"Raka, aku harus pulang sekarang. Maaf aku nggak bisa nungguin kamu sampai keluar rumah sakit ...."
"It's oke, Amelia. Aku ngerti kalau orang tua kamu pasti akan cemas jika anak gadisnya tidak pulang berhari-hari."
Raka memotong perkataan Amelia karena tidak ingin melihat gadis itu semakin sedih. Selain itu dia merasakan tatapan tajam Leonardi yang mengarah padanya. Dan itu membuat otaknya menyalakan alarm waspada dan bertindak hati-hati saat berhadapan dengan Leonardi.
"Tapi bagaimana dengan orang tua kamu, Raka? Mereka pasti akan menuntutku karena aku sedang bersama kamu saat kejadian itu berlangsung?" tanya Amelia dengan lirih.
"Kamu nggak perlu khawatir soal itu, karena mereka sedang berada di Norwegia dan baru akan pulang 2 minggu lagi. Luka aku pasti sudah pulih sepenuhnya dan mereka nggak akan pernah tahu jika aku pernah dihajar habis-habisan oleh preman-preman sialan itu," ujar Raka dengan tenang meskipun Amelia menatapnya dengan curiga.
"Kalau ngomong sama kamu, aku nggak akan pernah menang. Raka, aku pulang dulu, ya. Besok kalau sempat aku akan menjenguk kamu," kata Amelia dengan nada sedikit sebal.
"Kamu nggak perlu jenguk aku, Amel. Paling besok aku udah pulang dan hari Rabu baru masuk kantor." Cegah Raka yang tak ingin berurusan dengan Leonardi dalam waktu dekat.
Setidaknya dia harus memikirkan taktik yang tepat untuk menghadapi Leonardi, karena Raka bertekad untuk menjadikan Amelia kekasihnya.
"Amelia. Ayo cepat kita pulang, hari sudah semakin malam!" teriak Leo yang tidak suka melihat interaksi di antara Amelia dan Raka
Tak lama keduanya meninggalkan rumah sakit, seorang pria datang untuk menjenguk Raka. Sebelum Raka turun dari mobil dan menghadapi kedua orang suruhan Leonardi, dia sempat mengirimkan pesan kepada temannya untuk meminta bantuan berikut juga lokasi terkini selama 8 jam.
Pria itu terkejut saat melihat keadaan Raka yang babak belur. Karena penasaran membuatnya akhirnya melempar pertanyaan.
"Bagaimana kejadiannya sampai lo bisa dihajar habis-habisan kayak gini?"
Raka lantas menghembuskan napas kasar, bingung bagaimana harus menggambarkan kecurigaannya.
"Kenapa lo menghela napas kayak lagi menanggung beban berat?" tanya sang teman yang kini duduk di kursi penunggu pasien.
"Gua sedang dekat dengan seseorang, dia teman kantor gua ...."
Sang teman membiarkan Raka sejenak. Setelah terdiam beberapa lama, akhirnya Raka mulai menceritakan awal mula kedekatannya dengan Amelia, kejadian pemukulan yang barusan dialaminya, serta keanehan dari pria yang mengaku sebagai kakak laki-laki Amelia.
Sang teman yang mendengarnya hanya dapat menganggukkan kepala, mencoba untuk menganalisa situasi sebelum memberi kesimpulan yang masuk akal.
"Kalau menurut gua, kakak cewek itu sepertinya memendam rasa pada Amelia ... benar 'kan itu nama cewe itu?"
"Gua melihat raut wajah dingin dan penuh kebencian dari pria itu sama gua tadi, dan gua curiga kalau pria itu yang menjadi otak dari kedua preman yang menghajar gua. Karena sebelum Amelia pingsan, salah satu dari preman itu menyebut nama Leo. Dan Leonardi adalah nama kakaknya Amelia."
Pernyataan Raka tentu saja membuat sang teman terkejut.
"Dan lo masih mau mendekati adik dari pria psikopat itu? Fixed otak lo udah geser karena dihajar barusan!" teriak sang teman yang frustasi melihat kenekatan Raka.
"Ssttt. Ini rumah sakit, jadi tolong jangan berisik dan mengganggu pasien lainnya." Keduanya hanya dapat mengucapkan kata maaf dengan tersenyum canggung saat salah satu perawat pria menegur mereka karena berisik.
"Raka. Come on. Masih banyak cewek cantik di bumi ini, tapi kenapa kayaknya lo ngotot banget sama yang satu ini?" tanya sang teman dengan nada tak percaya.
"Entahlah. Gua juga nggak tahu, perasaan gua yang bilang saat melihat wajahnya," jawab Raka sembari membayangkan Amelia.
Wajah Raka pun menunjukkan kekaguman yang luar biasa kepada Amelia.
Sang teman yang melihat kegigihan yang ditunjukkan oleh Raka hanya pasrah dan berdoa semoga pria itu dapat memenangkan hati Amelia tanpa harus terjadi insiden seperti hari ini.
Tak lama kemudian Seorang perawat wanita berkata kepada Raka jika pria itu akan segera menempati ruangan inap kelas 3. Meskipun Raka sanggup membayar ruang perawatan VIP, tapi pria itu lebih memilih ruang perawatan kelas 3.
Tentu saja alasannya karena ruangan itu ditempati banyak orang, jadi dia tidak merasa sendirian dan merinding saat malam hari seperti sekarang.
Sang teman pun segera membantu Raka dan bersiap kekurangan tidur karena harus menjaga Raka semalaman.
***
Sementara itu di dalam perjalanan pulang, baik Leonardi maupun Amelia hanya berdiam diri. Tidak ada salah satu dari mereka yang berniat untuk membuka suara.
Amelia yang masih kesal dengan kelakuan Leonardi yang menyuruh orang untuk menghajar Raka, berniat mendiamkan pria itu. Dan Leonardi berpikir untuk menjauhkan Raka dari Amelia, jadilah suasana hening di dalam mobil itu.
Saat keduanya tiba di rumah secara bersamaan, reaksi kedua orang tua mereka tentu saja terkejut. Pasalnya tadi saat Rina menelepon Amelia, sang putri sedang bersama dengan Raka. Tapi sekarang Amelia malah pulang bersama Leonardi.
"Kok kalian bisa pulang bareng? Tadi kata kamu mau bantuin temen yang kena tilang?" tanya Rina dengan raut wajah bingung.
"Kebetulan urusannya selesai cepat, dan aku nggak sengaja ketemu Amel di jalan. Mobil pria itu mogok dan nggak tahu kapan selesainya. Jadi aku ajak Amel pulang."
Amelia tertegun saat mendapati betapa lancarnya Leonardi dalam membuat alasan. Seketika saja Amelia merasa tidak lagi mengenal Leonardi, pria itu seperti menjelma menjadi orang lain setelah Amelia menyatakan perasaannya.
"Oh begitu rupanya. Syukurlah Amel ketemu kamu, jadi udah di rumah sekarang," ucap Rina dengan nada penuh kelegaan.
Sejujurnya sejak 30 menit yang lalu, Rina merasa cemas karena Amelia belum juga tiba di rumah. Padahal Amelia sudah berkata akan segera pulang dan sang putri tidak pernah mengingkari janjinya. Seorang gadis yang masih berada di luar rumah pada jam 22.30, tentu saja membuat hati orang tua merasa cemas.
"Karena kita berempat sudah berkumpul seperti ini sekalian saja Papa mau mengumumkan sesuatu. Papa mau menjodohkan Leo dengan anak rekan bisnis Papa."
Mata Amelia terbelalak saat mendengarnya, dia merasa sedih dan kecewa saat mendengar perjodohan Leonardi.
'Ternyata aku masih mencintai Kak Leo,' gumam Amelia di dalam hatinya.
"Kalau boleh tahu, apa kesepakatan dari hasil perjodohan ini?" tanya Leonardi.
Reza menoleh kepada putra angkatnya, tak lama tawanya meledak.
"Kamu ini memang pintar seperti Hendrik," ucap Reza yang tiba-tiba menyebut nama mendiang ayah Leonardi.
"Papa lupa nambahin kalau Leo ini mewarisi wajah Cornelia," timpal Rina yang menyebutkan nama ibu Leonardi.
"Kamu memang pintar, Nak. Pernikahan kamu ini setara dengan investasi sebesar 20 miliar rupiah. Kebetulan anak gadis Gavin Sanjaya menaruh minat sama kamu. Setidaknya perempuan ini lebih baik dari para jalang yang kamu bawa ke rumah ini," ucap Reza dengan menyindir.
"Jadi nilaiku hanya sebesar itu. Aku akan menerima perjodohan ini setelah bertemu dengan perempuan itu," sahut Leonardi dengan nada dingin.
Hati Amelia merasa seperti diremas oleh sesuatu yang tak kasat mata saat mendengar Leonardi menyetujui perjodohan itu. Karena tak ingin berlama-lama, membuat Amelia langsung menuju ke kamar dan membiarkan ketiganya melanjutkan pembicaraan.
Amelia langsung merebahkan tubuhnya dikasurnya yang empuk, tapi air matanya mengalir dengan deras dan dia membenci hal itu. Karena terlalu lelah membuat Amelia tertidur.
Namun itu tak berlangsung lama, karena Amelia merasa jika sesuatu menyentuh pipinya. Merasa terganggu membuat Amelia membuka matanya dan melihat jari Leonardi yang sedang menyusuri wajahnya.
"Kak Leo ...."
Belum sempat Amelia melanjutkan perkataannya, Leonardi sudah membungkamnya dengan sebuah ciuman yang membuat mata Amelia seketika terbelalak.