Katanya, serendipity itu menemukan sesuatu yang berharga tanpa disengaja. Ya, singkatnya begitu. Dan Davi, juga mengartikan semuanya pun begitu. Tapi, tidak untuk kedua sahabatnya. Tidak juga untuk mamanya. Mereka beranggapan jika gadis itu hanya sekedar obsesi Davi semata. Karena baik mama atau kedua sahabatnya tahu betul siapa yang membayangi Davi selama ini. Mereka khawatir jika pada akhirnya nanti, ada hati yang terluka, ada air mata yang tercipta, bahkan ketika luka dan air mata itu tak seharusnya ada.
Memasukkan orang baru dalam permainan putaran waktu dan masa lalu bukanlah hal yang benar. Namun, Davi seolah tidak peduli. Dirinya yakin bahwa itu adalah takdir. Ia hanya tidak ingin ketika Tuhan memberinya kesempatan, lantas ia menyia-nyiakannya begitu saja. Seperti yang sudah-sudah. Egois? Keterlaluan? Tidak berperasaan? Katakanlah begitu. Tapi pertanyaannya adalah apakah Tuhan menghadirkan gadis itu sebagai kesempatan untuk Davi? Sebagai usaha penebusan kesalahan yang selama ini menghantuinya?
Pagi ini, langit terlihat masih mendung. Padahal, hujan sudah turun berjam-jam lalu. Davi menengadahkan wajahnya ke atas. Menatap lekat-lekat awan hitam yang seketika membuatnya deja vu.
"Davi tahu gak? Alika paling enggak suka awan mendung."
Davi yang duduk di sisinya pun menoleh sambil mengerutkan alisnya. "Kenapa?"
Cewek manis bernama Malika itu hanya menggeleng. "Enggak tahu. Kalau liat awan mendung tuh bawaannya takut terus."
"Kamu takut?" Gadis berlesung pipi itu mengangguk. "Banget."
Davi tersenyum. "Kan ada Aku."
Malika menoleh dan mendapati Davi yang tengah tersenyum manis padanya. Ia ikut tersenyum. "Tahu enggak? Davi tuh udah kayak matahari buat Alika. Itu sebabnya Alika takut tiap kali ada awan mendung. Mau tahu kenapa?"
Davi mengangguk.
"Karena kalau lagi mendung kayak sekarang, matahari enggak muncul. Sinarnya redup. Dan Alika enggak bisa nemuin dia di mana pun," lirihnya
"Kamu takut aku ngilang kayak matahari itu terus enggak bisa di temuin di mana pun?" tanya Davi menyimpulkan.
"Iya."
"Semenjak masuk SMA, Davi jadi banyak sibuknya. Main basket lah, pramuka lah, futsal lah. Udah jarang ada waktu buat kita main sama-sama." Ada gurat kesedihan yang begitu terlihat jelas pada raut wajah Malika. Apalagi, ditambah dengan matanya yang tiba-tiba sendu saat mengatakan hal itu.
Davi mengacak-ngacak rambut Malika gemas. Itu adalah kegiatan favoritnya. Apalagi tiap kali Davi melakukannya, Malika pasti selalu protes.
"Makanya belajar yang bener, ya. Biar nilai UN-nya bagus. Terus bisa masuk SMA aku. Nanti kita jadi bisa barengan terus. Jadi kalau nanti aku latihan basket atau main futsal, kamu bisa nemenin. Nanti masuk eskul pramuka juga, ya?"
"Iya." Malika menjawab antusias. Matanya berbinar.
Ia bahagia. Hati Davi lega luar biasa saat melihat gadis itu kembali ceria seperti biasa. Ya, melihat Malika tersenyum adalah kebahagiaan terbesar Davi. Gadis itu adalah dunianya, segalanya untuknya.
"Pulang, yuk? Udah sore."
"Yuk."
Davi tersenyum kecut mengingat kejadian itu. Dan sekarang, giliran dirinya yang membenci awan mendung serta suasana pendukungnya. Karena mendung telah menghilangkan Malika. Merenggut mataharinya hingga Davi tak bisa lagi melihatnya.
Membayangkan senyum itu, hatinya kembali tertoreh. Andai saja waktu berjalan lebih lambat, Mungkin sekarang semuanya tetap sama. Tetap baik-baik saja.
Gara-gara kedatangan Eza yang katanya surprise itu, Naya jadi lupa pada niat awalnya ingin membawakan Davi bekal. Apalagi pernyataan cowok itu yang membuatnya speechless. Semakin membuat otak dan hatinya runyam serunyam-runyamnya. Pasalnya, cowok seperti Eza itu sungguh idaman. Sudah ganteng, tinggi, baik, cool, senyumnya yang bikin melting, perhatian, sweet, pokoknya hampir mendekati sempurna. Sangat sayang untuk disia-siakan begitu saja. Tapi, di sisi lain statusnya sekarang adalah pacar dari presiden sekolah yang memegang kekuasaan mutlak atas dirinya, tentu saja berkat sebuah perjanjian yang amat sangat konyol. Jadi, bagaimana bisa Naya menerima Eza jika keadaannya seperti sekarang? Naya jadi gregetan sendiri jika mengingat surat perjanjian konyol itu dan pakar pembuatnya.
"Jadi, semalam Eza datang ke rumah dan nembak lo?" tanya Ranita tak percaya. Di tatapnya Naya lewat kaca wastafel.
"Iya. Gue aja kaget banget," jawab Naya sambil merapikan rambutnya.
"Eh tapi ini Eza yang anak SMA Nasional itu, kan? Yang sering lo ceritain?"
"Ya iyalah. Emang siapa lagi?"
"Terus lo jawab apaan?"
"Belum gue jawab. Soalnya dia bilang nanti aja jawabannya kalau dia pulang dari olimpiade fisika."
"What? Eza ikut olimpiade fisika? Ckckck pasti tuh cowok otaknya encer, deh. Udah cakep, baik, pinter lagi. Pacar idaman banget deh, Nay ..."
"He'eh. Dan gue juga baru tahu kalau dia kelas XI," terang Naya.
"Pantesan aja udah ikut olimpiade. Eh by the way ... Eza kapan pulangnya, Nay?"
"Sekarang dia lagi siap-siap, sih. Katanya besok baru berangkat ke karantina. Dan kalau gue enggak salah denger sih sekitar tiga minggu lagi. ..."
Ranita menoleh. "Kan seminggu lagi juga perjanjian lo sama kak Davi selesai, Nay. So, setelah hari itu artinya lo bebas, kan?"
Naya terdiam mencoba mencerna ucapan Ranita barusan. Dan seketika senyumnya mengembang menyadari kebenaran itu. "Ah iya ya. Gue lupa."
"Astagaaa ... ya udah yuk, buruan. Entar lagi aja ngomongin Ezanya. Kita pasti udah di tunggu di lapangan nih," ajak Ranita sambil meraih seragamnya.
"He'eh. Yuk!" Keduanya pun bergegas keluar dari toilet tanpa menyadari jika Gilang yang enggak sengaja abis dari toilet sedang bersembunyi dibalik pintu.
"Lo yakin Dav sama semua ini? Masih pengen lanjut? Lo tahu kan konsekuensinya?" tanya Reno yang ikut berdiri di samping Davi. Pandangan keduanya tertuju pada satu objek yang sama di lapangan.
Davi mengangguk pelan tanpa mengeluarkan suara.
"Kalau dia tahu yang sebenernya, gimana?"
"Enggak akan gue biarin hal itu terjadi. Ada saatnya dia tahu, tapi nanti dan dari mulut gue sendiri."
"Dasar keras kepala," cibir Reno. "Perjanjian lo sama dia kapan usai?"
Davi tersenyum simpul melihat objek di hadapannya yang terus-terusan gagal memasukkan bola ke ring. "Seminggu lagi. Tapi gue udah punya rencana cadangan. enggak akan gue biarin dia lepas," terangnya.
Reno hanya bisa menghembuskan napasnya pasrah. Ia berharap bahwa gadis yang masih terkunci dalam pandangannya itu memang tidak akan tahu yang sebenarnya. Lebih baik seperti itu daripada pihak-pihak yang bersangkutan hancur pada akhirnya. Rencana Davi memang gila. Tapi jika dirinya yang ada di posisi Davi, bisa di pastikan akan melakukan hal yang sama.
"Lo beneran jatuh cinta atau ...." Reno sengaja menggantungkan kalimatnya.
"Jatuh cinta atau enggak, itu urusan gue," timpal Davi. Intonasinya mendadak rendah dan dingin.
Reno tersenyum tipis. Ekspresi yang ditampilkan Davi sesuai dengan prediksinya. Bagaimanapun juga, bayang-bayang gadis itu masih menyelimuti hati dan pikiran sahabatnya ini. Meskipun sepertinya Davi tidak benar-benar melakukan itu seperti alasan awal. Ia semakin khawatir dengan tindakan Davi ke depannya.
"Cabut, yuk?" ajak Davi tiba-tiba sambil menoleh. Reno mengerutkan keningnya.
"Lagi males belajar. Biasa, warung Ceu Susi."
"Ok."
"Ajak Gilang juga." Reno mengangguk. Ia pun mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Tak berapa lama, smartphone-nya menyala.
'Tunggu di bawah. Gue otw sekarang.'
"Gilang lagi otw bos," lapor Reno.
"Sip."
Davi kembali mengarahkan pandangannya ke arah lapangan. Seketika hatinya menjadi kacau akibat pertanyaan Reno yang ... entahlah. Begitu pas dengan kekalutannya saat ini. Tak bisa Davi pungkiri, bahwa memang ada hal lain yang kini mengusik hatinya. Sesuatu yang benar-benar mengganggunya dengan terus meletup-letup. Tapi, ada yang lebih penting dari sekedar menemukan jawaban atas kekacauan hatinya itu. Dan ia harus menyelesaikannya sekarang juga.
Setelah menunggu dengan nggak sabaran, akhirnya bel pulang pun berbunyi. Davi langsung menyahut jaketnya serta kunci motornya.
"Yuk cabut?" Dan langsung diangguki oleh kedua sahabatnya.
Di sini lah mereka sekarang. Berdiri di sebrang sebuah sekolah SMA Nasional. Dengan tenang, Davi menyebrang jalan menuju sekolah tersebut. Saat Gilang ikut melangkah, Reno lebih dulu menahannya.
"Kita di sini aja. Awasin sekitar," kata Reno.
Gilang memandang Reno sekilas lalu mengangguk. "Ok."
Davi berjalan menghampiri salah satu siswi yang sedang berdiri di pinggir jalan.
"Hai," sapanya dengan senyum yang dibuat amat sangat manis. Cewek itu menoleh, sedikit mendongak dan kaget saat mendapati cowok bak dewa yunani berdiri di sampingnya dengan senyum mengembang.
"Eh? Ha—hai ..." timpalnya kikuk.
Reno dan Gilang hanya bisa menahan senyum menikmati pemandangan di depannya.
"Siapa nama lo?" tanya Davi.
"Lu—luna."
"Oke Luna, gue Davi. Salam kenal," Davi mengulurkan tangannya masih dengan senyum yang sama.
Cewek itu menjabat tangan Davi. "Salam kenal juga."
"Gini ... lo kenal sama yang namanya Eza?" tanya Davi to the point. Cukup segitu aja basa basi busuknya.
"Eza?" Gadis bernama Luna itu sedikit berpikir.
"Oh ... kak Eza anak kelas 11 ya? Yang jago basket sama balap sepeda itu, kan? Iya-iya kenal." Lana berucap antusias saat membicarakan tentang cowok bernama Eza itu. Ini merupakan info baru buat Davi. Dan dari cara gadis di sampingnya ini berbicara, ia dapat menyimpulkan bahwa Eza berada dalam level yang sama dengannya hanya berbeda tingkatan saja. Dan itu sama sekali bukan masalah. Baginya, siapapun yang mencoba berurusan dengannya, adalah musuhnya. Tidak peduli orang tersebut lebih tua ataupun muda.
Davi tersenyum. "Iya. Yang itu," timpalnya seolah sudah tahu siapa Eza.
"Lo tahu sekarang dia ada di mana?" tanyanya kemudian.
"Eumm, biasanya sih jam segini kak Eza masih main basket di lapangan."
Davi tersenyum dalam hati. Ia menyetop taksi yang kebetulan lewat di hadapannya. Menghampiri sang supir lalu berbincang-bincang sesaat kemudian memberikan dua lembar uang 50.000-an.
"Boleh minta kertas sama pulpen, gak?"
"Boleh." Gadis itu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku kecil lengkap dengan pulpen yang terselip di atasnya. Davi menuliskan sesuatu di sana dan merobeknya. Melipat kertas tersebut menjadi beberapa pagian.
"Gue minta tolong, kasihin ini ke Eza. Penting banget soalnya. Gue enggak bisa kasih langsung. Buru-buru. Bisa, kan?"
"Bisa-bisa," jawabnya cepat sambil menerima kertas berserta bukunya.
"Sip. Kalau dia tanya dari siapa, bilang aja dari gue. Udah tahu nama gue, kan?" Luna mengangguk.
"Good. Udah gue siapin taksi buat lo pulang. Thanks, ya!" Davi tersenyum sambil mengedipkan satu matanya. Ia kembali menyebrang jalan. Menghampiri kedua sahabatnya yang sedari tadi geleng-geleng kepala menyaksikan acting Davi yang kelewat sempurna.
Dari sebrang, Davi bisa melihat Luna yang berbalik dan kembali ke dalam sekolah. Ia tersenyum puas. Sebentar lagi semuanya bakal di akhiri.
"Beres?" tanya Gilang.
"Beres. Yuk cabut?" Keduanya pun kembali mengangguk. Mereka bergegas pergi dari tempat tersebut.
Sekolah sudah mulai lenggang dan hanya menyisakan beberapa anak yang masih betah berada di dalamnya. Luna menghampiri Eza yang baru saja selesai bermain basket. Ia menelan ludahnya saat cowok itu membuka baju seragamnya yang sudah basah oleh keringat. Menampilkan postur tubuh yang sangat sempurna.
"Kak Eza?" panggilnya pelan. Cowok itu menoleh. Bahkan ketiga temannya pun ikut menoleh.
"Iya?"
"Ini. Ada surat buat Kakak," ujar Luna sambil menyerahkan secarik kertas itu pada Eza.
Eza mengernyitkan alisnya bingung sebelum kemudian mengambil kertas tersebut.
"Dari siapa?"
"Dari cowok yang namanya Davi, Kak."
Eza semakin mengerutkan keningnya. Seingatnya ia tidak punya musuh bernama Davi.
"Oh oke deh. Thank you ya," katanya sambil mengulas senyum. Luna hanya mengangguk pelan lalu berbalik dan melenggang pergi. Sepanjang perjalanan Luna terus menyumpahi Davi agar cowok itu panjang umur, dimudahkan rezekinya, di dekatkan jodohnya, dan semua hal yang baik-baik pokoknya. Karena gara-gara cowok itu, Luna mendapat rezeki nomplok hari ini.
Eza membuka kertas itu. Terdapat sebuah kalimat bertuliskan :

Tantangan balapan? Eza menaikkan salah satu alisnya.
Menarik, gumamnya dalam hati.
"Apa isinya?" tanya Andre.
"Sesuatu yang menarik." Eza meremas kertas tersebut lalu memasukannya ke saku celana.
"Lih, Van, Gue cabut duluan ya. Ada urusan," ujarnya pada Galih dan Ervan. Kemudian meraih tas dan baju seragamnya.
"Dre, ikut gue." Andre langsung mengangguk ikut mengambil tasnya.
Jadi, namanya Davi, ya? Eza menyimpan baik-baik nama itu di memorinya.
Selama ini yang mengirim pesan seperti itu tidaklah sedikit. Baik masalah pribadi ataupun berhubungan dengan masalah antar sekolah yang selalu berakhir perkelahian atau balapan liar. Tapi kali ini, cowok bernama Davi itu memilih untuk mengajaknya balapan sepeda. Tentu saja itu merupakan hal baru bagi Eza. Dan menjadi tantangan tersendiri untuknya.
Ia tersenyum tipis. Sepertinya dirinya telah mengusik ketenangan seseorang. Berhubungan dengan Naya? Entahlah, seketika nama itu terlintas begitu saja dalam benaknya. Jika benar, tandanya ada orang lain selain dirinya yang terlibat perasaan dengan gadis itu.
Sesuai perintah, Eza dan Andre datang pukul 4 tepat. Ia menghampiri 3 orang cowok yang di yakini salah satunya adalah Davi.
"Jadi lo, yang nantangin gue buat balap sepeda?" Eza tersenyum sinis. "Gede juga nyali lo," lanjutnya dengan sarkas. Matanya menatap tajam ke arah Davi.
Dalam hati Davi mengakui kepintaran Eza dalam menembak seseorang. Intuisinya patut diacungi jempol. Ia tahu siapa Eza. Berapa banyak piagam penghargaan yang di dapatnya dari balapan sepeda, atau seterkenal apa dirinya. Bahkan, ia tahu jika cowok itu kini sedang dalam tahap pemulihan akibat cedera yang di alaminya beberapa waktu lalu. Tidak perlu susah-susah untuk Davi mendapatkan semua info tersebut mengingat uang masih berkuasa dan bisa membeli segalanya termasuk informasi.
"Gimana kaki lo yang cedera? Udah sembuh? Katanya lagi dalam tahap pemulihan," ujar Davi dengan nada yang tenang tapi juga sarkas.
Eza tertegun. Tapi dengan cepat disamarkannya.
Bukan Davi namanya kalau nggak bisa baca perubahan wajah seseorang walau hanya sekejap. Dalam hati, ia bersorak ria.
"Jadi lo, cowok yang nembak Naya?"
"Dan lo, cowok yang juga terlibat perasaan sama Naya?"
Davi tersenyum tipis. "Anggap aja begitu."
"Menarik," imbuh Eza.
"Gue enggak suka punya saingan. So, lo pasti paham kenapa kita ada di sini. Kalau lo menang, gue bakal lepasin Naya buat lo. Tapi, kalau lo kalah ... jauhin dia," tegas Davi masih dengan ekspresi tenang.
"Ok ... kita buktiin siapa yang lebih pantes buat Naya."
Keduanya mengambil sepeda BMX-nya masing-masing. Davi memang bukan pembalap sepeda yang handal, tapi kalau buat sekedar balapan, enggak masalah. Dirinya sering diajak oleh Alvaro ketika liburan untuk bersepeda di bukit-bukit dan melewati trek-trek yang lumayan sulit di Flores dan Lampung. Hanya demi membunuh semua kenangan yang terus melintas di pikirannya. Mungkin jika Davi menyebutkan nama Alvaro, Eza akan langsung tercengang mendengarnya.