"Suka?" tanya Davi setelah memarkirkan sepedanya. Pagi tadi cowok itu —sesuai janjinya— menjemput Naya dan meminta izin pada kedua orang tuanya untuk mengajak Naya jalan-jalan. Tentu saja dengan imbalan pulangnya membawa kue red velvet khusus untuk sang Mama. Dan tahu apa yang membuat Naya semakin tidak habis pikir? Davi membawakan Ayahnya papan catur baru. Siapa lagi informan yang akan memberitahu cowok itu kalau bukan Nata? Rasanya Naya ingin mencekik adiknya sampai kehabisan napas saking gemasnya.
Ayah Naya yang awalnya ragu, jadi setuju seketika saat Davi menyodorkan papan catur yang katanya hitung hitung sebagai hadiah perkenalan. Padahal Naya sudah sangat yakin jika papanya tidak akan memberi izin. Tapi, lagi-lagi keberuntungan memihak pada Davi.
"Suka," jawab Naya singkat. Untuk kali ini cewek lesung pipi itu tidak bohong.
Saat ini mereka sedang berada di pasar minggu yang terletak di taman kompleks perumahan Naya. Bukan seperti pasar pada umumnya, pasar ini lebih mirip bazar atau festival karena hanya ada di hari tertentu saja. Bahkan pasar minggu ini hanya bertahan dari jam 06:00-10.00 pagi. Yang dijual pun beraneka ragam, mulai dari makanan, minuman, pakaian, kaset, sampai lukisan pun ada dengan harga yang bervariasi dan relatif murah.
Pandangan Naya tertuju pada sebuah gerobak yang menjual crap. Makanan favoritnya saat masih SD dulu. Ia bisa menghabiskan 3 crap sekaligus dengan rasa yang berbeda.
"Lo mau?" Pertanyaan itu sontak menyadarkan Naya dari lamunannya.
"Eh? Ng—enggak. Saya cuman keinget waktu SD aja. Sering banget makan crap," ungkap Naya.
Davi mengulum senyum. "Gue juga. Yuk?" digenggamnya tangan Naya dan berjalan menghampiri gerobak crap tersebut. Untuk kali ini Naya memilih untuk tidak protes ataupun menolak seperti biasa. Dibiarkannya jari-jari Davi terselip di antara cela cela jarinya.
"Mau rasa apa?"
"Blueberry."
"Mang, rasa blueberry satu sama coklatnya satu, ya."
"Oh iya-iya, A. Antosan sakedap, nya?"
"Muhun, Mang."
Mereka pun duduk di sebuah bangku panjang yang di sediakan. Davi mulai sibuk dengan ponselnya dan Naya sibuk memperhatikan sekeliling. Tangan mereka masih saling menggenggam. Cowok itu sengaja. Dia ingin menciptakan hari yang manis bersama Naya—ceweknya. Tidak salah, bukan?
"A ini crap-nya," ujar si amang. Davi kembali memasukkan ponselnya dan meraih crap itu.
"Nay, bisa pegang bentar, enggak? Mau bayar." Seperti anak ayam yang menurut pada induknya, Naya mengambil crap tersebut.
"Nuhun Mang," ucap Davi setelah menyelesaikan transaksi p********n. Mamang itu mengangguk sambil tersenyum.
Keduanya kembali berjalan mengelilingi taman itu dengan crap di tangan masing-masing.
"Dulu lo sering kesini, ya?" dengan cepat Naya mengangguk.
"Hampir tiap minggu malah. Cuman buat beli crap doang. jalan-jalan sampe kaki pegel terus pulang. Enggak tahu sih, tapi ... dulu tuh rasanya seneng banget kalau udah hari minggu. Padahal cuman pasar doang tapi saya pasti selalu bangun pagi. Mungkin karena ada penjual crap kali, ya. Soalnya, dulu kan crap belum nyampe sekolahan," papar Naya panjang lebar untuk pertama kalinya. Davi tersenyum menyadari perubahan itu.
"Minggu depan ke sini lagi, yuk?"
"Eh?" Meskipun sedikit ragu, tapi akhirnya Naya mengangguk mengiyakan.
Davi refleks melepaskan genggaman tangannya lalu mengacak-ngacak kepala Naya gemas.
"Ih kak Davi kebiasaan banget sih. Rambut saya entar kusut," protes Naya sambil menjauhkan lengan cowok itu dari kepalanya.
"Gampang. Entar nyampe rumah disetrika aja biar rapi lagi."
"Lo kira rambut gue baju, disetrika," celetuk Naya pelan. Davi tertawa lepas mendengarnya hingga menimbulkan warna merah di kedua pipinya.
Naya tertegun. Untuk pertama kalinya, ia melihat Davi tertawa lepas seperti itu. Tawa yang benar-benar murni dan entah kenapa ia merasa senang melihat Davi seperti itu. Apalagi alasan Davi begitu adalah karenanya.
"Kenapa?" tanya Davi saat menyadari cewek di sampingnya memandangnya.
Naya sontak salah tingkah. "Eh? Enggak pa-pa Kak. Enggak pa-pa kok," cengirnya.
Davi mendekatkan wajahnya membuat Naya semakin salah tingkah. Pikirannya sudah melayang pada kemungkinan apa yang akan dilakukan oleh Davi. Dan ...
"Kalau makan itu yang rapi, jangan belepotan," ucapnya sambil menyapu sisa selai blueberry di sudut bibir Naya lalu kembali menjauhkan wajahnya.
Jantung Naya hampir saja copot dengan perlakuan Davi yang barusan. Deg-degan sekaligus kesal. Cewek mana pun pasti begitu kalau ada di posisinya saat ini.
"Yuk jalan lagi?" Naya mengangguk. Lengan itu kembali menggenggam jemari Naya seperti sebelumnya. Berjalan beriringan sambil membahas apa pun yang mereka temui di sana. Menghubungkannya pada masa kecil, berkomentar, dan lain sebagainya. Sambil sesekali terselip tawa di antara keduanya saat menemukan hal yang lucu. Naya tidak sadar, bahwa ia telah menemukan sisi lain dari seorang Davino lalu membawanya ke permukaan. Menampilkannya pada orang-orang yang memang seharusnya.
Sebenarnya, mengajak Naya ke pasar minggu hanya lah sebuah menu pembuka, sebelum kemudian menuju ke menu utama. Davi sengaja melakukannya. Agar gadis itu mengenalnya secara natural dan perlahan. Rencana sesungguhnya Davi adalah mengajak Naya untuk mengunjungi kedai es krim yang dulu sangat ingin di datanginya. Ia tersenyum kecut mengingatnya. Saat itu, sikapnya memang sangat keterlaluan. Apalagi ketika melihat Naya menangis karena ulahnya. Rasanya Davi ingin mengutuk dirinya sendiri. Untuk itulah, hari ini ia akan menebus kesalahannya itu.
Mata Naya tak henti-hentinya berbinar saat membaca nama kedai itu. Apalagi saat Davi berhenti tepat di tempat tersebut. Senyumnya mengembang bak anak kecil yang baru saja mengenal gula-gula.
"Yuk masuk?" ajaknya diiringi senyum yang mengembang. Tangannya terulur meminta Naya untuk menyambutnya.
"Thank you," bisiknya. Naya tahu apa maksud dari kalimat tersebut lalu tersenyum. Mereka pun berjalan memasuki kedai tersebut.
Naya membuka buku tersebut. melihat-lihat menu yang tersaji di sana. "Saya pesen ini aja," tunjuk Naya pada es krim green tea.
"Topingnya?"
"Eum ...." Naya mulai memilih beberapa toping yang menurutnya enak.
"Ada lagi?" tanya pelayan tersebut.
"Nggak ada, Mbak. Itu aja."
"Masnya?"
Davi mengerutkan kening kemudian mengambil alih menu tersebut. "Es krimnya samain kayak pacar saya aja ya, Mbak. Terus saya pesen dua hot dog, dua burger, kentang goreng chicken katsunya dua, minumnya ... Sujo coklat with es crean vanila, dua."
Naya melongo seketika. Tak habis pikir sama apa yang baru saja di pesan Davi. Setelah menulis semua pesanan Davi, pelayan itu pun pergi setelah sebelumnya mengatakan untuk menunggu sebentar.
"Buat nebus kesalahan gue yang waktu itu," celetuk Davi seolah tahu apa yang ada di pikiran Naya.
"Sorry ya udah keterlaluan ...."
"Nggak pa-pa. Nggak usah di bahas lagi," timpal Naya pelan.
Davi tersenyum. "Tetep aja gue salah. Harus minta maaf."
"Kan udah bilang nggak pa-pa," kekeuhnya. Naya paling malas membahas yang udah-udah. Tapi lagi-lagi, Davi hanya tersenyum. Cara Naya cemberut entah kenapa mengingatkannya pada seseorang. Senyumnya luntur seketika. Rasa sakit itu kembali muncul. Mengiris hatinya tanpa ampun. Davi menghela nafasnya pelan berusaha mengontrol dirinya.
Naya duduk termenung sambil memainkan globe di atas meja belajarnya tidak selera. Pikirannya melayang pada semua kejadian yang terjadi selama dirinya mulai menjadi anak SMA sampai detik ini dan berusaha menghubungkan scene satu dengan yang lainnya. Berharap mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang entah sejak kapan mulai berputar dalam otaknya.
Senyum itu ... perlakuan hangat dan lembut yang menyentuh, serta tawa yang tercipta secara spontan, benar-benar merupakan hal baru untuk Naya. Jauh berbeda dengan apa yang di tunjukan cowok itu kepadanya saat berada di lingkungan sekolah. Davi yang selalu tampil dengan arogansinya, bertindak s***s dan semaunya, menyebalkan, tidak berperasaan, mahal senyum, serta menjunjung tinggi nilai senioritas.
Kini, sosok Davi seketika menjadi misterius di mata Naya. Apa yang sebenarnya terjadi pada cowok itu? Kenapa dia bertingkah seperti magnet yang mempunyai dua sisi berbeda? Apa hubungan dirinya dengan semua ini? Kenapa Naya yang mati-matian ingin menjauhi cowok tersebut, malah ditempatkan pada bagian yang saling tarik menarik, dan mereka-mereka yang berusaha mendekati Davi, malah masuk ke bagian yang bersinggungan.
Ingatannya kembali mengingat perkataan Lana tempo hari. Naya mencoba mengubungkannya dengan kejadian hari ini. Dan semuanya seolah masuk akal.
Apa ini yang dibilang kak Lana sebagai sisi lain dari Davi? Lembut dan hangat? Masa sih?
Naya menghembuskan nafasnya berat. Tapi, kenapa harus dirinya? Takdir? Naya hanya tersenyum tipis. Ia sendiri bingung harus menanggapinya seperti apa.
Kak Davi itu sebenernya baik, akunya dalam hati. Perlahan ia mulai mengerti apa yang terjadi. Dan entah kenapa pemikiran untuk membawakan Davi bekal besok pagi, berkeliaran di otaknya. Minta segera di setujui.
Tok ... tok ... tok ...
Suara ketukan pintu refleks menyadarkan Naya dari lamunannya. "Teh, udah tidur belum? Ada tamu nih," ujar Nata dari luar.
Naya mengernyitkan alisnya. Tamu? Siapa? Ia pun bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu.
"Tamu siapa?" tanyanya to the point.
"Kakak ganteng nomor dua," jawab Nata sambil berbisik.
"Hah? Kakak ganteng nomor dua? Siapa, sih?"
"Ck! Kak Ezaaaaaaa."
"Hah? Eza? Dia ke sini?" Nata mengangguk cepat.
"Cepet gih samperin. Kasian kalau nunggu kelamaan."
Naya langsung kembali ke kamarnya dan menutup pintu. Belum lama, ia kembali membukanya. "Bilangin, tunggu bentar."
"Iya," balas Nata singkat. Ia pun berbalik dan melenggang pergi.
"Hai," sapanya sambil mengulas senyum. Senyum manis yang selalu berhasil bikin Naya melting.
Naya ikut tersenyum. "Maaf ya nunggu lama."
"Gak papa. Nyantai aja kali Nay."
"Tumben ke sini nggak ngabarin dulu?"
"He'eh. Sengaja. Biar surprise," jawab Eza enteng.
"Hah? Surprise?"
Eza kembali tersenyum. Tanpa di duga, ia jongkok tepat di hadapan Naya sambil mengeluarkan setangkai mawar dari balik punggungnya.
"Gue tahu kalau ini terlalu cepat. Tapi, kalau boleh jujur ... gue suka sama lo sejak pandangan pertama. Gue nyaman sama lo. Jadi ... lo mau gak jadi pacar gue?" ucapnya dengan wajah yang serius.
Naya terkejut. Antara kaget dan tak menyangka. Ucapan Eza barusan benar-benar sulit di cerna oleh otaknya.
Barusan Eza nembak gue?