Tamu spesial

2740 Words
Cahaya terang yang terpancar dari sang rembulan, mampu membuat malam yang gelap dan sunyi menjadi lebih hidup dan indah. Begitu pula dengan kemerlip bintang yang bertaburan semakin mempercantik keindahan langit malam ini, membuat seorang wanita paruh baya yang tinggal di sebuah bangunan berlantai dua itu lebih bersemangat lagi. Dimana saat ini Ines yang dibantu asisten rumah tangganya, mulai memasak untuk makan malam, karena malam ini adalah malam yang sangat spesial untuk keluarganya. Malam ini rumahnya akan kedatangan tamu spesial. Selain sahabat suaminya, tamunya itu juga akan menjadi bagian dari keluarganya kalau rencana perjodohan itu berjalan dengan lancar. Bagaimanapun juga dirinya harus menyambut tamunya itu dengan baik dan menyajikan makanan yang spesial untuk tamunya malam ini. "Bik, jangan sampai ada yang kelupaan. Semua harus siap di meja makan. Malam ini adalah malam yang sangat spesial." Terlihat sebuah senyuman kebahagiaan dari wajah Ines. Wanita paruh baya yang tak lain asisten rumah tangga Ines, hanya menganggukan kepalanya sambil menyiapkan hidangan di atas meja makan. Sebelum memasak tadi, Ines sudah menyuruh anak gadisnya untuk bersiap-siap. Ia bahkan menyuruh Aruna untuk berdandan yang cantik, memakai gaun yang indah. Malam ini calon menantunya akan melihat wajah anak gadisnya untuk pertama kalinya. Ia ingin Hanan terpesona dengan kecantikan Aruna. Ines sendiri mengakui kecantikan putri angkatnya itu. Mungkin wajah yang Aruna miliki sama seperti wajah ibunya. Sedangkan di dalam kamar, Aruna masih terus menggerutu, karena dirinya tidak mendapatkan jawaban dari mamanya tentang maksud dari semua ini. “Kenapa Mama memintaku untuk berdandan? Memangnya siapa yang akan datang?” Menyuruhnya bersiap-siap dan berdandan. Padahal Aruna selama ini jarang berdandan. Tanpa harus berdandan dirinya tetap terlihat cantik. Kamu terlalu percaya diri Aruna. Aruna membuka pintu lemarinya. Ia memilih gaun mana yang akan dipakainya malam ini. Tapi, ia sama sekali tak ada semangat untuk memakai gaun-gaun itu, karena tak ada acara yang spesial malam ini. Aruna akhirnya hanya mengenakan pakaian seperti biasanya. Ia hanya menggunakan kaos oblong dengan celana hot pants. Ia tidak mau berdandan sebelum tau apa maksud dari sang mama menyuruhnya berdandan. “Aku lebih suka pakaian ini, karena ini adalah pakaian yang biasa aku pakai.” Aruna mengusap perutnya yang keroncongan, “mendingan aku bantu Mama di dapur,” ucapnya lalu melangkah keluar dari kamarnya. Ines terkejut melihat Aruna yang melangkah menuju dapur dengan pakaian yang biasa dipakainya saat di rumah. Sama sekali tak ada yang spesial dengan pakaian yang Aruna pakai malam ini. Bukan ini yang Ines inginkan. Ia ingin malam ini Aruna berdandan secantik mungkin dengan memakai gaun untuk menyambut kedatangan tamu spesialnya. Tapi, saat ini dirinya justru melihat Aruna yang sama sekali belum bersiap-siap. "Kenapa kamu belum juga bersiap-siap? Bukannya tadi Mama menyuruhmu untuk berdandan? apa kamu sudah mulai tak mau mendengar apa kata Mama?" "Bukan begitu, Ma. Aruna gak mau berdandan. Mama 'kan tau Aruna tidak suka berdandan. Terus kenapa malam ini Aruna harus berpakaian yang bagus. Sebenarnya malam ini akan ada acara apa sih, Ma?" tanya Aruna yang masih penasaran. Aruna menarik salah satu kursi lalu mendudukkan tubuhnya. Ia mengambil udang goreng tepung lalu memasukannya ke dalam mulutnya. "Ini pasti masakan Mama. Mama memang chef terbaik," puji Aruna lalu kembali mengambil udang goreng tepung kesukaannya. Ines hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah anak gadisnya ini. Bagaimana Aruna bisa mengarungi bahtera rumah tangga kalau sikapnya masih begitu kekanak-kanakan. Justru sifat kekanak-kenakan ini lah yang membuat anak kesayangan kamu jatuh cinta. Aruna begitu penasaran, karena malam ini begitu banyak makanan terhidang di atas meja makan, seperti akan ada acara jamuan makan malam. "Apa akan ada tamu yang datang, Ma? Kenapa malam ini Mama memasak makanan banyak banget?" "Nanti kamu juga akan tau." Ines menatap penampilan Aruna dari atas sampai bawah. "Lebih baik sekarang kamu ganti baju, gak sopan pakai baju seperti itu." Aruna melihat penampilannya dari atas sampai bawah. Menurutnya tidak ada yang salah dengan penampilannya saat ini. Dirinya merasa pakaian yang dipakainya sopan. "O ya, dimana kakak kamu? Mama gak melihat kakak kamu dari tadi?" Sejak siang tadi Ines sama sekali belum bertemu dengan putra tampannya itu, tidak seperti biasanya Brian pergi sebelum makan malam. "Tadi katanya mau ke rumah temannya, Ma." Aruna kembali mengambil udang goreng tepung yang ada di piring yang ada di atas meja makan. “Astaga! Mama menyuruh kamu untuk ganti baju, bukannya makan.” “Aruna gak mau ganti baju, Ma. Buat apa sih Aruna harus pakai gaun? Kan gak ada yang spesial malam ini?” Aruna bahkan mengerucutkan bibirnya. Ines menghela nafas panjang, “sekali ini aja gak usah membatah perintah Mama. Dengarkan apa yang Mama katakan.” Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aruna berdiri hendak membukakan pintu tapi dicegah oleh Ines. "Biar Mama saja, lebih baik sekarang kamu ganti baju yang sopan. Gak enak kalau ada tamu kamu berpakaian kayak gini. Gak harus pakai gaun, tapi pakaian kamu yang sopan. Gak pakai celana pendek kayak gini juga." “Tapi, Ma...” “Mama gak suka kamu membatah ucapan Mama.” Setelah mengatakan itu, Ines berjalan menuju pintu utama untuk membukakan pintu untuk tamunya. Wanita paruh baya yang sejak tadi mendengar perdebatan ibu dan anaknya hanya geleng kepala. “Non, lebih baik Non turuti apa kata Nyonya,” ucap wanita paruh baya itu. “Tapi Bibik ‘kan tau, aku gak suka berdandan. Lagi pula siapa sih yang akan datang? apa Bibik tau?” “Bibik dengar sih sahabat Tuan, Non. Tapi Bibik gak tau siapa.” Aruna lalu mengambil udang tepung goreng lalu memasukkan ke dalam mulutnya. “Ya udah deh, Bik. Aku mau ganti baju dulu,” ucap Aruna lalu melangkah pergi dari ruang makan. "Sayang, kenapa muka kamu cemberut kayak gitu?" tanya Daren ketika dirinya berpapasan dengan putrinya di tangga. "Nggak ada apa-apa, Pa. Aruna mau ganti baju dulu," ucap Aruna sambil terus mengerucutkan bibirnya. "Dandan yang cantik ya," ucap Daren sambil mengusap lembut puncak kepala Aruna. Aruna semakin mengerucutkan bibirnya. Ternyata mama dan papa nya sama saja. Mama dan Papa sama aja. Ngapain minta aku dandan yang cantik. Memangnya siapa sih yang datang? Saat ini Ines menyuruh Reza dan Hanan untuk duduk di sofa ruang tamu. “Terima kasih,” ucap Reza lalu mendudukkan tubuhnya. Hanan mencium punggung tangan Ines terlebih dulu sebelum mendudukkan tubuhnya di samping sang papa. Ia menatap sekeliling ruangan itu. Ternyata masih sama kayak dulu, gak ada yang berubah. Daren yang sudah mengetahui sahabatnya sudah datang langsung menghampiri sahabatnya itu dan mendudukkan tubuhnya di samping sang istri. Hanan beranjak dari duduknya, lalu menyapa dan mencium punggung tangan Daren. "Wah Nak Hanan, sekarang kamu sudah besar ya, tampan lagi. Tante masih ingat dulu waktu kamu masih kecil dan sering bermain bersama Brian." Ines mencoba untuk membuka pembicaraan. "Iya, Tante. Ngomong-ngomong Brian kemana ya, Tan? Kok Hanan gak melihatnya dari tadi?" tanya Hanan sambil melihat sekeliling. Sebenarnya yang dicari Hanan itu bukan Brian, melainkan Aruna. Ia penasaran dengan gadis yang akan dijodohkan dengannya. Apalagi sang papa terus mendesaknya untuk menerima perjodohan itu. Reza bisa melihat gelagat anaknya, "kamu lagi mencari siapa? Brian atau Aruna?" godanya dengan tersenyum. Hanan hanya tersenyum tipis. Ia tak menjawab apa yang papanya tanyakan, karena dirinya juga tak mungkin mengatakan kalau dirinya begitu penasaran sama gadis yang akan dijodohkan dengannya. Daren tersenyum, "apa kamu sudah gak sabar ingin bertemu dengan Aruna?" godanya. “Ah... eng—nggak, Om. Hanan hanya tak menyangka, semuanya masih sama kayak dulu, gak ada yang berubah,” ucap Hanan dengan menepiskan senyumannya. “Apa yang kamu katakan memang benar. Rumah ini masih sama seperti dulu, gak ada yang berubah.” Reza ikutan menimpali ucapan sang putra. Sedangkan di dalam kamar, saat ini Aruna tengah kebingungan untuk memilih gaun yang akan dipakainya. “Aku gak suka pakai gaun. Lagian cuma makan malam di rumah, ngapain aku harus pakai gaun segala.” Aruna akhirnya mengambil atasan berlengan pendek dan celana jeans panjang, lalu memakainya. “Pakaian ini juga sopan kok.” Aruna yang sudah berganti pakaian dan sedikit berdandan keluar dari kamar, ia benar-benar merasa sangat lapar. Aruna berjalan menuruni tangga sambil mengusap perutnya yang sudah keroncongan. Apa makan malamnya sudah siap ya? "Ma, apa makan malamnya sudah siap? Aruna sudah lapar banget ini." suara Aruna terdengar sedikit keras, hingga membuat Ines terkejut. Ines yang mendengar teriakan Aruna langsung berdiri dan berjalan menghampiri Aruna. "Aruna kamu ini apa-apaan sih? Kenapa kamu berteriak kayak tadi?" tanya Ines sambil memegang lengan anak gadisnya. Aruna menundukkan kepalanya. Ia lupa kalau sekarang di rumahnya sedang kedatangan tamu. “Maaf, Ma. Aruna lupa kalau ada tamu Papa. Memangnya siapa sih Ma yang datang, sampai Mama minta Aruna untuk berdandan?” sekali lagi Aruna bertanya karena merasa sangat penasaran. “Teman papa kamu dan anaknya.” “Lebih baik kita temui mereka dulu,” ajak Ines sambil menarik tangan Aruna. Tapi langkah Aruna dan Ines terhenti saat melihat suaminya, Reza, dan Hanan yang tengah melangkah ke arahnya. "Sudah, ayo kita mulai saja makan malamnya, kasian anak Papa yang cantik ini sudah kelaparan," ucap Daren dengan senyuman di wajahnya. Aruna melihat ke arah Reza dan Hanan yang berjalan di belakang sang papa. Bukannya itu Om Reza? Jadi tamu Papa itu Om Reza dan anaknya. Aruna langsung menyapa Reza, "malam, Om," sapanya lalu mencium tangan Reza. “Malam, Sayang. Malam ini kamu terlihat cantik,” puji Reza sambil tersenyum. Aruna menepiskan senyumannya, “terima kasih, Om.” Hanan sejak tadi terus menatap Aruna tanpa mengedipkan kedua matanya, hingga membuat Aruna merasa jengah. 'Siapa sih itu cowok? Menatapku sampai segitunya! Rasanya ingin aku congkel kedua mata itu agar tidak jelalatan kemana-mana!' gumam Aruna dalam hati. “Kalau begitu kita mulai saja makan malamnya. Mari silahkan,” tawar Ines lalu mengajak Aruna untuk melangkah menuju ruang makan lebih dulu. Ines meminta Reza dan Hanan untuk duduk. Ia juga meminta Aruna untuk duduk di sebelah Hanan. “Tapi, Ma...” Aruna tak mau makan bersebelahan dengan pria asing. Apalagi pria itu sejak tadi menatapnya seakan-akan ingin memakannya hidup-hidup saat ini. “Duduk saja, Sayang. Gak apa-apa. Biar kita bisa segera memulai makan malamnya. Bukannya tadi kamu bilang kalau kamu sudah lapar?” Daren tak ingin melihat putrinya kembali berdebat dengan istrinya. Apalagi saat ini ada Reza dan Hanan bersama dengan mereka. Aruna menganggukkan kepalanya. Ia tak punya pilihan lain selain menuruti permintaan sang papa, karena cacing di dalam perutnya sudah minta untuk dikasih makan. "Aruna, kamu ambilkan makanan untuk Hanan," pinta Ines sambil menatap Aruna yang duduk di depannya. "Tapi Ma, dia kan punya tangan, apa gak bisa ambil makanan sendiri? lagian dia juga bukan anak kecil yang makan saja harus dilayani." Enak aja, kenal juga kagak. Emangnya aku ini pelayan dia apa! Tentu saja Aruna hanya berani menggerutu di dalam hatinya. Ines menajamkan tatapannya. Ia tak suka dengan jawaban Aruna, karena menurutnya jawaban itu sama sekali tidak sopan, apalagi Hanan adalah tamu di rumahnya. Daren menghela nafas, “Sayang, sebagai tuan rumah yang baik, bukankah sebaiknya kita melayani tamu kita?” “Gak apa kok, Om. Hanan bisa mengambil makanannya sendiri,” ucap Hanan dengan menepiskan senyumannya. Dasar! Sekarang dengan dia bicara seperti itu, seakan-akan aku yang salah ‘kan di mata Mama dan Papa! Aruna menatap sang mama. Ia tau saat ini mama nya sedang tidak main-main. Ia merasa takut dengan tatapan mata mamanya saat ini. Mati aku. Apa yang sudah aku lakukan? apa aku sudah membuat Mama marah. "Maaf, Ma, Pa. Iya ya, Aruna akan ambilkan makanan untuk dia," ucap Aruna sambil melirik ke arah Hanan yang sejak tadi tersenyum melihat tingkah Aruna. Reza dan Daren hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Aruna yang masih terlihat seperti anak kecil. Aruna mengambilkan makanan sepiring penuh lalu diletakkan di depan Hanan. “Aku sudah susah payah mengambil makanan ini. Awas saja kalau gak dihabisin!” kesalnya. Hanan menelan ludah dengan susah payah saat melihat piring yang penuh dengan makanan. “Kamu yakin minta aku untuk menghabiskan semua makanan ini?” tanya Hanan sambil mengernyitkan dahinya. “Memangnya kenapa? kamu ‘kan cowok, makan kamu juga banyak. Jadi makanan segitu mah gak ada apa-apanya ‘kan?” Aruna tersenyum sinis. Daren hanya geleng kepala melihat Aruna yang tengah mengerjai Hanan. Aku harap Aruna tak akan marah, saat dia tau kalau Hanan adalah calon suaminya. Reza tersenyum melihat putranya yang tengah dikerjai oleh Aruna. “Kamu makan aja. Bukannya tadi kamu bilang belum sempat makan siang? Anggap saja itu jatah makan siang dan makan malam kamu.” Reza lalu menatap Aruna, “makasih ya, Sayang, kamu sudah mau mengambilkan makanan sebanyak itu untuk putra, Om,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. “Sama-sama, Om,” ucap Aruna sambil menepiskan senyumannya. Aruna lalu mengambil makanan untuk dirinya sendiri. “Selamat makan,” ucapnya lalu mengambil satu sendok makanan dan dimasukkan ke dalam mulutnya. “Kamu sengaja mengerjai aku ya?” bisik Hanan di telinga Aruna. Aruna hanya diam sambil terus menikmati makanannya. Syukurin! Aruna tersenyum dalam hati. Setelah selesai makan malam. Aruna tak menyangka Hanan benar-benar menghabiskan makanan yang tadi diambilnya. Gila! beneran habis! Memangnya sudah berapa hari dia gak makan! Hanan tersenyum sinis, “kenapa? apa kamu pikir aku gak akan bisa menghabiskan makanan yang kamu ambilkan untuk aku?” “Aku tau kamu pasti akan menghabiskannya, itu sebabnya aku mengambilkan makanan sebanyak itu buat kamu. Lagian tadi Om Reza bilang, kalau kamu belum makan dari tadi siang. Itu berarti kamu benar-benar kelaparan,” sindir Aruna dengan nada sinis. Hanan mengepalkan kedua tangannya. Sialan! Daren hanya geleng kepala melihat perdebatan antara Hanan dan Aruna. Ia tak menyangka, mereka bisa langsung akrab, padahal ini pertama kalinya mereka bertemu. “Lebih baik kita kembali ke ruang tamu. Kita lanjutkan obrolan kita yang tertunda tadi,” ucap Daren sambil menatap Reza dan Hanan. “Hem. Lebih cepat lebih baik bukan,” ucap Reza lalu menatap Aruna. “Kalau begitu Aruna ke kamar dulu ya, Pa. Aruna gak mau mengganggu obrolan Papa dan Om Reza,” ucap Aruna lalu beranjak dari duduknya. “Tunggu, Sayang,” pinta Daren yang membuat Aruna mengurungkan niatnya yang ingin pergi dari ruangan itu. “Apa kamu bisa bergabung dengan kami? Ada hal yang ingin Papa bicarakan sama kamu.” Aruna tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepalanya. Dirinya juga tak mungkin menolak permintaan papanya di depan sahabat papanya. “Tapi Aruna gak bisa lama-lama ya, Pa.” Daren menganggukkan kepalanya, “Papa janji gak akan lama.” Mereka semua lalu beranjak dari duduknya, lalu melangkah keluar dari ruang makan itu. Hanan berjalan di samping Aruna, ia sengaja ingin bicara dengan gadis cantik itu. “Apa kamu tau apa yang ingin Papa kamu bicarakan sama kamu?” “Maaf, ya. Aku dan kamu gak saling mengenal. Jadi jangan sok kenal sama aku!” ketus Aruna sambil terus melangkah menuju ruang tamu. “Aku sudah tau nama kamu. Nama kamu Aruna ‘kan?” Aruna hanya diam. “Kamu pasti juga sudah tau nama aku.” Aruna masih tetap diam, hingga mereka sampai di ruang tamu. Dirinya mendudukkan tubuhnya di samping sang mama, lebih tepatnya di depan Hanan. "Aruna, kamu pasti penasaran dengan laki-laki yang ada di samping Om Reza ‘kan?" tanya Daren sambil menatap Aruna. Aruna menganggukkan kepalanya sambil melirik ke arah Hanan yang sejak tadi menatapnya. Ia merasa terganggu dengan tatapan Hanan. "Namanya Hanan, kamu pasti sudah tau.” Aruna menganggukkan kepalanya. “Hanan ini adalah calon suami kamu." Kedua mata Aruna membulat dengan sempurna, ia mencoba mencerna kata-kata papanya. "Maksud Papa apa? calon suami?" tanya Aruna sambil mengernyitkan dahinya. Aruna sebenarnya sudah paham maksud dari perkataan papanya. Tapi, ia hanya ingin lebih memastikan lagi. Apa dia tidak salah dengar, atau mungkin telinganya lagi dalam masalah. Bagaimana mungkin sang papa berkata kalau pria itu adalah calon suaminya? Memangnya siapa yang mau menikah dengan pria itu? “Maksud Papa. Papa ingin menikahkan Aruna dengan pria itu?” tanya Aruna sambil mengernyitkan dahinya. Ines menyentuh lengan Aruna, “kamu dengarkan dulu apa yang ingin papa kamu katakan. Jangan suka menyela saat orang tua sedang bicara, karena itu tidak sopan.” “Tapi, Ma... memangnya Papa udah gak sayang sama aku lagi, sampai Papa ingin memintaku untuk menikah? Kenapa Papa bilang kalau dia adalah calon suami aku? kita aja baru bertemu. Aruna juga gak kenal siapa dia.” Aruna lalu menatap Hanan, lalu beralih ke Reza, lalu papanya. “Papa hanya bercanda ‘kan? Papa hanya ingin mengerjai Aruna ‘kan, Pa? Papa gak mungkin meminta Aruna untuk menikah.” Aruna belum bisa memahami situasi malam ini. Bagaimana bisa sang papa tiba-tiba mengenalkan seorang pria asing sebagai calon suaminya. Aku pasti sedang bermimpi. Papa gak mungkin memintaku untuk menikah. Ines menatap ke arah sang suami, “Pa...”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD