PROLOG
Kesibukan dan suara riuh yang khas terjadi di kantin sebuah SMA di kota Bandung. Mulai dari yang berebut memesan makanan, rebutan tempat duduk yang memang terbatas keberadaannya, sampai mengobrol ria membicarakan siapa kakak kelas, adik kelas, atau teman seangkatan yang lebih tampan, lebih cantik, siapa yang most wanted, dan lain sebagainya seolah tak ada habisnya. Dari arah pojok kantin, terlihat seorang cowok dengan perawakan tinggi, kulit putih, wajah tegas dan tampan bersandar pada tiang sambil melipat kedua tangannya di d**a. Sebutlah dia Davi, cowok most wanted yang terkenal angkuh dan seenaknya. Matanya yang hitam legam sibuk memperhatikan seorang gadis yang sedang membayar makanannya. Seseorang yang sejak pagi tadi telah merebut perhatiannya. Bahkan, namanya seolah sudah ia save baik-baik dalam otaknya.
Ketika gadis itu berlalu, Davi buru-buru menghampiri tempat di mana tadi gadis tersebut berdiri. Diambilnya kertas berbentuk segi empat di bawah sepatunya kemudian membaliknya. Ternyata, sebuah foto yang seketika membuat senyumnya mengembang dengan langkah santai, dihampirinya cewek yang beberapa saat lalu menjatuhkan benda tersebut dan tanpa meminta persetujuan si penghuni meja, ia duduk tepat di hadapan cewek tersebut. Suara riuh kantin pun mendadak senyap saat dilihatnya Davi tiba-tiba saja menghampiri seorang cewek. Adik kelasnya pula. Sebuah pemandangan yang amat langka dan baru terjadi kali ini.
"Kenapa? Kok natap gue kayak gitu? Enggak boleh gue duduk di sini?" tanyanya ketus.
"Eh? Ng—nggak kok, Kak. Boleh-boleh aja," jawab gadis itu cepat.
"Lo yang namanya Naya?"
Cewek berkucir kuda itu mengangguk. "I—iya, Kak."
"Lo bisa cari tempat duduk lain, gak?" liriknya pada cewek yang duduk di samping Naya.
Cewek dengan name tag Ranita itu pun mengangguk. "Bi—bisa kok, Kak. Emmm Nay ... gue pindah tempat duduk dulu, ya. Bye," pamitnya cepat sambil membawa mangkuk mie instan dan es teh manisnya ke meja Novitri yang kebetulan masih kosong.
"Kenapa, Ran?"
"Enggak tahu. Tapi firasat gue bilang kayaknya bakal ada bencana besar, deh."
"Hus! Ngomong kok sembarangan banget sih lo. Temen kita, tuh!"
"Ya nggak gitu maksudnya, Nov. Tapi tuh emang kalau urusannya udah sama kak Davi ..." Ranita memperkecil nada suaranya.
"Kelar idup lo!" sambungnya.
"Serius? Tau dari mana?" Novitri membelalakkan matanya tak percaya.
"Dari sepupu gue, kak Tiara. Dia kan sekelas sama Davi. Jadi sering cerita gitu. Pokoknya berurusan sama kak Davi tuh bikin naik darah. Ngeri banget deh!"
"Separah itu?"
"He'eh."
"Kita doain aja deh semoga enggak bakal kenapa-napa."
"Aamiin."
Davi menatap lekat cewek di hadapannya. Menarik, ujarnya dalam hati. Kemudian ia menyodorkan benda yang ditemukannya tadi "Ini ... punya lo, kan?"
Naya sontak kaget saat melihat foto itu yang kini berada di tangan Kakak kelasnya. Ia berusaha mengambilnya tapi naas, tangannya kalah cepat dengan Davi.
"Eits ... mau apa lo, hmm?"
"Kak Davi dapet dari mana foto itu? Balikin, gak? Itu punya saya."
Davi menaikkan satu alisnya. "Dari mana, itu enggak penting. Balikin? In your dream! Punya, lo? Jelas-jelas ini ada di tangan gue," ucapnya kalem. Benar-benar tipikal cowok yang sangat menyebalkan.
"Tapi kak itu—"
"Lo pengen foto ini balik, kan? Bisa. Tapi ada syaratnya," ujarnya cepat memotong kalimat Naya dengan seenak jidatnya.
Naya mengerutkan keningnya. "Sya—syarat?"
Davi mengangguk. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Naya. Semakin dekat hingga sampai ke telinganya. "Lo harus nurutin kemauan gue selama satu bulan penuh," bisiknya pelan hampir tidak terdengar. Seketika, keadaan kantin semakin senyap melihat pemandangan menarik itu.
"A—apa?"
Davi menjauhkan wajahnya dan kembali ke posisi semula sambil melipat kedua tangannya di d**a. "Gue bukan televisi yang nyediain siaran ulang.
"Ta—tapi, Kak?"
"Itu juga kalau lo gak mau foto ini gue sebarin ke seluruh penjuru sekolah," lanjutnya enteng.
"Hah? Ja—jangan, Kak. Saya mohon jangan. Please, please, please ..." pintanya sambil menyatukan kedua tangannya seperti sedang sedang memohon.
No! Big No! Apa jadinya kalau seluruh penghuni sekolah ini tahu? Bisa tamat riwayat gue!!! protes Naya dalam hati.
Melihat itu, penghuni kantin semakin penasaran. Mereka mulai berspekulasi bahwa Davi telah mengatakan hal yang berbau peringatan. Ada juga yang beranggapan bahwa Davi telah melakukan penindasan. Semua tahu sosok seperti apa Davi ini.
Davi kembali menaikkan satu alisnya. "Jadi?"
"I—iya deh, Kak. Sa—saya mau," ucap Naya akhirnya. Enggak ada pilihan lain lagi. Daripada nolak konsekuensinya mati berdiri?
Ya Allah kok begini amat sih nasibnya? Belum juga resmi jadi anak SMA ... batinnya.
"Good!" Davi tersenyum sinis. Senyum yang amat berbeda dengan saat ia melihat foto itu. Ia bangkit dari duduknya, memasukkan kedua tangannya ke saku celana, dan melenggang pergi.
"Apa lo liat-liat?" tanyanya galak pada salah satu siswa.
"Eh? Ng—nggak kok, Kak," jawab siswa itu gugup dan langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Ranita dan Novitri yang melihat Davi sudah pergi pun langsung menghampiri Naya. "Kenapa, Nay? Kak Davi gak ngapa-ngapain lo, kan?" tanya Novitri.
"Dia tadi ngomong apaan, Nay?" sambung Ranita.
"Huaaaa, kelar ... kelar semuanya kelar ... nasib gue, hidup gue, masa SMA yang udah gue cita-citain bakalan indah, hancur sudah ....."
*To be continue ....