Amelia tersentak saat mengetahui jika ciuman pertamanya diambil oleh Leonardi. Pikirannya tiba-tiba kosong seiring dengan kecupan yang awalnya lembut, berubah menjadi lumatan penuh gairah.
Ciuman yang terasa menuntut yang menunjukkan kepemilikan Leonardi atas Amelia. Perempuan muda itu akhirnya terbuai dengan sentuhan sang kakak angkat kepada dirinya. Matanya otomatis terpejam dan tangannya mengalungi leher Leonardi yang bertumpu pada kedua lengannya, menjaga agar tidak menghimpit tubuh Amelia.
"Kak Leo ...."
Leonardi semakin bersemangat saat mendengar suara lirih Amelia yang terdengar seperti alunan melodi indah. Suhu tubuh keduanya meningkat drastis, peluh bercucuran dari pori-pori kulit sepasang insan itu.
Kamar yang didominasi warna pink itu menjadi saksi dimulainya hubungan rahasia di antara keduanya. Hubungan yang dapat membawa kehancuran bagi keduanya di masa mendatang.
Baru saja Leonardi akan melakukan tindakan yang lebih jauh, Amelia memukuli dadanya. Perempuan itu merasa sesak, karena pasokan oksigen yang ada di paru-parunya menipis.
Dengan perasaan tak rela, Leonardi akhirnya melepaskan tautan bibir keduanya. Pria itu menyatukan kening keduanya.
"Kak Leo ...," panggil Amelia dengan napas tersengal.
"Kenapa Kakak ... melakukan ini sama aku? Bukannya Kakak pernah menolakku dan menganggap aku hanya adik," tanya Amelia yang napasnya masih tersengal.
Leonardi menatap Amelia dengan intens, membuat gadis itu merasa pria itu melucutinya hingga tak tersisa. Suhu tubuhnya kembali merasa panas seakan ada bara api yang membakar. Karena tidak tahan akhirnya Amelia memalingkan wajah ke samping.
"Lihat aku, Amel." Titah Leonardi yang lalu membingkai wajah Amelia dengan kedua tangannya.
Amelia menatap sendu Leonardi, tak mengerti akan jalan pikiran pria itu. Padahal Leonardi yang menolaknya, tapi sekarang pria itu yang menariknya lebih dalam ke hubungan yang tidak jelas akan bermuara ke mana.
"Cepat tidur, hari sudah semakin malam."
Leonardi menarik diri dari tubuh Amelia, dia tak ingin melakukan hal yang lebih dari berciuman, meskipun dia tahu jika Amelia sudah siap saat ini juga.
Setidaknya bukan malam ini, karena Leonardi baru saja menenggak 2 gelas wiski setelah selesai berbicara dengan Reza.
Reza mengatakan padanya untuk bertemu dengan Alena-wanita yang akan dijodohkan dengannya besok malam. Leonardi juga penasaran dengan perempuan itu, karena dia mendengar selentingan gosip yang tidak-tidak mengenai wanita itu.
Amelia mengangguk dan memejamkan matanya, tak lama terdengar dengkuran halus yang menandakan jika gadis itu sudah terlelap.
Leonardi keluar dari kamar Amelia melalui balkon lalu melompatinya. Kamar mereka yang bersebelahan dan menempel pada balkon yang sama, tentu saja memudahkan aksi Leonardi untuk masuk ke kamar sang adik angkat tanpa melalui pintu.
Dia merebahkan tubuh dan mencoba memejamkan mata, efek wine yang diminumnya semakin terasa kuat. Leonardi menghela napas lalu bangun dari posisi tidurnya, dia menyambar sebotol air mineral dan meneguknya perlahan.
Sensasi dingin yang menyentuh tenggorokannya, sedikit banyak menyegarkan Leonardi. Dia tidak tahu akan seperti apa pertemuannya dengan wanita yang dijodohkan dengannya besok.
Tapi satu yang pasti, Leonardi akan memanfaatkan wanita itu untuk mencapai tujuannya. Pria itu tertidur setelah menghabiskan air di dalam botol itu.
***
Seorang wanita muda melangkah masuk ke ruangan kafe yang mewah dengan gaya anggun khas gadis kaya. Dia mengenakan dress merah muda beraksen renda, rambutnya tertata rapi, dan senyum manis tersungging di bibirnya. Matanya mencari-cari sosok pria yang dijanjikan akan dikenalkannya hari ini.
Ketika akhirnya pandangannya tertuju pada seorang pria yang duduk di sudut kafe, jantung wanita itu berdebar. Pria itu, Leonardi, duduk santai dengan pakaian hitam dan ekspresi datar yang tampak sangat kontras dengan suasana sekitar.
Tatapan matanya tajam dan penuh percaya diri. Dia bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda menghiraukannya, hanya sesekali melirik sambil menyeruput kopinya.
Alena terpana. Di balik sikap dingin dan angkuhnya, Leonardi memancarkan karisma yang sulit diabaikan. Namun tatapan Leonardi justru tetap datar, seolah dia sedang berbicara dengan klien bisnis, bukan dengan gadis kaya yang biasanya mudah memikat perhatian orang-orang.
Wanita itu-Alena duduk di hadapan Leonardi dengan senyuman manis yang biasanya mempesona lawan jenis, tapi tak berlaku untuk Leonardi.
"Hai, Leonardi, ya? Aku Alena," ucapnya tersenyum sembari membenarkan tatanan rambutnya.
Leonardi hanya menatapnya datar. "Ya, aku tahu. Kamu Alena 'kan."
Leonardi melirik arlojinya, dia terlihat bosan. "Kamu terlambat lima menit."
Alena tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang mulai canggung.
"Ih, kok serius amat, sih? Aku nggak nyangka kamu ... hmm, bakal secakep ini," ucap Alena menyeringai centil ke arah Leonardi.
Leonardi mengangkat alis, sedikit tersenyum sinis. "Dan aku nggak nyangka kamu bakal sejujur ini."
Alena terkejut, tapi tertawa kecil dia merasa tertantang dengan sikap Leonardi.
"Kamu selalu datar kayak gini, ya? Aku pikir kita bisa ... ya, ngobrol-ngobrol seru gitu."
Leonardi mengangkat bahu dan menampilkan ekspresi bosan. "Aku di sini bukan buat ngobrol santai."
Alena menyipitkan mata, semakin tertarik kepada Leonardi. "Oh, jadi cuma memastikan apa hubungan kita bisa berlanjut, agar Papa investasi ke perusahaan Papa kamu, ya?" tanya Alena dengan gamblang.
Leonardi tersenyum samar saat melihat betapa energik dan beraninya wanita yang di hadapannya ini, sangat berbeda dengan Amelia yang terkesan kaku dan tertutup.
"Kamu dingin banget, sih. Kaku banget tapi ... aku suka."
Leonardi tersentak saat Alena kembali bersuara, membuyarkan lamunannya akan Amelia.
"Jadi apa keputusan kamu mengenai perjodohan kita?" tanya
Leonardi yang menatap tajam Alena.
Alena tersenyum menggoda, tak merasa tersinggung sama sekali.
"Aku suka kamu, tapi sepertinya kamu nggak suka sama aku. Ya ... sejujurnya aku ingin melanjutkan perjodohan ini," jawab Alena yang lagi-lagi melempar senyum genit ke arah Leonardi.
"Kalau begitu aku juga akan melakukan perjodohan ini." Leonardi menyeringai tipis saat mendengarnya, pria itu lalu menyesap kopinya sampai habis dan memandang Alena dengan ekspresi datar.
Alena hanya bisa tersenyum dia semakin terpesona oleh aura misterius Leonardi, yang semakin membuatnya ingin tahu lebih jauh tentang pria penuh teka-teki di depannya.
***
Leonardi duduk di tepi balkon dengan sebatang rokok di antara jarinya. Asap putih melayang di udara, sementara tatapan matanya tajam menatap malam. Ia tahu, besok adalah hari pertunangannya dengan Alena.
Pertunangan yang bagi orang lain tampak romantis, tetapi bagi Leonardi, hanya permainan bisnis. Lagipula setelah melakukan beberapa pertemuan lainnya dengan Alena, Leonardi menyukai sikap wanita itu yang atraktif.
Namun di sudut hatinya, bayangan Amelia terus muncul. Apalagi setelah mereka berciuman untuk pertama kalinya, bibir manis dan merekah itu tak dapat enyah dari pikirannya.
Sementara itu, Amelia berada di dalam kamar menahan rasa pahit di dadanya. Gadis itu kecewa dengan keputusan Leonardi untuk bertunangan dengan wanita lain.
Karena tak dapat tertidur membuat Amelia memutuskan untuk ke kamar Leonardi dan melihat pria itu sedang duduk dengan santai di balkon.
"Kakak belum tidur? Padahal besok Kakak bertunangan," tanya Amelia setelah melawan rasa kelu pada lidahnya.
Leonardi tersenyum miring seraya memainkan rokok di jarinya.
"Hanya memandang langit dan merenung sebelum kebebasanku hilang. "
Amelia menghela napas lalu mendekati Leonardi.
"Kalau begitu kenapa Kakak mau melakukan pertunangan ini jika merasa kebebasan Kakak terenggut?" tanya Amelia dengan sendu.
"Jadi apa masalahnya, Amel? Aku rasa ini tidak buruk juga, wanita itu cukup menyenangkan," ucap Leonardi menatap tajam Amelia.
Amelia menahan air matanya saat mendengarnya, hatinya remuk saat mendengarnya Leonardi memuji wanita lain di depannya.
Leonardi mematikan puntung rokoknya, mendekat ke arah Amelia lalu meraih dagunya. Sedetik kemudian Leonardi mencium Amelia, membuat gadis itu terkejut.
Sensasi lembut dan manis berpadu, bibir Amelia lebih nikmat dari rokok yang baru saja dia hisap.
Hasrat Leo terpantik ingin merasakan lebih dari yang dia lakukan sekarang, ciuman yang biasa itu kini menjadi lebih menuntut.
Leonardi mengigit sedikit bibir Amelia dan gadis itu membuka bibirnya.
Meskipun ini ciuman Kedua mereka, Amelia masih terkesan amatiran dalam mengimbangi ciuman yang dilakukan Leonardi. Keduanya saling mencecap, terpejam merasakan gairah terlarang yang seharusnya tidak mereka lakukan.
Ciuman itu berakhir saat Amelia mulai kehabisan napas dan memukuli punggung Leonardi dengan kuat. Pria itu menggeram lalu melepaskan tautan bibir keduanya.
Amelia menatap nanar Leonardi, dia berusaha tegar saat berbicara.
"Kakak egois sekali, tapi ... bodohnya aku tetap nggak pernah bisa berhenti mencintaimu meski Kakak akan bertunangan besok."
Namun Leonardi hanya membalasnya dengan senyum yang membuat Amelia hanya terdiam, tenggelam dalam kebingungan antara rasa sakit dan pesona Leonardi yang tak terelakkan.