Bab 6. Pernyataan Cinta yang Mendadak

1251 Words
"Kamu sudah siap untuk acara nanti malam, Leo?" tanya Reza saat sarapan pagi. Leonardi menatap sekilas ayah angkatnya, lalu melanjutkan kunyahannya sebelum menjawab pertanyaan itu. "Tentu saja aku sudah siap," jawabnya singkat. "Tapi kenapa kamu santai sekali?" tanya Rina seraya menatap bingung Leonardi. Leonardi menyemburkan tawanya, tawa yang membuat sepasang suami istri itu hanya mengerutkan dahi. Sementara Amelia memandang Leonardi dengan sendu, tak percaya jika pria itu dengan mudahnya dapat mempermainkan sebuah hubungan. "Terus aku harus bagaimana? Aku ini 'kan cuma membawa diri untuk acara nanti malam. Jadi apa yang harus aku pusingkan," jawab Leonardi yang kini memilih untuk menghabiskan sarapannya. "Pulanglah saat makan siang, Leo. Meski kamu cuma membawa diri, tetap saja kamu harus mempersiapkan diri dengan maksimal. Jangan mempermalukan kami dengan penampilan yang urakan," ucap Reza setelah membuang napas panjang. "Kamu juga kalau bisa pulang cepat, Amel. Lagian Papa bingung sama kamu, Papa ini punya perusahaan, tapi kamu malah kerja sama orang lain," ucap Reza sembari menggelengkan kepalanya. Amelia menyunggingkan senyum lebar, dia menjawab sang ayah setelah menghabiskan minum. "Aku akan izin setengah hari, Pah. Ah ... kalau kerja di perusahaan Papa nggak seru, nggak ada tantangannya." "Tapi perusahaan Papa ada banyak, masa kamu nggak tertarik untuk mengelola salah satunya?" tanya Reza dengan nada serius. Suasana di ruang makan itu tiba-tiba terasa tegang, Amelia meringis di dalam hatinya. Dia akhirnya menghindari tatapan tajam ayahnya. Sementara itu Rina, berusaha menjaga suasana tetap terkendali sambil menyajikan secangkir kopi untuk suaminya. "Papa, aku mau belajar dulu. Aku juga nggak mau orang-orang bilang kalau aku cuma dapat posisi karena anak pemilik perusahaan." Reza menaikkan alis, tersenyum sinis. "Omong kosong. Kamu tahu Leonardi bisa sukses karena kerja keras, 'kan? Dia nggak pernah ragu mengambil tanggung jawab yang Papa berikan." Reza mencondongkan tubuh ke depan, menekan setiap katanya. "Kamu juga bisa seperti Leonardi, Amel. Jangan buang waktu untuk membesarkan perusahaan orang lain!" "Tapi Pah ... aku mau sukses dengan caraku sendiri. Bukan atas bantuan Papa atau Kak Leo," ucap Amelia sembari menunduk, merasa terpojok. Reza mendengus keras, meletakkan sendoknya ke piring dengan bunyi keras. "Papa cuma nggak mau lihat kamu buang-buang waktu dan tenaga untuk hal yang nggak perlu." Rina akhirnya membuka suara, mencoba menenangkan suasana, sebelum perdebatan semakin memanas. Rina tersenyum lembut, meletakkan tangan di bahu sang suami. "Sayang, Amelia sudah dewasa. Biarkan dia membuat keputusan sendiri. Kalau dia merasa butuh pengalaman, kita harus mendukungnya." "Pengalaman? Apa gunanya kalau itu di perusahaan orang lain?" Reza mendengus lalu menatap sang istri dengan tatapan tidak setuju Rina tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Papa, dunia bisnis itu luas. Bukankah lebih baik Amelia punya pandangan yang berbeda sebelum dia masuk ke perusahaan kita? Siapa tahu itu malah jadi keuntungan buat kita nanti." Rina lalu menoleh ke Amelia dan berkata. "Kamu juga jangan terlalu keras kepala, Amel. Papa cuma ingin yang terbaik buat kamu." "Aku tahu, Mah. Tapi aku butuh waktu. Selain itu di kantor ada Raka dan kami mulai dekat akhir-akhir ini. Rasanya aku belum siap kalau mesti berjauhan sama Raka," ucap Amelia memandang Leonardi sekilas. Dia ingin memastikan reaksi Leonardi saat mendengarnya akan memulai hubungan dengan pria lain. Marah kah? Cemburu kah? Atau apa? Namun sayang Leonardi hanya menunjukkan ekspresi datar, membuat Amelia tak dapat menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Amelia pun hanya dapat menghela napas kecewa. Jadi apa arti ciuman yang telah mereka lakukan? Apakah itu tidak berarti bagi Leonardi? Kalau iya, kenapa Leonardi mencium Amelia seakan dia adalah seorang pria yang mendamba tambatan hati? "Sudah, sudah. Hari makin siang. Kalau kalian terus berdebat, kalian berdua malah telat ke kantor. Suara Rina yang kencang menyadarkan Amelia dari lamunannya. Saat menoleh sang ayah sedang menghabiskan kopinya, lalu berdiri dari kursi. Dia melirik Amelia sejenak sebelum melangkah pergi. Dengan senyuman kecil dari Rina, pagi itu berakhir tanpa konflik besar, meskipun ketegangan tetap tersisa di udara. *** Amelia tiba di kantor dengan wajah kusut. Perdebatan tadi dengan sang ayah masih terngiang di kepala, membuat mood-nya semakin buruk. Dia melangkah masuk ke pantry, disambut oleh senyum Raka yang sedang membuat kopi. "Kenapa muka kamu kusut banget, Mel? Mau kopi?" tanya Raka yang segera mengambil gelas lain. "Biasalah, Raka. Tadi ada sedikit perdebatan sama Papa," jawab Amelia seraya mengambil cangkir yang disodorkan oleh Raka. Entah sejak kapan Raka selalu menjadi tempat Amelia melampiaskan semua keresahan. Amelia tahu Raka menyimpan perasaan padanya. Tatapan pria itu selalu hangat dan penuh perhatian, seolah ingin mengatakan bahwa dia akan selalu ada untuknya. Namun sayangnya, perasaan Amelia hanya tertuju pada Leonardi, pria yang sebentar lagi akan menjadi tunangan orang lain. Jadi tidak salah bukan, kalau Amelia ingin menjalin hubungan dengan Raka dan mencoba melupakan Leonardi. Dia ingin menghindari hubungan terlarang yang mungkin saja akan menghancurkan keduanya. Amelia melangkah menuju divisi keuangan diikuti oleh Raka. Untung saja jam kerja baru dimulai 15 menit lagi, jadi kehadiran Raka di ruangan itu belum mengganggu aktivitas divisi keuangan. Gadis itu meletakkan tasnya dengan kasar di meja, lalu menjatuhkan diri ke kursi. "Aku nggak tahu kenapa Papa selalu seperti itu. Dia nggak pernah mengerti aku!" Raka mengambil kursi di seberang meja Amelia, menatapnya penuh perhatian lalu bertanya. "Kenapa? Apa yang Papamu katakan kali ini?" "Papa terus memaksaku untuk kerja di perusahaan keluarga. Katanya aku buang-buang waktu di sini. Padahal aku cuma mau punya pengalaman dulu sebelum masuk ke dunia mereka," jawab Amelia setelah menghela napas panjang dan menatap Raka dengan frustrasi. Raka tersenyum lembut, mencoba menenangkan Amelia. "Amel, kamu tahu Papamu cuma khawatir. Dia ingin kamu sukses dan mungkin nggak sabar mau lihat kamu mengelola perusahaannya." Amelia menggeleng cepat. "Itu bukan soal khawatir, Raka. Ini soal kontrol. Meskipun Papa nggak bilang aku tahu kalau Papa itu nggak rela kalau Kak Leo yang mengambil alih bisnisnya," ujar Amelia setelah menggeleng kuat, nada suaranya lebih pelan. "Padahal aku merasa kalau Kak Leo lebih cocok yang mengambil alih usaha Papa daripada aku," kata Amelia dengan lirih. Raka menyentuh tangan Amelia di meja, dia berkata dengan lembut. "Papa kamu mungkin ingin kedua anaknya sama-sama sukses mengelola perusahaan sendiri. Bukan malah jadi b***k korporat seperti ini." Amelia lalu memandang Raka, setelah beberapa saat berbicara dengan pria itu, Amelia mulai terlihat lebih tenang. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi dan memandang Raka dengan ragu. "Raka ... ngomong-ngomong soal Kak Leo, kamu sibuk nggak malam ini?" tanya Amelia dengan pelan. Raka mengernyitkan dahi lalu bertanya. "Malam ini? Kayaknya nggak ada, deh. Kenapa memangnya?" Amelia mengalihkan pandangan, memilin rambutnya dengan jari telunjuknya mencoba merangkai kalimat yang akan dia katakan selanjutnya. "Aku mau ajak kamu ke pesta pertunangannya Kak Leo. Papa dan Mama pasti sibuk dengan tamu-tamu, dan aku nggak mau sendirian di sana." "Pesta pertunangan Kakakmu? Kamu yakin aku nggak bakal canggung di sana?" tanya Raka dengan ragu. "Aku 'kan tadi udah bilang kalau orang tuaku pasti sibuk dengan tamu-tamu undangan. Dan aku nggak mau sendirian di sana, garing banget tahu rasanya. Ayo lah Raka, temenin aku di sana, ya. Please," bujuk Amelia layaknya anak kecil yang menginginkan hadiah. dari orang tuanya "Oke, Amel. Aku akan datang. Kalau itu bisa bikin kamu nyaman," ucap Raka dengan senyuman hangat. "Thank you, Raka." Saat Amelia tersenyum dan mengucapkan terima kasih, Raka merasa duniannya berpusat kepada Amelia seorang. Belum pernah pria itu jatuh cinta sedalam ini pada seorang wanita. Dalam hatinya Raka bertekad untuk cepat menjadikan wanita itu kekasihnya. Tak peduli jika harus menghadapi kakak laki-laki Amelia yang menurutnya agak gila itu. "Amelia. Aku suka sama kamu," ucap Raka tanpa sadar. Sayangnya tidak hanya ada mereka berdua sehingga pernyataan cinta mendadak Raka itu segera mendapatkan sorak sorai dari orang-orang yang sejak tadi berada di ruangan yang sama dengan keduanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD