Alena akhirnya memasukkan ponselnya ke dalam tas kecilnya, lalu berjalan keluar dari kerumunan tamu pesta yang sebagian sudah pulang. Dia berniat untuk merebahkan tubuhnya yang lelah pada kamar hotel yang telah disewa oleh sang ayah.
Mata Alena memindai keadaan sekitar, mencari di mana keberadaan orang tuanya. Setelah 5 menit mencari, akhirnya dia menemukan mereka dan melangkahkan kaki menuju tempat orang tuanya berada.
Namun baru setengah jalan, langkahnya harus berhenti karena dia mendengar sekelompok wanita yang pernah membicarakan mengenai acara malam ini. Mengambil jarak aman, tapi tak terlalu jauh. Karena dia memutuskan untuk mendengar apa yang akan dikatakan oleh para wanita itu.
"Gua nggak percaya kalau Alena akhirnya bisa bertunangan juga sama Leonardi, si cowok dingin itu. Dia pakai pelet apa sampai bisa menaklukkan cowok itu."
Dada Alena terasa sesak saat mendengar ucapan yang memojokkan dirinya. Ingin menjauh dia sudah terlanjur mendengar, karena itu Alena hanya diam menantikan cacian dan hinaan apalagi yang akan keluar dari mulut para wanita itu.
"Apa sih yang nggak mungkin buat dia. Ortu Alena itu tajir melintir, jadi mereka bisa mewujudkan keinginan anak manja itu."
"Maksud lo, orang tua cewek manja itu membeli Leonardi?"
Pertanyaan dengan nada terkejut itu tak lama menyambar ucapan sebelumnya, membuat telinga Alena semakin panas rasanya.
"Pake nanya lagi, ya jelas itu sudah pasti. Kemarin gue nggak sengaja denger bokap gua sama om gua lagi ngomong, mereka bilang perusahaan orang tuanya Leonardi lagi goyang dan mereka membutuhkan banyak investasi."
"Jadi kayak pernikahan bisnis begitu maksud lo, kayak drama Korea aja."
"Ya memang hidup dia 'kan penuh dengan drama."
Cukup! Alena tak sanggup lagi mendengarnya. Memang benar kalau dia terkesan membeli Leonardi, tapi apakah para wanita itu harus membahasnya secara terang-terangan pada pesta pertunangannya yang sedang berlangsung.
Tidak bisakah mereka membicarakannya lain kali saat bertemu di cafe ataupun di klub? Pikir Alena di dalam hatinya.
Alena mengambil segelas minuman berwarna merah dari nampan seorang waitress pria, dengan langkah pasti dia menuju ke arah kumpulan wanita yang semakin seru membicarakan dirinya. Tawa mengejek pun sesekali keluar dari bibir para wanita itu.
Alana berjalan dengan d**a mengembang kempis, matanya memandang pada satu titik. Setelah menghirup napas dalam, Alena menyiramkan air di dalam gelas itu kepada sekumpulan wanita penggosip itu.
Teriakan pun langsung keluar dan membuat suasana pesta berubah menjadi ricuh. Orang tua Leonardi yang melihat calon menantunya mengamuk, hanya dapat termangu. Tak menyangka jika Alena yang mereka kira anggun ternyata dapat bersikap barbar seperti ini.
Sementara orang tua Alena, segera menghampiri sang putri untuk bertanya kejadian yang sebenarnya terjadi.
"Mereka membicarakan yang tidak-tidak mengenai pertunangan aku dan Leonardi, Mah!"
Alena menunjuk para wanita itu dengan ekspresi marah, sementara para wanita itu hanya menunduk. Mereka tak berani menghadapi ayah Alena yang menampilkan raut wajah sangar, seakan ingin menerkam mereka.
Leonardi yang baru saja memasuki tempat acara hanya terdiam saat melihat keributan itu. Tak lama kemudian, pria itu melangkah menuju tempat sang tunangan.
Pria itu melangkah dengan tenang, matanya tajam mengamati situasi. Para tamu yang tadi sibuk sendiri kini terdiam, suasana pesta menjadi tegang, hanya terdengar suara samar musik yang mengiringi pesta ini.
Alena yang masih berdiri dengan napas memburu, menoleh ketika Leonardi mengusap punggungnya.
"Alena."
Leonardi memanggil namanya dengan nada rendah, hampir dingin. Matanya menatap lurus ke arahnya, lalu beralih ke wanita-wanita yang masih menunduk malu.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Leonardi meski nadanya sudah tahu jawaban itu.
Alena mendongak, berusaha menguasai dirinya. Dia menunjuk ke arah para wanita itu lagi.
"Mereka membicarakan aku. Menghina hubungan kita, Leon. Mengatakan bahwa aku 'membeli' kamu untuk pertunangan ini. Apa menurutmu aku harus diam saja saat mendengarnya?"
Leonardi memandang Alena tanpa ekspresi, lalu perlahan mengalihkan pandangannya ke sekumpulan wanita yang masih terlihat gugup.
Dengan senyum tipis namun mengancam, Leonardi bertanya, "Siapa yang memulai keributan ini?"
Sementara ayah Alena yang sejak tadi diam, kini mengamati apa yang akan dilakukan oleh calon menantunya itu. Sekaligus menilai kecepatan pria itu dalam memecahkan masalah.
Tak ada yang berani menjawab. Mereka saling pandang, berharap ada yang cukup berani mengaku. Namun, keheningan itu hanya membuat suasana semakin mencekam.
"Jadi, kalian pikir kalian bisa datang ke pesta ini dan menghina tunanganku?"
Meski Leonardi tidak memiliki perasaan kepada Alena, pria itu tak dapat membiarkan siapapun untuk menghina tunangannya. Sama saja itu mencoreng wajahnya.
Leonardi melipat tangan di d**a, suaranya terdengar santai tapi mengandung ancaman. Membuat sekumpulan wanita itu merasa bagaikan di neraka.
"Kalau begitu, aku harus bertanya ... kenapa kalian masih di sini? Kalian tidak diundang untuk mempermalukan tuan rumah."
Beberapa wanita itu terlihat ingin membantah, tapi tatapan dingin Leonardi menghentikan mereka. Akhirnya, salah satu dari mereka berkata dengan suara bergetar.
"Kami hanya bercanda, Leonardi. Tidak ada maksud buruk."
"Bercanda?" Leonardi mendekat, membuat mereka mundur selangkah. "Candaan seperti itu tidak lucu. Apalagi di depan Alena, yang lebih pantas menjadi tunanganku dibanding kalian semua."
Mata Leonardi kembali menatap Alena. Dia memandangnya sejenak, lalu mengulurkan tangan ke arah pelayan yang kebetulan lewat, mengambil segelas sampanye.
"Dengar, Alena," katanya sambil menyerahkan gelas itu ke tangan Alena.
"Kamu tidak perlu repot-repot menghadapi mereka. Orang-orang seperti mereka tidak sepadan dengan kecantikanmu."
Leonardi kemudian menoleh pada para wanita itu sekali lagi. "Sekarang, kalian tahu pintu keluarnya, 'kan? Aku tidak akan mengulangi ucapanku dua kali."
Dengan wajah memerah, para wanita itu akhirnya pergi, meninggalkan pesta di bawah tatapan tajam Leonardi dan bisikan tamu lainnya.
Leonardi berbalik ke arah Alena yang masih memegang gelas sampanye itu dengan tangan gemetar. Dia menghela napas dan berkata pelan.
"Lain kali biar aku yang mengurus hal seperti ini. Aku tahu kamu kesal, tapi kamu tidak perlu membuat dirimu terlihat buruk di depan semua orang untuk orang-orang tak penting seperti mereka."
Alena menatapnya, mencoba membaca maksud di balik kata-katanya.
"Aku tidak tahan saat mereka menghinaku, Leon," bisiknya pelan. "Aku hanya ingin menunjukkan kalau aku tidak lemah."
Leonardi tersenyum kecil, meski senyumnya dingin. "Kamu tidak lemah. Tapi sekarang, kita harus kembali ke pesta dan tunjukkan kepada semua orang bahwa kamu di sini karena kamu pantas berada di sisiku. Bukan karena apa yang mereka pikirkan."
Leonardi mengulurkan tangannya lagi, kali ini untuk menggandengnya. "Ayo."
Dengan enggan, Alena menerima uluran tangan itu, mencoba menenangkan dirinya. Namun, jauh di dalam hati, dia tahu bahwa cara Leonardi mengendalikan situasi ini sekaligus menunjukkan sesuatu yang lain.
Leonardi adalah pria manipulatif yang dapat membuat semua orang percaya dia mencintai dan memuja Alena dengan segenap jiwa raga. Meski kenyataannya sangat berbeda.