenalnya. “Za. Kenalkan, ini Aruna, anak aku," ucap Daren mencoba untuk memperkenalkan Aruna pada sahabatnya. Reza menatap lekat wajah Aruna. Ia sangat penasaran, karena setahu Reza temannya ini hanya punya satu anak laki-laki. Apa setelah kepergian aku, Ines hamil lagi? tapi bukankah Ines sudah tak bisa hamil lagi karena rahimnya sudah diangkat? “Saya Aruna, Om. Salam kenal, Om.” Aruna mencium punggung tangan Reza sebagai penghormatannya kepada sahabat papanya itu. bagaimanapun dirinya harus bersikap sopan kepada orang yang lebih tua bukan? Reza tersenyum, “nama yang cantik. Salam kenal, Sayang. Nama Om Reza. Om adalah teman papa kamu.” Aruna menganggukkan kepalanya. Ia tak ingin mengganggu papanya dan sahabatnya itu. Jadi dirinya memilih untuk pamit. “Pa, Aruna pulang ya. Aruna bosen disini.” Daren menganggukkan kepalanya. Ia juga tak akan membiarkan putrinya sendirian, disaat dirinya mengobrol dengan Reza. “Sayang, biar kamu di antar pulang sama Mang Ujang aja." “Aruna mau pulang naik taksi aja, Pa. Aruna mau mampir ke rumah Iren dulu. Boleh ‘kan, Pa?” “Baiklah. Tapi kamu pulangnya jangan malam-malam ya. Jangan seperti kakak kamu yang suka keluyuran pulang malam. Kakak kamu selalu membuat Mama dan Papa pusing.” Aruna menganggukkan kepalanya, “baik, Pa. Aruna akan pulang tepat waktu pokoknya.” Aruna lalu mencium punggung tangan papanya, “kalau begitu Aruna pulang dulu ya, Pa,” pamitnya. “Hati-hati pulangnya ya, Sayang.” “Iya, Pa.” Aruna lalu menatap Reza, “mari, Om,” pamitnya dengan menepiskan senyumannya. Reza menganggukkan kepalanya. Aruna lalu melangkah keluar dari ruangan papanya. Daren menceritakan semuanya tentang Aruna, tidak ada yang disembunyikan dari sahabat masa kecilnya ini. Reza hanya menyimak cerita Daren sambil menepiskan senyumannya. Ia tidak mengira sahabat masa kecilnya ini berhati mulia, ia mau merawat seorang anak yang tidak ada hubungan darah dengannya. “Jadi kamu mengadopsi Aruna sejak usia Aruna enam tahun?” Daren menganggukkan kepalanya, “aku dan Ines ingin sekali mempunyai anak perempuan. Tapi kamu sendiri tau ‘kan, kalau Ines gak bisa hamil lagi karena kandungannya harus diangkat.” “Hem.” “Aku bersyukur sudah mengadopsi Aruna. Dia anak yang berhati baik, penurut, dan tak pernah membangkang seperti Brian.” Reza tersenyum, “itulah bedanya anak cowok sama anak cewek, Ren. Kita harus exstra sabar untuk menghadapi anak cowok.” “O ya, bagaimana kabar Hanan? Dia pasti sekarang sudah tumbuh besar." Daren tiba-tiba teringat dengan anak laki-laki sahabatnya itu. Dulu Brian dan Hanan adalah teman masa kecil. Ia mengingat masa-masa saat Hanan dan Brian menghabiskan waktu bersama-sama dengan keluarganya. Tapi mereka harus berpisah lantaran Hanan harus ikut mamanya pindah ke Amerika. Kedua orang tuanya bercerai, dan Reza meminta Hanan untuk ikut dengan mama nya. “Hem. Dia sudah tumbuh besar sekarang, tapi semenjak mama nya meninggal, dia menjadi sosok yang sulit untuk diatur. Aku sebenarnya berencana untuk mencarikan dia calon istri." Reza menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa. Ia menghembuskan nafas lelah. "Hanan menjadi sosok yang berbeda. Aku hanya ingin ada orang yang bisa menyayanginya seperti mama nya. Aku merasa aku sudah gagal menjadi seorang ayah untuknya," sambungnya lagi. Daren tau betul seperti apa Hanan. Ia tau kalau Hanan sebenarnya sangat mencintai ayahnya. Tapi melihat raut wajah sahabatnya saat ini, ia yakin, Hanan bukanlah Hanan yang ia kenal dulu. “Sekarang apa yang Hanan lakukan di Amerika? Apa dia masih kuliah disana?" “Dia sudah menyelesaikan kuliahnya, sekarang dia menggantikan posisi aku di perusahaan, itu pun aku harus memaksanya." “Hanan sebenarnya tak ingin mengurus perusahaan. Dia ingin hidup bebas tanpa harus mengurus masalah perusahaan. Tapi kamu tau ‘kan, kalau hanya Hanan harapan aku untuk bisa meneruskan perusahaanku.” “Aku juga sudah semakin tua. Aku gak bisa selamanya mengurus perusahaan itu dan juga Hanan. Itu sebabnya, aku ingin mencarikan calon istri untuk dia. Wanita yang bisa bersabar dalam menghadapi sikap Hanan.” Reza lalu memiringkan wajahnya menatap Daren. Ia teringat akan gadis cantik yang belum lama dikenalkan oleh sahabatnya ini. Terlintas suatu ide dalam benak Reza saat ini. “Ren. Apa aku boleh bertanya sesuatu sama kamu?” “Hem. Apa yang ingin kamu tanyakan?” “Apakah Aruna sudah punya pacar?” Disaat Daren tengah bingung dengan pertanyaan yang sahabatnya tanyakan padanya, saat ini Aruna sudah tiba di rumah Iren. Aruna menekan bel yang ada di dekat pintu. Tak berselang lama pintu mulai terbuka dengan perlahan, menampilkan sosok wanita paruh baya yang tak lain asisten rumah tangga keluarga Iren. “Ada yang bisa Bibik bantu, Non?” “Apa Iren nya ada, Bik?” “Ada, Non. Mari silahkan masuk,” tawar wanita paruh baya itu lalu menyingkir dari depan pintu. Aruna melangkah masuk ke dalam rumah Iren. Ini bukan pertama kalinya dirinya datang ke rumah sahabatnya itu. “Silahkan duduk, Non. Bibik akan panggilkan Non Iren dulu,” pamit wanita paruh baya itu lalu melangkah pergi. Tak berselang lama, Iren berjalan menghampiri Aruna yang tengah duduk di ruang tamu seorang diri. “Tumben lo datang ke rumah gue?” “Gue bosen di rumah. Selain itu gue habis dari kantor bokap gue.” “Emangnya lo gak pergi sama Brian?” Aruna menggelengkan kepalanya, “Kak Brian pergi sama Kak Thomas dan Kak Jordy. Gue awalnya mau ikut, tapi lo tau sendiri gimana Kak Brian. Dia gak bakalan ngijinin gue ikut,” kesalnya. “Terus lo datang kesini untuk meluapkan kekesalan lo itu?” Aruna menggelengkan kepalanya, “gimana kalau kita pergi nonton? Gue yang traktir. Bukannya lo juga suntuk di rumah?” “Iya sih. Kebetulan lo datang kesini. Gimana kalau kita sekalian jalan-jalan ke mall belanja?” “Boleh tuh. Gue mau beli baju baru.” “Ok, kalau gitu gue siap-siap dulu ya.” Iren lalu beranjak dari duduknya, lalu melangkah pergi meninggalkan Aruna sendirian. Setelah kepergian Iren, Aruna mendengar suara dering ponselnya. Ia lalu mengambil ponselnya dari tas selempangnya dan melihat siapa yang menghubunginya. Kak Brian! Aruna langsung menjawab panggilan itu, “halo, Kak,” sapanya saat panggilan itu sudah mulai tersambung. “Kamu sedang apa sekarang?” “Aku lagi ada di rumah Iren, Kak. Kami rencana mau jalan-jalan ke mall terus pergi nonton.” “Hanya kalian berdua?” “Hem. Memangnya kenapa? lagian siapa suruh aku mau ikut Kakak larang.” “Aku melarang kamu ikut, karena aku tak suka lihat kamu dekat-dekat sama Thomas.” “Tapi aku dan Kak Thomas...” “Tetap saja aku tak suka, Na!” Aruna menghela nafas panjang, “terserah Kakak!” serunya lalu mengakhiri panggilan itu. Sedangkan di tempat lain, saat ini Brian tengah mengumpat karena Aruna telah mengakhiri panggilan darinya. Sialan! Thomas melangkah mendekati Brian, “lo kenapa? lo gak bisa menghubungi Aruna? Gimana kalau gue aja yang menghubunginya dan tanya sedang apa dia sekarang?” “Gak perlu! Awas saja kalau sampai lo menghubungi Aruna di belakang gue!” seru Brian lalu melangkah pergi. Thomas mengernyitkan dahinya, “ada apa sih dengannya? Apa dia marah karena kalah tanding?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD