Rencana Reza

2842 Words
Daren mengernyitkan dahinya, “kenapa tiba-tiba kamu menanyakan itu?” tanyanya penasaran. “Aku hanya ingin tau aja.” "Setahu aku sih belum sih. Aruna selalu sibuk dengan tugas-tugas kampusnya. Selama ini yang aku lihat, Aruna hanya dekat dengan teman-teman Brian.” Daren menatap kedua mata Reza dengan kedua alis yang menaut satu sama lain. Ia masih penasaran, kenapa tiba-tiba sahabatnya itu bertanya soal Aruna. “Za, jawab jujur. Kenapa kamu bertanya soal Aruna? Jangan bilang kamu suka sama anak aku ya? apalagi kalian baru pertama kali bertemu?” Kedua mata Reza membulat dengan sempurna, “hah! Kamu bilang apa? aku suka sama anak kamu?” Reza lalu tertawa, “astaga!” “Za, aku tau Aruna itu cantik. Tapi dia lebih pantas untuk jadi anak kamu atau menantu kamu, bukan istri kamu.” Reza menepuk keningnya sendiri. Bagaimana bisa sahabatnya berpikiran seperti itu tentang dirinya. Apa terlihat di wajahnya kalau dirinya ingin mencari istri baru? “Aku gak akan mengizinkannya, Za,” sambung Daren lagi. “Astaga! jadi kamu pikir aku ingin menikahi Aruna? Begitu maksud kamu?” “Hem. Terus ngapain kamu tanya soal Aruna sudah punya pacar belum? Padahal baru tadi kamu bertemu dengan Aruna ‘kan sangat mencurigakan.” Reza menghela nafas panjang, “dasar! Mana mungkin aku mau menikahi gadis yang pantas untuk menjadi anak aku. Gila apa!” “Terus maksud kamu tadi apa?” "Bagaimana kalau kita menjodohkan Aruna dengan anak aku Hanan? sepertinya Aruna cocok untuk menjadi istri Hanan." Daren mengernyitkan dahinya. Ia tidak paham dengan pemikiran sahabatnya itu. Ini sudah zaman modern, bukan lagi zaman Siti Nurbaya. “Perjodohan?” Daren kembali memastikan. “Hem. Aku ingin menjodohkan Aruna dengan Hanan.” “Tapi ini sudah bukan lagi zaman kita, Za. Mana ada anak yang mau menikah dengan pria yang belum dikenalnya.” “Mereka bisa saling mengenal nantinya, Ren. Kita pertemukan Aruna dengan Hanan dulu agar mereka bisa saling mengenal satu sama lain.” Daren menghela nafas panjang, “apa kamu sudah membicarakan ini dengan Hanan? Apa dia setuju dengan ide konyol kamu ini?" Daren terkejut saat sahabatnya itu menjawab pertanyaannya dengan gelengan kepala. “Za. Anak zaman sekarang mana ada yang mau di jodoh-jodohkan, mereka pasti punya pilihan sendiri. Mereka juga berhak untuk menentukan masa depan mereka." "Aku tau. Tapi aku ingin Aruna menjadi istri Hanan, aku lihat Aruna gadis yang cocok untuk menjadi istri Hanan." Daren menghela nafas panjang, ia sebenarnya juga merasa tidak enak jika harus menolak permintaan teman masa kecilnya itu. Tapi, dirinya juga sangat berat jika harus melepaskan putrinya itu untuk menikah di usia muda. “Aruna memang gadis yang baik. Tapi dia masih muda, Za. Dia belum siap untuk menikah.” “Ayolah, Ren. Aku ingin persahabatan kita menjadi keluarga. Kamu juga sudah mengenal Hanan. Hanan pasti akan membuat Aruna bahagia.” “Tapi dulu Hanan masih kecil, sebelum akhirnya pindah ke Amerika. Aku gak tau bagaimana Hanan setelah dewasa. Apalagi kamu pasti juga tau, bagaimana pergaulan di sana.” Daren menepuk bahu Reza, “bukannya aku ingin menjelekan Hanan. Tapi Aruna itu belum siap untuk membina rumah tangga, Za. Dia masih sangat muda.” Reza mengangguk mengerti, “kamu tenang saja, Hanan masih anak yang baik, Ren. Aku yakin, Aruna akan bahagia setelah menikah dengan Hanan. Jadi aku mohon, tolong pertimbangkan permintaan aku ini,” pintanya dengan wajah memelas. Astaga! Daren menghela nafas panjang, “lebih baik kamu tanyakan dulu pada Hanan. Apa dia mau di jodohkan sama Aruna. Jika Hanan setuju aku akan membicarakan ini dengan Ines." Reza menganggukan kepalanya, ia terlihat sangat bahagia. Akhirnya tidak akan lama lagi ia bisa melihat anak semata wayangnya menikah. “Terima kasih ya, Ren. Aku akan pastikan Hanan akan setuju dengan perjodohan ini,” ucap Reza dengan senyuman di wajahnya. “Tapi aku harap kamu gak memaksa Hanan atau mengancamnya hanya untuk menuruti kemauan kamu itu.” Daren mengenal betul sifat sahabatnya itu. Sahabatnya itu selalu melakukan segala cara untuk mewujudkan keinginannya. “Hem. Aku gak akan melakukan itu. Aku hanya ingin mencarikan jodoh yang terbaik untuk Hanan.” Tapi ada satu hal yang mengganggu pikiran Reza. Apakah Aruna akan setuju untuk menikah dengan Hanan? Itulah yang ada di dalam pikiran Reza saat ini. Daren sebenarnya juga bingung dengan keputusannya. Ia ragu akan keputusannya jika mengingat umur Aruna yang masih sangat muda. ‘Apa keputusan aku ini sudah benar? Apa Aruna akan mau menerima perjodohan ini? Tapi jika ternyata Hanan menyetujui perjodohan ini, apa yang harus aku katakan pada Aruna?’ gumam Daren dalam hati. Setelah bercakap-cakap, Reza berpamitan, ia sudah tidak sabar untuk menyampaikan keinginannya kepada Hanan. Setelah kepulangan Reza, Daren menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya. Dirinya masih memikirkan tentang permintaan Reza untuk menjodohkan Aruna dengan Hanan. “Sekarang apa yang harus aku lakukan? aku yakin, Aruna tak akan setuju dengan rencana perjodohan ini. Aruna masih ingin kuliah. Dia pasti mempunyai banyak mimpi setelah lulus kuliah nanti.” Setelah selesai bekerja, Daren keluar dari ruang kerjanya. Ia melihat sekretarisnya masih duduk di kursi kerjanya. “Kamu tidak pulang, Na?” “Iya, Pak. Saya akan pulang sebentar lagi.” “Kamu bisa lanjutkan pekerjaan kamu besok. Lebih baik sekarang kamu pulang, karena ini sudah waktunya pulang.” Daren tak akan membiarkan sekretarisnya lembur. Bukannya ia tak sanggup membayar upah lembur untuk sekretarisnya. Tapi ia tau, kalau sekretarisnya itu pasti juga sangat lelah setelah seharian bekerja. “Baik, Pak.” “Kalau begitu saya pulang dulu.” Nina menganggukkan kepalanya. Daren lalu melangkah menuju lift. Sedangkan Nina membereskan meja kerjanya dan bersiap-siap untuk pulang. Sesampainya di rumah, Daren melihat sang istri yang tengah menyambut kedatangannya. “Mama sebenarnya gak usah menyambut Papa kayak gini juga gak apa, Ma.” “Apa Papa gak suka, kalau Mama selalu menyambut kepulangan Papa?” Ines mengambil tas kerja Daren lalu membawanya. “Papa pasti lelah setelah seharian bekerja. Mendingan sekarang Papa mandi habis itu makan malam,” pinta Ines dengan senyuman di wajahnya. “Hem. Papa memang sangat lelah. Tubuh Papa juga sudah sangat lengket. Kalau begitu Papa mau mandi dulu,” ucap Daren lalu mencium kening sang istri. Daren masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju kamarnya. Sedangkan Ines berjalan menuju ruang kerja suaminya untuk meletakkan tas kerja suaminya yang dibawanya. Setelah selesai membersihkan diri dan berpakaian Daren berjalan menuju meja makan. Ruang makan itu terlihat sepi, karena Brian dan Aruna belum pulang. Ines mengambilkan makanan dan ia letakkan di depan suaminya. “Brian belum pulang, Ma?” tanya Daren lalu memasukkan satu suap makanan ke dalam mulutnya. “Belum, Pa. Brian paling lagi kumpul sama teman-temannya.” Ines juga mulai memakan makanannya. Tak ada lagi percakapan di antara mereka berdua. Makan malam selesai, kini Daren tengah berada di dalam kamar bersama dengan istrinya. Ia ingin meminta pendapat istrinya tentang rencana perjodohan itu. “Ma..." Ines yang sedang duduk sambil membaca buku, mengalihkan pandangannya menatap suaminya. “Ya, Pa. Apa Papa butuh sesuatu?” Daren ragu mengutarakan keinginannya, "Ma..." Daren menghentikan ucapannya, ia lalu beranjak dari duduknya dan melangkah mendekati Ines, lalu mendudukkan tubuhnya di samping Ines. Ines menutup buku yang tadi dibacanya, lalu meletakkannya di atas meja. “Papa mau bicara apa?” tanyanya penasaran. “Mama masih ingat sama Reza?" Ines menatap lekat kedua mata suaminya. Ia bisa melihat kegelisahan di wajah suaminya. "Ada apa Pa? Apa ada masalah di kantor?" tanya Ines cemas. Daren menggelengkan kepalanya, "ini bukan masalah kantor, Ma.” “Terus? Kenapa Papa terlihat sangat gelisah?” “Reza ingin melamar Aruna, Ma. Dia ingin menjodohkan Aruna dengan Hanan." Kedua mata Ines membulat dengan sempurna, "maksud Papa apa? Perjodohan? Aruna?" “Iya Ma, Reza ingin melamar Aruna. Reza sangat ingin menjodohkan Aruna dengan Hanan. Katanya Aruna gadis yang tepat untuk Hanan.” Daren menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Ia menghela nafas berat. “Bagaimana pendapat Mama?” tanya Daren sambil memiringkan wajahnya menatap sang istri yang duduk di sampingnya. “Mama gak tau Pa. Aruna masih sangat muda untuk menikah, umurnya baru 19 tahun. Selain itu, apa Aruna setuju untuk menikah muda?” “Tapi Papa sudah terlanjur berjanji sama Reza. Papa sebenarnya juga ragu, Ma. Papa juga tak ingin Aruna sampai menikah muda." “Apa Hanan juga sudah menyetujuinya perjodohan itu, Pa?" tanya Ines penasaran. Daren menggelengkan kepalanya, “Reza baru mau memberitahu Hanan. Dia akan menghubungi Papa untuk memberitahu jawaban Hanan.” Daren menggenggam tangan sang istri, “tapi ini juga demi kebaikan Aruna, Ma. Hanan anak yang baik, kita juga sudah mengenalnya sejak kecil." Ines bisa melihat keraguan dari raut wajah suaminya. Ia menepuk punggung tangan laki-laki yang telah menemaninya selama 25 tahun ini. “Jika itu yang Papa pikirkan, Mama setuju aja. Mungkin ini yang terbaik untuk Aruna." “Tapi bagaimana dengan Aruna?" Daren takut akan ada penolakan dari anak gadisnya itu. “Papa tenang saja, Aruna itu anak yang penurut, dia tidak akan pernah menolak permintaan Papa. Mama tau Aruna itu sangat menyayangi Papa, bahkan rasa sayangnya melebihi apapun di dunia ini.” “Kasih sayang yang Papa berikan ke Aruna, menjadikan Aruna menjadi anak yang penurut. Jadi Papa gak usah khawatir,” ucap Ines sambil mengusap lengan suaminya. Daren menganggukan kepalanya. Ucapan Ines membuatnya sedikit lebih tenang. Ia juga tau kalau putri kesayangannya itu sangat menyayanginya. Daren merasakan ada getaran dari ponselnya, ia mengambil ponsel dari dalam saku celananya. "Siapa Pa?" "Reza," sahut Daren lalu menjawab panggilan dari Reza. “Halo, Za," sapanya saat panggilan itu sudah mulai tersambung. “Hanan menyetujui perjodohan ini, besok malam aku akan datang ke rumah kamu untuk membicarakan perjodohan ini." “Apa! Apa itu tidak terlalu cepat? Aku belum membicarakan ini sama Aruna?" Daren tidak menyangka kalau Hanan akan setuju dengan ide perjodohan ini. Selain itu, dirinya juga belum membicarakan soal ini dengan Aruna. Ines menyentuh lengan Daren lalu menganggukan kepalanya. “Aku gak mau mengundurnya, Ren. Bukankah lebih cepat lebih baik? Selain itu nanti Aruna dan Hanan bisa saling mengenal satu sama lain.” Daren menghela nafas panjang, “baiklah, kita ketemu besok malam." “Ok. Aku dan Hanan akan datang tepat waktu. Aku harap Aruna juga akan setuju dengan rencana perjodohan ini. Tapi, apapun keputusan Aruna, aku akan menerimanya. Aku juga gak bisa memaksa Aruna untuk menerima perjodohan ini.” “Hem. Semoga saja.” Daren lalu mengakhiri panggilan itu. “Reza bilang apa, Pa?" tanya Ines penasaran. “Dia bilang, dia akan menerima apapun keputusan Aruna. Ia tidak akan memaksa Aruna untuk menerima perjodohan ini." Daren memijat kepalanya yang terasa pening. “Mereka akan datang besok malam untuk membicarakan perjodohan ini. Mama siapkan semuanya." Daren beranjak dari duduknya lalu keluar dari kamar. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang kerjanya. Sedangkan saat ini, Aruna baru saja selesai nonton film kesukaannya bersama dengan Iren. Mereka lalu melangkah keluar dari bioskop. “Na, gue antar pulang ya?” “Boleh. Lagian ini sudah malam. Gue takut Mama dan Papa marah lagi karena gue pulang malam.” “Memangnya tadi lo gak pamit sama orang tua lo?” “Pamit sih. Tapi cuma sama Papa aja,” ucap Aruna sambil nyengir kuda. “Em... kalau begitu gue antar lo pulang sekarang aja.” Mereka lalu melangkah menuju parkiran. “Sorry ya, Ren, gue jadi ngerepotin lo.” “Gue justru berterima kasih sama lo, karena gue bisa keluar dari rumah. Kalau gak, gue yakin, gue hanya akan berdiam diri di rumah untuk mengisi liburan gue ini.” “Tumben lo gak liburan sama keluarga lo?” tanya Aruna sambil menatap Iren yang tengah menyetir. “Papa lagi banyak kerjaan. Gue juga gak mau pergi sendirian,” ucap Iren sambil menepiskan senyumannya. Aruna mengusap lengan Iren, “maafin gue ya, gue udah bikin lo sedih.” “Gak kok, Na. Kadang-kadang gue memang teringat ama Mama. Gue kadang masih gak percaya, kalau Mama sudah gak ada.” “Mama lo pasti sudah tenang disana. Jadi lo juga harus ngikhlasin kepergian mama lo.” Sesampainya di rumah, Aruna langsung melangkah masuk ke dalam rumahnya setelah memastikan mobil Iren keluar dari pintu gerbang rumahnya. Aruna masuk ke dalam rumah dengan senyuman di wajahnya. Ia terlihat sangat bahagia, karena hari ini ia bisa menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang bersama dengan Iren. Kedua tangan Aruna bahkan menenteng paper bag yang berisi barang belanjaannya. “Aku sudah gak sabar ingin nyobain semua pakaian ini.” “Aruna, kamu dari mana jam segini baru pulang?" tanya Ines saat melihat Aruna melangkah menuju tangga. Aruna akhirnya mengurungkan niatnya dan berjalan menghampiri mama angkatnya itu. Ia lalu mencium tangan mamanya. “Habis dari nonton Ma sama Iren." “Lain kali, kasih tau Mama kalau mau pergi sama teman kamu. Kamu itu anak gadis, tidak baik pulang malam-malam kayak gini." Aruna menundukkan wajahnya lalu menganggukan kepalanya. “Maaf, Ma.” “Mama bukannya marah sama kamu, Mama bersikap tegas kayak gini juga demi kebaikan kamu. Lebih baik sekarang kamu mandi." “Baik, Ma. Sekali lagi maafkan Aruna, Ma.” Ines mengusap lengan Aruna, “Mama hanya gak ingin sampai kamu kenapa-napa.” Aruna menganggukkan kepalanya, ia menyadari kesalahannya, “kalau begitu Aruna ke kamar dulu, Ma,” pamitnya lalu melangkah menuju tangga. “Apa kamu sudah makan malam?" tanya Ines yang membuat Aruna menghentikan langkahnya. Aruna membalikkan tubuhnya menghadap sang mama, “sudah Ma," ucapnya lalu kembali membalikkan tubuhnya dan melanjutkan langkahnya. Aruna melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ia meletakkan kedua paper bag itu ke atas ranjang. Ia lalu mendudukkan tubuhnya di atas ranjang. Aruna menepuk keningnya sendiri, “kenapa tadi aku gak memberitahu Mama kalau aku pergi nonton sama Iren? Tapi aku ‘kan sudah izin sama Papa.” Aruna lalu mengambil satu paper bag, lalu membukanya dan mengeluarkan isi paper bag itu. “Apa Kak Brian bakalan suka sama baju ini ya? aku sengaja membeli baju couple untuk aku dan Kak Brian,” ucap Aruna dengan senyuman di wajahnya. Apalagi ini pertama kalinya Aruna membelikan hadiah untuk Brian. Bukan hadian yang spesial, tadi dirinya berharap Brian akan menyukai hadiah pemberiannya. Lebih baik aku mandi dulu, setelah itu baru aku coba deh bajunya. Aruna lalu melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah selesai mandi, ia melangkah keluar dari kamarnya. Aruna lalu melangkah menuju ranjangnya untuk mengambil kaos yang tadi dibelinya. Ia berniat untuk memakai kaos itu malam ini. Saat Aruna tengah menyisir rambutnya, ia mendengar suara pintu diketuk. “Masuk,” sahutnya sambil terus menyisir rambutnya. Aruna mendengar suara pintu kamarnya yang mulai terbuka. Ia lalu menatap ke arah pintu dan melihat Brian yang tengah berdiri di depan pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Aku dengar dari Mama, kamu baru pulang?” Brian melangkah masuk ke dalam kamar Aruna, ia melihat dua paper bag di atas ranjang Aruna. “Kamu habis belanja?” Aruna beranjak dari duduknya, lalu melangkah menuju ranjang. “Aku punya sesuatu untuk kakak.” Aruna lalu mengambil kaos dari dalam paper bag, “aku harap kakak suka,” ucapnya lalu memberikan kaos itu kepada Brian. Brian mengernyitkan dahinya menatap kaos yang ada di tangan Aruna dan kaos yang Aruna pakai. “Kita couple lan gitu?” Aruna menganggukkan kepalanya, “kenapa? kakak gak suka?” Brian mengambil kaos itu dari tangan Aruna, “bukannya gak suka. Tapi aneh aja gitu. Kamu mau pakai baju couple sama aku.” “Coba kakak pakai. Pas gak buat kakak? Soalnya aku gak tau ukuran baju kakak.” “Ok.” Aruna membulatkan kedua matanya saat melihat Brian yang tengah melepas kaos yang dipakainya di depannya. “Kakak!” serunya lalu membalikkan tubuhnya. “Katanya suruh pakai? Ya udah aku pakai disini biar kamu lihat, kaos ini cocok buat aku apa gak,” ucap Brian lalu memakai kaos dari Aruna. Brian menatap penampilannya saat ini di depan cermin rias yang ada di kamar Aruna. “Gimana? Cocok gak buat aku?” Aruna membalikkan tubuhnya. Ia lalu tersenyum, “cocok banget. Kakak semakin tampan setelah memakai kaos itu.” “Jadi sekarang aku terlihat tampan nih,” goda Brian sambil melangkah mendekati Aruna. Aruna melangkah mundur, hingga tubuhnya menabrak ranjang. “Kalau aku tampan, apa kamu sudah mulai tertarik sama aku?” “Kak...” Aruna menahan tubuh Brian yang semakin mendekat padanya. Detak jantungnya mulai berpacu dengan sangat cepat. Brian mengulum senyum, saat melihat kedua pipi Aruna yang mulai bersemu merah. Ia lalu mengecup kening Aruna. “Terima kasih untuk hadiahnya ya. Aku suka dengan hadiahnya,” ucap Brian dengan senyuman di wajahnya. Aruna hanya mampu menganggukkan kepalanya. “Lain kali, kalau pergi pulangnya jangan malam-malam. Aku hanya gak ingin sampai terjadi apa-apa sama kamu.” Aruna sekali lagi menganggukkan kepalanya. “Apa kamu sudah makan malam?” “Hem.” “Yah... padahal aku ingin mengajak kamu makan malam di luar. Sekalian kita jalan memakai baju couple ini.” “Mau... mau. Aku mau, Kak,” ucap Aruna dengan senyuman di wajahnya. “Lah... tadi katanya kamu sudah makan malam.” “Aku sudah lapar lagi sekarang,” ucap Aruna sambil nyengir kuda. “Dasar!” Brian mengusap puncak kepala Aruna. “Ya udah, kamu siap-siap, aku tunggu di bawah.” Brian lalu melangkah keluar dari kamar Aruna dengan senyuman di wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD