Raka terkejut akan suara sorakan yang riuh itu dan merutuki sikap impulsifnya. Pria itu juga tidak tahu sejak kapan Amelia dapat memengaruhi kehidupannya sampai sejauh ini.
Sementara rona merah pada pipi Amelia sangat jelas terlihat. Dia tak menyangka jika Raka akan mengungkapkan perasaannya.
Tapi apa yang harus Amelia lakukan sekarang? Menerimanya dengan nama Leonardi yang masih bertahta di hatinya? Atau menolak dengan resiko hubungan mereka akan berubah menjadi canggung?
Raka menggigit bibirnya, mencoba menenangkan debaran di dadanya yang tak karuan. Dia tak pernah menyangka ucapannya barusan—yang keluar begitu saja tanpa disaring—akan mengundang sorakan dari teman-teman mereka yang sejak tadi berada di ruangan ini.
Dia melirik Amelia yang masih mematung di tempat duduknya, rona merah di pipinya membuat gadis itu terlihat semakin manis, meski ekspresi terkejutnya tak bisa ia sembunyikan.
Amelia menunduk, jari jemarinya saling bertaut. Dia tak tahu harus berkata apa. Kata-kata Raka tadi seperti petir di siang bolong, menyambar perasaannya yang masih rapuh.
"Amelia ..." Raka memanggil, suaranya sedikit bergetar. "Aku serius dengan apa yang aku bilang tadi. Aku ... aku menyukaimu."
Amelia mendongak perlahan, matanya yang berkabut membuat Raka merasakan sedikit sesak. Namun bukannya jawaban, yang keluar dari bibir Amelia hanyalah gumaman kecil. "Raka ... aku ...."
Raka menatap dalam ke mata Amelia, seolah berusaha mencari tahu apa yang tersembunyi di balik tatapan itu. Namun, Amelia justru menghindar, mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Amelia, aku nggak minta jawaban kamu sekarang," ujar Raka dengan nada lembut. "Aku tahu ini mendadak, tapi aku nggak bisa lagi pura-pura lagi."
Amelia mengepalkan tangannya erat. Nama itu—Leonardi—masih bertahta di benaknya. Padahal pria itu akan bertunangan malam ini. Cinta pertamanya yang tak mungkin berhasil, meskipun Leonardi menciumnya terlebih dahulu.
Seharusnya Amelia tersentuh akan ketulusan Raka. Kehadirannya seperti cahaya yang perlahan-lahan menghangatkan luka-luka di hatinya. Namun salahkah dirinya yang terlalu dalam mencintai Leonardi yang notabene-nya adalah kakak angkatnya?
"Tapi, Raka ... aku nggak tahu harus bagaimana."
Amelia akhirnya bersuara pelan, namun terdengar jelas. Dia balik menatap pria itu dengan pandangan penuh kebimbangan.
Raka terdiam, dadanya terasa berat. Namun dia memaksakan senyum tipis.
"Aku ngerti, Mel. Aku nggak akan memaksa kamu untuk menjawabnya sekarang. Take your time, Amelia."
Amelia menghela napas panjang, kemudian mengangguk kecil.
"Maafkan aku, Raka," bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Raka tersenyum sebelum berbalik dan berjalan keluar dari ruangan divisi keuangan. Meninggalkan Amelia yang hanya bisa memandang punggungnya, sembari berusaha menenangkan gejolak di dadanya.
Para rekan Amelia menahan tanya pada tenggorokan, gadis itu masih terlihat bingung dengan pernyataan cinta mendadak dari Raka. Tapi mereka semua berharap Amelia dan Raka akan menjadi pasangan.
Di antara semua rekan Amelia yang nampak berbahagia, nampak seorang wanita yang memandang sinis. Tangannya mengepal kuat dan menatap Amelia dengan penuh kebencian.
'Aku nggak akan membiarkan Raka berpacaran dengan wanita itu,' gumamnya di dalam hati.
Tak terasa waktu makan siang pun tiba, Amelia segera bergegas pulang karena Rina sudah menghubunginya sejak jam 11. Saat akan meninggalkan gedung perkantoran, Amelia bertemu dengan Raka yang bersiap untuk makan siang.
"Raka, aku pulang dulu, ya. Sampai ketemu nanti malam," ucap Amelia sembari melambaikan tangannya.
"Iya. Hati-hati bawa motornya, jangan ngebut-ngebut," balas Raka sebelum bayangan Amelia benar-benar menghilang dari pandangan matanya.
"Jadi kamu benar-benar mencintainya? Bukan hanya sekadar cinta semusim yang hilang saat musim lainnya berganti?" tanya sang teman saat melihat tatapan mata Raka yang penuh cinta untuk Amelia.
"Untuk saat ini, iya. Aku mencintainya hanya saja ...."
Raka menghentikan kalimatnya, dia membuang napas panjang dan menatap tempat yang tadi dipijak oleh Amelia dengan pandangan menerawang.
"Raka!"
Pria itu terkejut saat suara sang teman menggema di telinganya, secara reflek Raka mengusapnya. Pandangan sebal Raka layangkan kepada sang teman yang hanya mengulas senyuman tak berdosa.
"Sorry, habisnya lo bengong aja. Gua kirain lo kesambet jin iprit," elak sang teman yang kini melangkah keluar gedung kantor, disusul oleh Raka.
***
Sementara itu Amelia mengemudikan motornya dengan kecepatan yang tak terbilang pelan, dia melakukannya untuk menghilangkan rasa gundahnya.
Pernyataan cinta yang mendadak dari Raka mau tak mau membuatnya resah. Ditambah malam ini, Amelia harus menyaksikan jika pria yang dicintainya selama 10 tahun terakhir akan bertunangan dengan wanita lain.
Akan seperti apa hubungan Amelia dan Leonardi setelah malam ini. Pikirnya di dalam hati.
Karena mengemudi dengan berbagai pikiran membuat Amelia tidak sadar Jika dia sudah berada di rumah. Rina segera menariknya untuk mandi karena mereka harus ke salon sebentar lagi.
Leonardi, sang bintang utama tentu saja sudah berada di hotel tempat acara pertunangan berlangsung, dengan didampingi oleh Reza.
Akhirnya tepat jam 16.30, sepasang ibu dan anak itu sudah tiba di hotel dan memasuki kamar yang sudah disewa Reza sebelumnya.
Amelia memindai keadaan kamar tapi tak menemukan Leonardi dahinya secara otomatis mengerut Rina yang melihatnya segera berkata kepada sang putri.
"Leo dan Alena berada di kamar sebelah, kami sengaja membiarkan mereka berdua supaya mereka dapat mengenal lebih akrab."
Amelia hanya dapat mengulas senyuman kecut setelahnya, hatinya semakin merasa tak rela melihat Leonardi yang akan berdampingan dengan Alena. Wanita yang menurutnya, terkesan angkuh itu.
Di saat itu nama Raka tiba-tiba terlintas di dalam benaknya dan dia berkata kepada Rina jika pria itu akan datang pada pesta pertunangan Leonardi malam ini.
Sang ibu tentu saja merasa senang karena Amelia sudah mulai menjalin hubungan yang serius dengan lawan jenis. Sementara Reza hanya menatap Amelia dalam diam yang membuat gadis itu merasa gemetar.
Sang ayah pasti masih mengingat perdebatan mereka berdua pada pagi hari tadi, tapi Reza Reza menahan agar tidak berbicara kepada Amelia yang akan mengacaukan acara malam hari ini.
"Mama aku haus sekali. Apa minuman ini bisa kuminum?" tanya Amelia yang mencoba mengalihkan perhatiannya.
Rina segera mengambil salah satu botol air mineral dan mengulurkannya ke tangan Amelia. Gadis itu setelah menghabiskannya dalam beberapa kali tegukan, membuat Rina hanya menggelengkan kepala saat melihatnya.
"Padahal yang bertunangan itu Kakak kamu tapi kenapa malah kamu yang tegang?" tanya Rina sembari membetulkan riasan Amelia.
Amelia yang bingung tentu saja tak dapat menjawabnya dia memilih untuk pergi ke kamar mandi dengan alasan panggilan alam.
Sementara itu di kamar hotel yang berbeda Leonardi dan Alena hanya saling berdiam diri.
Kamar hotel itu terlihat elegan, dengan dekorasi yang mewah namun terkesan dingin. Lampu-lampu yang lembut memantulkan cahaya pada dinding berwarna krem, sementara di luar, suara hiruk-pikuk pesta pertunangan yang sebentar lagi akan dimulai terdengar samar.
Leonardi berdiri di dekat jendela, menatap kosong ke luar. Wajahnya datar, ekspresi yang tak bisa dibaca. Di depannya, Alena berdiri, mengenakan gaun pertunangan berwarna putih yang begitu anggun, namun mata Alena terlihat sedikit cemas, seakan menunggu sesuatu yang tak terucapkan.
Alena tahu bahwa hari ini adalah hari yang paling penting dalam hidupnya, namun hatinya tetap terasa kosong. Di balik senyum yang ia tunjukkan kepada semua orang, ada rasa takut yang selalu menghantui—takut bahwa cinta yang ia harapkan tidak akan pernah datang.
Alena mendekat, mencoba untuk melihat reaksi di wajah Leonardi, yang terus terfokus pada pemandangan malam di luar jendela.
Alena terdiam sejenak, kemudian berkata pelan.
"Leonardi ... aku tahu kalau kamu tak pernah mencintaiku, tapi aku ... aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat mencintaimu."
Leonardi mengalihkan pandangannya, namun matanya tetap tanpa ekspresi. Dia tak berkata apa-apa sejenak, lalu akhirnya membuka suara dengan nada datar. s
Seolah percakapan ini bukanlah hal yang terlalu berarti baginya.
"Aku tahu itu, Alena."
Alena terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Hatinya serasa terhimpit, namun ia memaksa untuk tetap tenang. Alena berusaha tersenyum.
"Apakah kamu ... setidaknya, bahagia jika bertunangan denganku?" tanya Alena dengan lirih.
Leonardi menarik napas panjang, memandang Alena dengan tatapan yang sulit untuk dimengerti. Sesaat, seolah dia ingin mengatakan sesuatu, namun mulutnya kembali tertutup rapat.
"Bahagia, mungkin. Tapi bukan karena alasan yang kamu inginkan."
Alena merasa sebuah pisau tajam menembus hatinya. Suara detak jantungnya berdengung di telinga, tapi dia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan di hadapan Leonardi.