"Kau tak perlu berpura-pura bahagia, Leo. Kita berdua sama-sama tahu jika pertunangan ini terjadi karena Papaku telah menginvestasikan uang sebesar 20 miliar untuk salah satu perusahaan Papa kamu," ucap Alena dengan tersenyum pahit.
Leonardi menatapnya beberapa detik dan akhirnya melangkah menuju Alena. Dia berdiri tepat di depan Alena, namun jaraknya masih terasa jauh.
"Maafkan aku jika aku tak bisa memberimu apa yang kau harapkan," ucap Leonardi dengan datar.
Alena mengangguk pelan, air mata mulai menggenang di matanya, tapi ia menahan diri.
"Aku tidak mengharapkan banyak, Leo. Aku hanya ... menginginkan sedikit perhatian darimu."
Leonardi terdiam sejenak, menatap Alena dalam-dalam. Dalam keheningan itu, ada perasaan yang tak terungkapkan. Namun mereka berdua tahu, jika cinta yang satu arah ini tidak akan pernah berubah.
"Jangan menangisi pria jahat sepertiku, Alena. Maaf aku tidak bisa memberimu cinta yang kamu inginkan. Apa kamu mau membatalkan pertunangan ini sebelum terlambat?" tanya Leonardi dengan nada datar.
Alena menghela napas panjang dan meskipun hatinya terasa hancur, ia tersenyum, seolah menerima kenyataan itu dengan lapang d**a.
"Aku akan mengambil resiko ini, Leo. Aku akan melanjutkan pertunangan ini dengan harapan suatu saat kamu akan mencintaiku," ucap Alena dengan tegas.
"Maka kamu sudah tahu apa konsekuensinya," sahut Leonardi.
Leonardi memalingkan wajah, merasa tidak bisa melanjutkan percakapan ini lebih lama. Alena berdiri sejenak, lalu akhirnya melangkah mundur, pergi ke pintu.
Pesta pertunangannya sebentar lagi akan dimulai dan dirinya akan melangkah ke depan, meski hatinya hancur perlahan.
"Apakah jatuh cinta sungguh sangat menyakitkan seperti ini?" gumam Alena sebelum memasuki ballroom hotel di mana kedua orang tuanya sudah menanti dengan senyuman bahagia.
Tak lama acara pun digelar. Ruangan ballroom itu dipenuhi dengan kemewahan dan gemerlap lampu kristal yang memantulkan kilau elegan.
Para tamu berpakaian rapi, berbincang-bincang santai yang diselipi oleh pertemuan bisnis, memperluas koneksi dan semacamnya.
Di tengah panggung yang gemerlap, sepasang insan berdiri dan menjadi pusat perhatian malam ini.
Sang pria, Leonardi mengenakan jas hitam yang membingkai tubuh tegapnya dengan sempurna. Ekspresinya datar, seolah semua kemeriahan di sekitarnya hanyalah latar belakang yang tak berarti.
Namun, di balik sikapnya yang dingin, ada daya tarik yang tak terbantahkan, membuat semua mata tak bisa lepas darinya.
Di sampingnya, Alena calon tunangannya, tersenyum lebar. Gaun putih panjangnya semakin berkilauan ditimpa oleh cahaya lampu, dan tatapan matanya penuh kebanggaan saat tangannya menggenggam lengan Leonardi.
Tapi tatapan pria itu tidak beralih padanya, dia hanya memandang lurus ke depan, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Di sudut ruangan, seorang gadis berdiri, mengenakan gaun biru malam yang sederhana, Amelia. Tatapannya sayu, menyimpan rasa sakit yang tak mampu disembunyikan.
Pandangannya terkunci pada Leonardi, pria yang mengisi relung hatinya. Hatinya berteriak, namun bibirnya membisu.
Seorang MC pria berbicara dengan suara riang.
"Hadirin sekalian, mari kita sambut pasangan yang berbahagia malam ini! Leonardi dan Alena, selamat atas kebahagiaan kalian!"
Leonardi tersenyum tipis, sekilas. Alena memeluk lengannya lebih erat.
Alena berbisik kepada Leonardi. "Semua orang melihat kita, Leo. Bisakah kamu tersenyum sedikit lebih lebar?"
"Aku sudah tersenyum. Itu cukup."
Alena tersenyum canggung pada tamu-tamu di sekitarnya, sementara Leonardi tetap memandang lurus tanpa ekspresi.
Sang MC segera menangani suasana canggung itu dengan melontarkan lelucon konyol yang untung saja tak membuat Leonardi mengernyit.
Amelia yang melihat Alena berbisik kepada Leonardi, mengira wanita itu menciumnya. Air matanya hampir jatuh, tapi dia menarik napas dalam-dalam dan mencoba terlihat tegar.
"Amelia, untung saja aku ketemu kamu. Aku mau ajak kamu hunting makanan."
Tepukan pelan pada pundak Amelia, membuat gadis itu terkejut dan batal menangis. Gadis itu tersenyum lalu mengikuti ke mana Raka akan membawanya.
Amelia kembali memandang Leonardi, berharap pria itu akan menoleh ke arahnya. Tapi Leonardi tetap seperti patung hidup, indah namun tak terjangkau olehnya.
"Semua orang bilang kita pasangan yang sempurna. Apa kamu mendengarnya, Leo?" ucap Alena memecah kesunyian.
Leonardi sebenarnya tak melepaskan tatapan matanya pada Amelia yang sedang bersenda gurau dengan Raka. Dia bahkan memegang sebuah sendok hingga benda yang terbuat dari stainless itu sedikit bengkok.
Alena tentu saja merasa aneh dengan tindakan Leonardi, hanya saja lebih memilih untuk diam.
Malam terus berlanjut, namun bagi Amelia, waktu terasa berhenti. Seiring pertunangan itu diumumkan, ia tahu, sebagian dari dirinya juga hancur malam ini.
Amelia meminta izin kepada Raka untuk ke toilet, yang sebenarnya adalah pengalihan gadis itu akan rasa sakitnya. Raka yang terbuai akan makanan, akhirnya lalai dan membiarkan gadis itu untuk pergi.
Amelia melangkahkan kakinya menuju parkiran hotel untuk mengambil udara segar di dalam sana dia merasa sangat sesak. Apa pengaruh banyak orang ataukah hatinya yang sedang sakit, Amelia juga tidak tahu.
"Aku mau keluar sebentar, mulutku asam mau merokok," ucap Leonardi yang segera melangkah keluar.
Alena yang meski merasa dongkol, tak dapat berbuat banyak. Dia membiarkan Leonardi untuk meninggalkan pesta ini tanpa tahu kapan akan kembali.
Amelia sedang memandang langit malam yang pekat tanpa adanya bintang yang bertaburan di atas sana dengan hati yang gundah.
Terlalu larut dalam lamunannya, membuat Amelia tidak sadar jika ada sepasang tangan kekar menariknya agar lebih berada di bagian dalam parkiran ini.
Amelia terkejut dan hampir saja berteriak. Aroma parfum Leonardi yang khas pada penciumannya itu membuat Amelia sedikit lebih tenang.
"Kak Leo ...," panggil Amelia dengan sendu.
Leonardi menarik napas panjang, matanya menyipit menatap Amelia.
"Iya Amel," sahut Leonardi sembari menjulurkan tangannya, menyentuh pipi Amelia dengan lembut.
"Kenapa Kakak ada di sini?" tanya Amelia dengan bingung.
"Karena aku ingin berduaan denganmu," jawab Leonardi dengan nada datar
Amelia menggigit bibir, matanya mulai berkaca-kaca.
"Tapi, Kak Leo ... Alena itu tunanganmu. Bagaimana mungkin Kakak dapat melakukan hal ini."
Leonardi menarik Amelia ke dalam pelukannya, berbisik di dekat telinganya.
"Dengar, Mel. Pertunangan ini nggak ada artinya untuk aku. Aku hanya membutuhkan investasi itu," sahut Leonardi dengan seringai sinisnya.
Dia lalu mengecup puncak kepala Amelia, membuat gadis itu melemah di pelukannya.
"Tapi Alena jauh lebih cantik dan seksi daripada aku," ucap Amelia dengan lirih.
"Kamu cemburu?" tanya Leonardi sembari menatap Amelia dalam-dalam, nada suaranya berubah lebih serius.
Amelia menghela napas pelan sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Cemburu pun aku tidak punya hak untuk itu. Sebenarnya kita ini apa?"
Leonardi tersenyum miring lalu mengecup bibir Amelia sekilas, enggan menjawab pertanyaan gadis itu.
Sementara itu, Alena berdiri sendiri ditengah pesta. Tangannya menggenggam ponsel yang memperlihatkan foto Leonardi dan Amelia sedang berbicara dengan serius.
Foto yang didapatkan secara tak sengaja dari salah satu temannya yang menghadiri pesta ini.
Jantungnya berdegup kencang, tapi ia menenangkan diri. Dia yakin semua ini hanya kekhawatirannya semata.
Lagi pula Leonardi dan Amelia adalah kakak dan adik, jadi tak mungkin mereka akan melakukan hal yang melanggar norma masyarakat.
Namun, senyuman tipis di wajah Leonardi saat bersama Amelia membuat hatinya sedikit terusik. Leonardi tak pernah tersenyum seperti itu kepada dirinya.
'Dia akan mencintaiku. Cepat atau lambat, dia pasti akan mencintaiku,' gumam Alena dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.