1. Menolak Tapi Tak Rela
"Akhirnya Kak Leo pulang juga. Aku sudah lama menunggu Kakak pulang," ucap seorang gadis bernama Amelia dengan antusias.
Sementara lawan bicaranya yang tak lain adalah Leonardi, menatap wajah Amelia dengan tersenyum hangat. Raut wajah kelelahan pun sangat jelas terlihat pada pria itu.
"Ada apa, Mel? Kok serius banget mukanya?" tanya Leonardi dengan lembut.
Amelia menarik napas dalam, berusaha menguatkan hatinya. "Kak Leo … aku ingin jujur. Selama ini aku berusaha mengabaikan perasaan ini, tapi semakin lama aku merasa semakin sulit."
Leonardi tertegun, memandang Amelia dengan tatapan bertanya-tanya. "Maksudmu apa?"
Amelia menunduk sejenak, lalu menatap mata Leonardi penuh harap. "Aku … aku menyukaimu, Kak. Lebih dari sekadar kakak. Aku tahu ini salah, tapi aku nggak bisa lagi menahan perasaan ini."
Leonardi terdiam dengan rahang yang mengeras membuat Amelia seketika memiliki firasat buruk. Keduanya larut dalam keheningan meledakkan tawanya. Tawa yang terkesan dingin dan sinis. Jantung Amelia serasa ditikam sembilu saat melihat perubahan sifat Leonardi yang tiba-tiba dari lama menjadi sinis.
Sakit tapi tak berdarah! Itulah gambaran perasaan Amelia saat ini.
"Kamu serius mengatakan itu? Kamu pikir aku akan tertarik denganmu, Amelia? Kamu itu cuma sebatas adik buat aku, meskipun kita nggak ada ikatan darah. Ingat itu."
"Kak Leo, aku … aku hanya ingin Kakak tahu perasaanku." Amelia berbicara dengan suara bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.
Leonardi menghela napas, memalingkan wajah dengan dingin.
"Dengar Amelia, jangan pernah mengatakan hal konyol seperti ini lagi. Sampai kapanpun kita adalah adik dan kakak, tidak lebih dari itu. Ya, meskipun dalam beberapa tahun ini kamu mulai merepotkan aku. Paham kamu Amelia."
Setelah mengatakan kalimat kejam itu Leonardi berlalu meninggalkan Amelia yang terpaku, hatinya begitu sakit dan hancur berkeping-keping.
Untung saja kedua orang tua mereka sedang berada di Jepang dan baru akan pulang sekitar 5 minggu, jadi Amelia tidak perlu menjelaskan suasana canggung yang mungkin terjadi di antara dirinya dan Leonardi.
Dengan langkah gontai Amelia melangkah ke lantai 2, di mana kamarnya dan Leonardi bersebelahan. Amelia mengunci pintu kamar dan langsung menuju ke balkon. Tangisannya pun pecah tak lama kemudian.
Seandainya bisa memilih, Amelia pasti akan memilih untuk jatuh cinta dengan pria lain dan melupakan rasa cintanya kepada Leonardi selama 10 tahun terakhir.
Tanpa Amelia tahu, Leonardi berdiri di balik dinding yang memisahkan balkon. Mendengarkan raungan Amelia sembari menatap langit yang semakin diselimuti awan gelap yang pekat.
Raut wajahnya minim ekspresi sehingga tidak ada orang yang dapat menebak jalan pikirannya.
***
Setelah malam itu hubungan Amelia dan Leonardi menjadi canggung dan renggang, Amelia menyadari meskipun sakit, dia harus dapat mengubur perasaannya kepada Leonardi dalam-dalam.
Seakan ingin menegaskan jarak antara dirinya dan Amelia, Leonardi kerap membawa wanita yang berbeda setiap bulannya. Pria itu seolah sengaja menunjukkan kepada Amelia bahwa Leonardi bisa memiliki siapa saja, kecuali dirinya.
Sore itu Amelia baru saja pulang kerja saat melihat Leonardi berada di ruang tamu bersama seorang wanita cantik. Wanita itu tertawa kecil, tangan Leonardi dengan santai melingkar di pundaknya dan mereka terlihat sangat dekat.
Amelia berdiri sebentar, menyaksikan kemesraan itu dari balik pintu sebelum melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan hati yang hancur.
Di kamarnya Amelia merenungkan semua yang telah terjadi. Dia menyadari, jika terus seperti ini hanya akan membuatnya semakin terluka semakin dalam. Akhirnya Amelia memutuskan untuk mulai membuka hati dan mengenal pria lain. Hidupnya tidak terfokus dengan Leonardi saja, Bukan?"
Tak lama kemudian bunyi notifikasi pesan membuat Amelia mengalihkan perhatiannya kepada benda pipih itu. Senyumnya melebar saat mengetahui siapa sang pengirim pesan itu. Masih tersenyum lebar Amelia membalas pesan itu dan tidak menyadari jika waktu sudah bergulir dengan cepat.
Rina ibu Amelia yang baru saja pulang dari kantor memanggil sang putri untuk makan malam bersama. Gadis itu meletakkan ponselnya ke atas nakas lalu keluar kamar menyusul Rina.
Makan malam pun tiba, Amelia tak melihat sesosok wanita cantik yang tadi bersama dengan Leonardi. Tak lama Amelia menyadari jika Itu bukan urusannya.
"Amelia, kamu kelihatan ceria malam ini. Ada kabar baik apa?" tanya Rina saat melihat Amelia tersenyum sumringah.
"Sebenarnya aku sedang dekat dengan seorang pria, dia itu adalah teman kantor aku, Mah," jawab Amelia.
Leonardi tiba-tiba berhenti mengunyah, matanya menatap Amelia dengan pandangan tajam.
"Jadi kamu sedang dekat dengan seorang pria yang adalah teman kantor kamu?" tanya Leonardi dengan nada dingin.
Amelia tersenyum tipis, mencoba untuk tenang saat berhadapan dengan Leonardi yang seakan mengintimidasinya.
"Ya, Kak. Aku rasa ini saatnya aku mulai bersosialisasi dan mengenal lawan jenis."
"Wah, itu kabar baik, Amelia. Siapa nama pria itu?" tanya Reza dengan antusias.
Selama ini dia khawatir jika Amelia tidak memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Di saat usia remaja yang seharusnya diwarnai dengan cinta monyet, Amelia sama sekali tidak tertarik dengan hal itu dan memilih untuk belajar dan mengurung diri dari dunia luar.
"Namanya Raka. Dia rekan satu tim aku di kantor, Pah." Amelia tersipu malu saat menjawab pertanyaan Reza.
Leonardi terlihat tidak senang. Tanpa sepatah kata pun, dia menatap Amelia dengan tatapan dingin dan rahang yang mengeras.
Seusai makan malam, Leonardi berbaring di kamarnya. Namun, pikirannya dipenuh dengan kecemburuan yang tiba-tiba muncul. Dia tidak suka membayangkan Amelia berdekatan dengan pria lain.
Leonardi tak lama menertawakan dirinya, dia sendiri yang mendorong Amelia menjauh darinya, tapi sekarang merasa kalang kabut saat mengetahui jika gadis itu sedang dekat dengan pria lain.
Dalam hati Leonardi bertekad untuk memastikan pria bernama Raka itu tidak akan pernah mendapatkan Amelia. Tidak ada yang boleh mendekati Amelia meskipun dia tahu tidak akan dapat memiliki gadis itu.
Suatu malam saat Amelia hendak keluar untuk menemui Raka, ia menemukan Leonardi berdiri di ambang pintu, menghalanginya dengan tubuh tegapnya.
Amelia menatap Leonardi dengan bingung. "Kak, tolong minggir. Aku mau pergi sekarang."
Leonardi menatap Amelia tajam. "Dengan b******n itu lagi?"
"Kakak ini kenapa sih kayak nggak suka sama Raka. Kami hanya pergi makan malam. Kenapa kakak selalu menghalangi? Lagi pula ini 'kan malam minggu, bukannya biasanya Kakak membawa wanita yang berbeda ke rumah ini, tapi sekarang kenapa Kakak terlihat seperti seperti jomblo yang mengenaskan, sih?"
Amelia pun melancarkan protes kepada Leonardi yang menurutnya bersikap aneh itu. Nada suaranya pun sengaja Amelia buat ketus.
"Kamu tahu nggak, Amelia? Pria seperti Raka hanya datang saat mereka melihat kesempatan dan pergi setelah mereka mendapatkan keinginannya," ucap Leonardi pelan namun dingin.
Amelia tersentak saat mendengar lalu membantah Leonardi. "Kakak bilang apa? Kakak nggak berhak mengatur siapa yang bisa atau tidak bisa aku temui!"
Leonardi tampak diam sesaat, lalu mendekatkan wajahnya pada Amelia, menatapnya dalam-dalam. Saat itulah Amelia tersentak saat mencium aroma alkohol yang keluar dari mulut pria itu.
"Kakak mabuk?" tanya Amelia dengan memekik dan otomatis memundurkan tubuhnya.
"Kalau kamu masih ngotot untuk pergi, jangan salahkan aku jika mengambil tindakan," ucap Leonardi dengan suara rendah dan tajam.
Amelia tertegun tidak pernah melihat raut Leonardi yang begitu gelap dan penuh ancaman. Tapi gadis itu mengabaikan Leonardi dan tetap pergi dengan perasaan tak menentu. Sementara Leonardi hanya memandang kepergiannya dengan tatapan ketidaksukaan.
Tak lama kemudian Leonardi mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi saat ia berkata pada seseorang yang berada di ujung sambungan telepon.
"Pastikan Amelia mengerti jika keputusannya malam ini untuk menemui pria itu adalah kesalahannya."