H - TELUSURI HATIKU DENGAN HATIMU

2043 Words
    Menyebalkan adalah ketika pagi-pagi mamanya kekeuh supaya Naya membawa box kecil berbentuk hati yang berisi kue rumahan itu untuk diberikan pada Davi. Kemarin ia tidak sempat memberikannya karena cowok yang menurut mamanya super baik itu buru-buru pulang. Saat Naya bertanya kenapa harus bentuk hati dan enggak kotak aja, mamanya menjawab, "Kalau bentuknya kotak, ya buat di kasihin ke tetangga sebelah. Davi kan bukan tetangga kita. Makanya bentuknya harus beda." Tapi Naya memilih untuk tidak percaya percaya begitu saja dengan alasan sang mama. Masa iya hanya karena Davi bukan tetangga, kotaknya harus bentuk hati? Yang benar saja? Saat sampai di lantai 3, Naya memperlambat langkahnya. Sepanjang perjalanan tadi, ia terus berpikir untuk membuang kue itu. Toh mamanya juga tidak akan mungkin tahu. Tapi, sedetik kemudian ia kembali berpikir kalau-kalau Davi ke rumah dan mamanya bertanya tentang kue pemberiannya sedang cowok itu malah bingung karena tidak tahu apa-apa. Mamanya pasti akan mengomelinya dan bisa-bisa uang sakunya di potong setengahnya. Naya sama sekali tidak bisa membayangkan kalau sampai hal itu terjadi. Mengingat begitu senangnya sang Mama saat menghabiskan sekotak kue red velvet yang diberikan oleh Davi, sendirian. Katanya, red velvet yang di bawa Davi itu beda dari red velvet yang sering mamanya beli. Toko kuenya saja cabang Singapore. Tapi, Naya memilih untuk tidak ambil pusing. Mau itu cabang Singapore, cabang Kanada, cabang pohon mangga sekalipun, Naya tidak peduli dan tidak mau peduli. Satu hal yang ia tahu, Davi sekarang semakin pintar dan semakin menyebalkan. Apa motif cowok itu sebenarnya hingga mengharuskannya menyogok Nata dengan coklat mahal, menyogok mamanya dengan red velvet yang katanya cabang Singapore? Apalagi selanjutnya? Langkahnya terhenti ketika ia sampai di sarang manusia setengah iblis itu. Sambil menghela napas pasrah, Naya berniat mengetuk pintu kelas tersebut. Tapi, seseorang lebih dulu keluar membuat mereka hampir bertabrakan. Naya langsung menyembunyikan kotak itu ke belakang punggungnya saat tahu siapa cowok yang kini berada di hadapannya. Davi tersenyum. "Nyari gue? Ada apa?" "Eh? Eng-enggak ada apa-apa kok, Kak. Saya cuman ...." Duh gimana ngomongnya, ya? tanyanya dalam hati. "Kangen sama gue?" tebak Davi dengan percaya dirinya. "Bukan," tukas Naya cepat. Davi mengerutkan alisnya. Cewek di depannya ini memang tak mungkin kangen, sih. Suka saja sepertinya tidak. Ia tertawa dalam hati mengingat fakta tersebut. "Saya cuman ... ma—" ucapannya terhenti ketika dari arah belakang, seseorang dengan cepat mengambil kue tersebut. Naya pun panik seketika. "Wih apaan, nih? Lang liat deh benntuknya, ckckck. Hati, Bro! Pasti nih, isinya spesial banget. Iya, gak?" ujar Reno melirik kea rah Gilang. "Yoi. Pasti dibuatnya dengan penuh cinta dan kasih sayang," tambah Gilang dengan senyum mengesalkan. Wajah Naya semakin memerah. Antara malu dan marah. Apalagi di tambah dengan kalimat yang dilontarkan oleh dua kacung Davi. Itu sama sekali tidak benar dan fitnah dunia akhirat. "Kak, balikin dong, itukan punya saya," ujar Naya mencoba meraih kotaknya. Tapi naas, Reno yang kelewat tinggi itu malah membuat Naya tidak bisa mengambilnya. Apalagi ia sengaja mengangkat kotak itu tinggi-tinggi ke udara. "Eitss, jinjitnya kurang tinggi, Dek. Loncat deh, pasti kena," katanya sambil terkekeh geli. Diam-diam Davi mengulum senyum. "Cukup Ren main-mainnya. Lo enggak kasian apa? Tubuh cewek gue mungil, enggak bakal bisa raih tuh kotak," ujarnya santai. "Oh iya, ya. Gue lupa," timpalnya dengan wajah yang dibuat sebego mungkin. Gilang terkekeh geli melihatnya. Ingin rasanya Naya menendang Reno sejauh mungkin. Ke Afrika selatan kalau bisa. Dan tidak kembali lagi. Selamanya. Davi meraih kotak itu. "Buat gue, kan?" tanyanya menatap Naya. Naya mengangguk pelan. "Iya. Dari Mama." "Wih dari nyokapnya, bro." Gilang menepuk bahu Reno. "Tanda-tanda lampu hijau nih," sambung Reno. Davi menaikkan kedua alisnya lalu memasukkan kotak itu ke dalam tas ranselnya. What? Ini serius kak Davi enggak ngasih tanggepan apa-apa? Makasih gitu? Ah iya lupa, setan kan emang nggak bisa bilang makasih, dumel Naya dalam hati. Davi kembali mengaitkan tas ranselnya ke punggung. "Yuk, gue anter balik ke kelas," katanya sambil menggandeng lengan Naya. "Haa? Eh? eng—enggak perlu repot-repot, Kak. Saya bisa sendiri, kok." Naya berusaha melepaskan genggaman tangan Davi tapi gagal. Dan sialnya, cowok itu semakin mengeratkan genggamannya. Naya mengalihkan pandangannya pada Davi dan pandangan mereka pun bertemu. Naya bisa melihat dengan jelas wajah tenang tenang cowok tersebut. Tapi tatapan tajam yang terpancar dari matanya sudah membuat Naya mengerti jika cowok itu tidak ingin dibantah dan menurut saja. Mau tak mau, Naya mengurungkan niatnya untuk protes lebih banyak. Mengingat bel masuk sebentar lagi berbunyi. Ia pun pasrah dan membiarkan Davi menggandeng tangannya. "Lain kali jangan ke area kelas 12 sendiri. Bahaya. Lo kan bisa w******p gue. Biar gue yang turun. Lo mau kejadian waktu itu keulang lagi?" ujar Davi saat mereka sampai di depan kelas Naya. Naya paham apa yang dimaksud oleh Davi. Kejadian di toilet beberapa waktu lalu. Kakak kelas yang mengguyurnya dengan seember air itu memang terkenal s***s. Apalagi semua murid tahu jika cewek itu begitu tergila-gila pada Davi sejak masih kelas 10. Tapi, Naya sama sekali tidak peduli. Selama dirinya ada di jalan yang benar, Naya tak kan takut untuk melawan. "Saya enggak takut, kok." "Gue tahu." "Syukur deh kalau tahu," timpal Naya tak acuh. Lagi, Davi mengulum senyum. Cewek di sampingnya saat ini memang bereda jauh. Ia melepaskan genggamannya lalu mengelus pucuk kepala Naya lembut. "Masuk, gih. Belajar yang bener. Kalau Alexa gangguin lo lagi, w******p gue aja, Ok?" Males. So pahlawan banget. enggak nyadar apa sendirinya kayak gimana ke gue, dumel Naya dalam hati. "Nay?" panggilnya lagi. "Iya. Kalau saya enggak lupa," jawabnya asal. Naya langsung nyelonong masuk ke kelas. Tapi, baru dua langkah, ia berbalik. "Makasih udah di anterin sampe depan kelas. Lain kali enggak usah." tanpa menunggu jawaban Davi, Naya kembali melangkah. Davi tersenyum kecil lalu berjalan menuju gerbang. Hari ini, bersama beberapa anak dari kelas lain ia mewakili sekolah untuk lomba debat tahap pertama. Sedang asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba saja 2 cowok menyebalkan datang dan mengambil alih tempat duduk di hadapan Naya, Ranita, dan Novitri. Siapa lagi kalau bukan Reno dan Gilang alias kacung-kacungnya Davi. Ketiganya sepakat menyebut mereka seperti itu sesuai dengan pengamatan mereka karena begitu patuhnya kedua cowok tersebut pada Davi. "Hai Ran, Nov. Hai Nay," sapa Gilang sok ramah. Keduanya tersenyum walaupun terlihat kaku. Tapi tidak dengan Naya. Ia lebih memilih untuk fokus dengan makanan di hadapannya dan mengabaikan kehadiran mereka yang enggak penting itu. "Hai Ran, Nov, Hai Dek Naya," goda Reno. Naya sedikit mengangkat kepalanya dan menatap horor ke arah Reno. "Dak-dek dak-dek, adik aja bukan seenaknya manggil adek!" ujar Naya kesal. Ia masih ingat dengan kejadian tadi pagi. Dan sudah di putuskan kalau dirinya tidak akan mau memaafkan cowok tersebut. "Kan adik kelas," timpal Reno dengan entengnya. Naya memutar bola matanya tak peduli. Nggak Davi, nggak kedua kacungnya, sama aja. Sama-sama ngeselin dan selalu bikin kudu ngelus d**a berkali-kali. Reno mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya dan meletakkannya di depan Naya. "Dari Davi." Naya hanya meliriknya sekilas lalu kembali sibuk dengan siomaynya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan menampilkan nama Davi memanggil di layar ponselnya. "Apa?" "Udah terima bunga pemberian gue?" "enggak suka bunga," jawab Naya cuek. "Terima aja. Itung-itung tanda terimakasih gue. Nanti gue ganti sama yang lain. Bilang sama nyokap lo, gue suka banget sama kuenya. Bilangin juga makasih. Ya?" "Iya. Nanti saya sampein." "Oke. Gue matiin ya." "Iya." Sedetik kemudian, telepon pun terputus. Naya kembali melirik bunga itu dan meraihnya lalu bangkit, "Bilangin sama bos kakak, makasih buat bunganya." Lalu ia pun berjalan dan melenggang pergi diikuti oleh Ranita dan Novitri. Jika waktu bisa diputar, maka semua orang pasti ingin memutar waktu. Kembali ke masa-masa di mana mereka membuat kesalahan lalu kemudian memperbaikinya. Davi juga sama. Saat sebuah kesalahan yang fatal tak termaafkan, di sanalah letak penyesalan yang tak berkesudahan berada. Membayangi setiap langkahnya hingga detik ini. Dipandanginya lukisan besar itu lekat. Seolah dengan begitu, mampu menghubungkan jarak antara Davi dan objek yang ada di dalamnya. Senyuman itu, selalu berhasil menyayat hatinya. Memunculkan kembali kepedihan yang sudah susah payah disembunyikannya dari semua orang selama ini. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka. Seorang wanita berparas cantik muncul dari balik pintu dan berjalan mendekati Davi. "Davi enggak mau makan, sayang? Udah waktunya makan malam lho," ujarnya lembut penuh keibuan. "Davi enggak lapar Ma," jawabnya tanpa menoleh sedikit pun pada sang Mama. Fokusnya masih belum berubah. "Mau sampai kapan kamu simpan lukisan itu di sini?" Mamanya kembali bertanya sambil membelai lembut rambut anaknya. Mamanya paham betul bagaimana perasaan Davi, tapi tidak baik juga jika terus terhanyut dalam penyesalan yang tidak sepenuhnya merupakan kesalahannya. Semuanya sudah menjadi takdir yang tidak bisa di hindari bagaimana pun caranya. "Sampe Davi lupa semuanya, Ma." "Kalau kamu simpan di sini terus, gimana mau lupa? Hm?" "Semuanya salah Davi, Ma ..." Suaranya perlahan mulai berubah menjadi serak. "Jangan terus-terusan berkata seperti itu, Nak. Apa yang terjadi adalah takdir. Semua orang juga tahu kalau itu bukan kesalahan kamu. Itu takdir, Dav." Davi mengubah posisinya menghadap sang Mama. "Kalau waktu itu Davi enggak telat jemput, Dia pasti enggak bakal kayak sekarang, Ma." Matanya terasa kembali panas. Ia benci keadaan seperti ini. "Davi sayang, dengarkan Mama." Dengan lembut dibelainya kedua pipi Davi. "Keterlambatan kamu, dia, dan kejadian waktu itu, semuanya udah Allah atur. Takdirnya hari itu memang harus begitu." "Tapi Ma ...." "Kalau kamu begini terus, Mama yakin, dia pasti sedih." "Dia apa kabar, Ma?" "Kok tanya sama Mama? Kenapa kamu enggak jengukin aja?" "Davi belum siap, Ma." "Mau sampai kapan?" Pelan Davi menggeleng. Sejak kejadian itu, sekalipun ia belum berani untuk mengunjunginya. Davi belum siap untuk menghadapinya. "Ma ...?" panggilnya lirih. "Iya, sayang?" "Davi ketemu sama Dia," ungkapnya pelan. "Dia?" "He'em, Dia yang lain." "Sayang ...." "Davi tahu, Ma. Tapi Dia beda. Davi juga enggak tahu takdir seperti apa yang Allah gariskan. Tapi Davi percaya, kalau itu adalah takdir. Sama seperti yang Mama bilang," papar Davi. Mamanya bisa melihat kerapuhan seperti apa yang di tanggung Davi selama ini. Anak laki-lakinya yang selalu terlihat kuat dan kokoh, hanya lah sebuah bentuk usaha untuk melindungi apa yang sebenarnya sudah hancur sejak lama. "Mama cuman takut kalau nantinya, kamu hanya akan menyakiti hati yang sama sekali enggak bersalah dan enggak ada sangkut pautnya sama dia. Davi paham kan maksud Mama?" Davi mengangguk pelan. Ia paham apa yang dikatakan oleh Mamanya. Bahkan, dirinya teramat sadar akan segala hal yang disebut dengan konsekuensi. Yang penting sekarang adalah, bagaimana meyakinkan hatinya kalau ia memang benar-benar jatuh cinta, lagi. Jika pada akhirnya nanti, kehilangan kembali menghampirinya, Davi ikhlas melepaskannya. Dalam ruangan yang sama, namun di tempat berbeda, Naya menatap nyalang langit-langit kamarnya. Semua hal tentang Davi, satu persatu berputar dan mengelilingi kepalanya. Satu yang paling diingat Naya, kalimat singkat Davi tadi pagi. 'Tubuh cewek gue mungil, nggak bakal bisa raih tuh kotak.' 'Tubuh cewek gue mungil ...' 'Tubuh cewek gue ...' 'Cewek gue ...' Entah kenapa, saat Davi mengatakan hal itu, Naya merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang terus bergerak dan mengusik hatinya. Seperti sebuah letupan-letupan kecil yang seolah tak ada habisnya. Apalagi jika di hubungkan dengan kejadian akhir-akhir ini. Sikap Davi memang tetap memperlihatkan bahwa dia adalah penguasa, tapi di sisi lain juga berusaha untuk meyakinkannya bahwa ia bisa menjadi pacar yang baik seperti yang dikatakannya. Membuat Naya bingung harus mengartikannya seperti apa. "Yang tadi pagi tuh, kak Davi bilang serius atau cuman candaan doang, sih?" Naya bergumam pelan. "Apa ... yang dibilang sama kak Lana itu bener, ya? Apa sebenernya kak Davi enggak seburuk yang gue kira?" pikirnya. Naya meraih mawar yang tadi siang diberikan oleh Reno dan menatapnya lekat. Baru di sadarinya sebuah kertas kecil terselip di dalamnya. Diambilnya kertas berbentuk hati itu, saat dibuka ternyata sebuah kalimat singkat. Telusuri hatiku dengan hatimu. Tiba-tiba ponselnya berdering. Lagi-lagi, nama Davi tertera di layar ponselnya. "Belum tidur?" tanyanya di seberang. Padahal Naya baru ingin berkata Hallo. "Belum. Ini baru mau." "Ya udah tidur gih. Besok pagi gue jemput, ya?" ujarnya. Naya bisa merasakan perubahan pada suara Davi. Seperti ... serak. Kak Davi kok tumben suaranya beda. Apa dia lagi sakit, ya? pikirnya. "Nay? Hallo?" "Eh, iya apa?" "Besok gue jemput, ya?" Davi kembali mengulang kalimatnya. "Terserah Kak Davi aja." "Ok. Tidur yang nyenyak. Selamat malam." "Iya." "Jangan lupa, mimpiin gue." Baru saja Naya akan memprotes, sambungan telepon terputus begitu saja. Membuat Naya memonyongkan bibirnya kesal. "Selalu aja seenaknya," cibirnya. Diletakkan kembali ponsel dan bunga mawar itu ke tempat semula dan bersiap-siap untuk tidur. Untuk saat ini, ia tidak ingin menerka apa pun. Biarkan semua jelas dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD