Freya meluapkan rasa kesal di dalam lift, berhubung ia sendirian di dalam sini. Ia berteriak keras berkali - kali dengan penuh amarah. Sial sekali. Ia benar - benar kesal dan marah.
Ia sebenarnya juga takut kalau Athar benar - benar akan membongkar perbuatannya. Apa Freya harus mencari tahu juga tentang Athar, sehingga ia bisa mencegah Athar untuk tidak membongkar rahasianya.
Freya harus memikirkan bagaimana cara membongkar kartu mati Athar.
Ketika lift berhenti, Freya segera berusaha mengendalikan amarahnya, sebelum pintu lift terbuka, dan seseorang masuk. Ia tidak ingin kehilangan citra positifnya. Ia tidak ingin orang - orang tahu tabiatnya yang sebenarnya.
Freya terkejut begitu tahu yang masuk ke lift adalah Archie. Freya segera memasang senyum terbaik. Untung saja ia tadi tidak mengacak - acak rambut ketika marah. Sehingga penampilannya tetap maksimal di hadapan Archie.
"Bagaimana kaki Anda, Nona Freya?"
Freya kembali tersenyum karena Archie membuka pembicaraan terlebih dahulu.
Freya sebenarnya juga tidak tahu kenapa ia menjadi begitu murah senyum jika berhadapan dengan Archie.
"Ya, sudah jauh lebih baik sekarang. Berkat Anda. Saya kemarin sampai lupa berterima kasih pada Anda."
"Tidak perlu. Saya senang bisa membantu."
Pintu lift terbuka. Mereka sudah sampai pada lantai yang mereka tuju. Rupanya mereka sama - sama hendak kembali ke kamar.
Mereka berjalan beriringan menuju ke kamar masing - masing. Archie berusaha menahan diri. Namun sulit. Ia mencuri pandang pada Freya. Segala hal dalam diri Freya benar - benar membuatnya teringat Raya. Dengan melihat Freya, rindunya pada Raya seperti terlampiaskan.
Kadang Archie justru menganggapnya Raya. Kemudian ia tersadar, bahwa Freya dan Raya adalah orang yang berbeda. Dan kemudian ia baru ingat, bahwa Raya sudah pergi untuk selamanya.
"Tuan Archie, dua hari lagi urusan pekerjaan Anda di hotel ini sudah habis, kan? Semoga silaturahmi di antara kita tidak berhenti meski kita sudah tidak tinggal satu hotel lagi." Freya mulai kembali melancarkan aksi.
Ia tahu sejak tadi Archie mencuri pandang ke arahnya. Maka ia manfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin. Ia harus terus menunjukan sisi positif pada Archie, sehingga citranya akan semakin baik di mata Archie.
Kelak ini juga bisa menjadi senjata untuknya. Jika Archie benar - benar sudah bertekuk lutut padanya, Archie akan percaya padanya 100 %. Dan jika Athar berusaha membongkar kedoknya di depan Archie, sang kakak tak akan mudah percaya padanya.
"Ya, dua hari lagi rapat sudah selesai. Tentu, kita bisa saja bertemu di lain waktu," jawab Archie.
Freya tentu saja tersenyum mendengar itu. Sebuah lampu hijau lain untuk keberhasilan misinya menjadi kaya raya.
Sayang, senyuman Freya tak bertahan lama. Setelah Archie melontarkan sebuah pertanyaan.
"Nona Freya, saya lihat setiap sore Anda selalu naik lift dari lantai dasar. Bukannya training dilakukan di meeting room hotel ini? Kenapa dari lantai dasar?"
Freya cepat - cepat memutar otak. Tak ingin Archie curiga karena ia butuh waktu terlalu lama untuk menjawab. Tapi ia juga harus hati - hati. Ia tidak boleh menjawab sembarangan. Yang justru akan memacu kecurigaan lain.
"Ya, kadang training dilakukan di meeting room hotel ini. Kadang di meeting room hotel Hexagon. Beberapa di antara kami juga menginapnya di sana. Training dilakukan di dua hotel berbeda, karena ada beberapa fasilitas yang tidak ada di satu hotel saja. Kebetulan tiap bertemu dengan Anda, training sedang dilakukan di hotel Hexagon."
Syukur lah. Freya benar - benar berterima kasih pada Tuhan karena telah memberinya otak yang encer. Ia dengan begitu cepat mampu mengarang jawaban yang cukup berbobot.
Archie mengangguk mengerti. Langkah mereka terhenti ketika akhirnya keduanya sudah sampai di depan kamar Freya.
"Saya masuk, Nona Freya. Sampai ketemu lagi." Archie berpamitan untuk masuk ke kamarnya sendiri di sebelah.
"Ya, sampai ketemu lagi, Tuan Archie." Freya memberikan senyum terbaiknya.
Freya menunggu di depan pintu sampai Archie masuk ke kamarnya sendri. Baru lah setelah memastikan Archie masuk, ia dengan cepat bergegas ke kamar, menutup pintu dengan cepat dan keras -- cenderung membanting pintu sebenarnya.
Freya berdiri bersandar di belakang pintu. Ia begitu lega karena bisa berbohong dengan begitu lancar. Benar - benar lega.
***
Archie sampai di butik J. Seperti biasa ia datang untuk menjemput Jena.
Berbeda dengan biasanya. Hari - hari sebelumnya, ketika Athar datang, ia masih harus menunggu Jena yang bersiap - siap untuk pulang. Hari ini, Jena sudah siap, duduk di sofa teras depan, menunggu Athar datang.
"Udah nunggu lama, ya?" Athar cengengesan karena merasa bersalah telah membuat Jena menunggu.
"Banyak orderan ya hari ini?" tanya Jena dengan sedikit ketus.
Athar terkikik, menganggap Jena yang sedang mengambek itu sangat lah menggemaskan.
"Maaf ya. Barusan nganterin pelanggan tadi. Orangnya agak ribet. Ngomongnya bertele - tele, nggak langsung pada intinya. Jadi lah perjalanan makan waktu." Tentu yang Athar maksud adalah Freya.
"Besok kalau telat lagi, aku bawa mobil sendiri aja deh. Nggak usah kamu anter jemput lagi."
"Ya ampun, kalau ngambek jadi tambah cantik." Athar mencubit kedua pipi Jena. Jena pun segera mencubit Athar sekuat tenaga saking gemasnya.
Athar berteriak karena kaget. Tak menyangka cubitan Jena cukup lumayan juga rasanya.
Jena berjalan mendahului Athar menunju mobil. Athar tersenyum karena kelakuan Jena. Ia menekan tombol untuk membuka kunci mobil jarak jauh.
Athar kaget karena bukannya duduk di depan, Jena malah duduk di belakang.
"Astaga ... saking ngambeknya kamu jadiin aku supir hari ini?" Athar tak henti - hentinya menggoda Jena.
"Biarin!" Jena masih membuang muka, tak mau menatap Athar.
Athar hanya membiarkan Jena berbuat semaunya. Ia segera masuk ke kursi kemudi, dan mulai menjalankan mobil.
Jena mengernyit melihat ada sesuatu di sebelahnya. Sebuah ponsel.
"Lho, Thar, ini hp siapa?" Secara otomatis Jena bertanya karena ia tahu pasti itu bukan milik Athar. "Jangan - jangan punya pelanggan kamu ketinggalan."
Athar menaikkan sebelah alis. Ponsel? "Coba lihat!" Athar mengulurkan satu tangannya ke belakang.
Jena memberikan ponsel itu. Athar segera membuka kunci layar. Ponsel itu ternyata dikunci dengan sebuah password. Tapi dari wallpaper yang terpasang, ia tahu itu adalah milik Freya.
Athar mendadak tersenyum lebar.
"Kenapa kok senyum - senyum?" Jena nampak bingung.
"Ini ponsel punya pelanggan ribet yang aku omongin tadi," jawab Athar.
"Terus kenapa kok kamu senyum?"
"Ini namanya senyuman miris, Jen. Ternyata Tuhan menakdirkan aku buat ketemu sama orang ngeselin itu lagi. Ironi, kan?"
Jena pun tertawa lepas sepuas - puasnya. "Yang sabar ya, That."
Athar ikut tertawa bersama Jena. Andai saja Jena tahu bahwa senyumnya sebenarnya memang lah sebuah senyuman murni. Sebuah senyum kepuasan. Karena Athar jadi punya alasan untuk menemui Freya dan mengorek informasi lain lagi.
Tuhan rupanya melancarkan rencananya untuk mengetahui kedok Freya yang sebenarnya.
***