Sementara Amelia menutup mulutnya dengan tangan saat melihat kekacauan itu. Raka yang menemukan gadis itu dalam keadaan terkejut segera menghampirinya dan bertanya.
"Amelia, dari mana saja? Aku cari kamu sejak tadi."
"Aku ... cuma keluar sebentar. Terlalu ramai dan aku merasa pengap di sini. Tapi apa yang terjadi di sini?" tanya Amelia dengan mata memandang kepada Leonardi.
Amelia hanya dapat menggigit bibirnya saat melihat Leonardi menenangkan sang tunangan dengan mengelus punggungnya. Amelia tak suka melihatnya, dadanya seakan dipenuhi oleh bara api.
"Ah begitu rupanya. Tadi calon kakak ipar kamu mengamuk, dia menyiram grup cewek itu. Mungkin karena menggosip yang tidak-tidak," jelas Raka yang malah membuat Amelia bingung.
Emosinya pun perlahan mereda, dia tak ingin menimbulkan kecurigaan jika menyimpan perasaan kepada Leonardi.
"Sepertinya ada yang menyebarkan gosip kalau kakak kamu mau bertunangan dengan wanita itu karena investasi," ujar Raka yang membuat Amelia hanya tersenyum kecut.
Sepertinya salah satu dari wanita penggosip itu memiliki informan yang cukup tepat, karena jelas-jelas orang tuanya menutupi motif yang sebenarnya dari pertunangan Leonardi.
Tanpa sadar Amelia menghembuskan napas kasar yang membuat Raka menoleh ke arahnya, lagi-lagi pria itu memandang Amelia dan berkata dengan lembut.
"Kamu kelihatan lelah, mau pulang sekarang? Biar aku antar."
"Apa tidak akan merepotkan kamu kalau harus mengantarkan aku pulang?" tanya Amelia dengan ragu.
Padahal Raka menghadiri acara pertunangan Leonardi atas ajakan darinya. Jadi sudah pasti pria itu tidak akan keberatan jika harus mengantar gadis itu pulang ke rumah.
"Kalau untuk kamu, aku nggak keberatan kok, Mel. Siapa tahu kita akan lebih saling mengenal kalau kita sering berduaan," ucap Raka yang membuat Amelia hanya tersenyum kecil.
"Tapi apa kamu nggak takut jika akan terkena pukulan lagi saat mengantarkan aku pulang seperti waktu itu?" tanya Amelia yang seketika teringat kejadian tempo hari saat mereka melakukan kencan untuk pertama kalinya.
Raka tertawa kencang sembari mengusap puncak kepala Amelia, setelah tawanya mereda pria itu berkata kepada gadis yang menatapnya dengan bingung.
"Aku saja sudah lupa soal itu, tapi kamu malah mengingatkanku. Aku nggak masalah mau dihajar berapa kali asal bisa mendapatkan kamu," kata Raka yang mencoba menggombal.
Amelia pun tersipu saat mendengarnya, tak menyangka jika Raka akan seserius ini untuk mendapatkan hatinya.
"Tapi aku nggak mau kamu dihajar, Raka. Sayang nanti wajah tampan kamu babak belur dan aku yang akan disalahkan oleh para penggemar kamu di kantor," sahut Amelia setelah menepuk pelan lengan Raka.
Raka hanya tersenyum melihat tindakan Amelia, dia merasa gadis itu sudah mulai merasa nyaman saat berbicara dengannya.
"Ayo kita pamitan dulu sama orang tua kamu," ajak Raka sembari menggandeng Amelia.
"Mah, Pah. Aku mau pulang dulu," ucap Amelia saat melihat jika raut ketegangan pada kedua orang tuanya sudah memudar.
"Boleh, tapi kamu pulang sama siapa?" tanya Rina yang emosinya sudah lebih terkendali daripada Reza.
"Aku pulang sama Raka, Mah. Ini orangnya," jawab Amelia sembari memperkenalkan Raka yang terlihat tegang.
Reza langsung memindai Raka dari atas kepala sampai kaki, menelisik pria yang sedang dekat dengan sang putri. Raut wajahnya yang datar membuat siapapun tak dapat menebak apa yang ada di dalam pikiran pria itu.
Jujur saja dalam keadaan seperti itu, Raka merasa seperti dikuliti. Tapi demi rasa cintanya kepada Amelia dia rela jika harus menghadapi Reza agar mendapatkan restu dari pria paruh baya itu.
"Kalau begitu hati-hati mengemudinya. Jangan ngebut-ngebut ya, Nak Raka. Amel, kamu juga kalau sudah sampai rumah segera kasih tahu Mama, biar kami nggak khawatir."
Keduanya langsung mengangguk saat Rina menyelesaikan perkataannya. Setelah berpamitan dengan keduanya, Raka mengantarkan gadis itu untuk pulang.
"Amel."
Gadis itu menoleh saat Raka memanggilnya, jalanan pada malam hari ini tidak terlalu padat sehingga mereka sudah setengah perjalanan menuju rumah.
"Ada apa, Raka?" tanya Amelia memandang bingung Raka.
Raka tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara. Dia melirik Amelia dengan tatapan serius yang berbeda dari biasanya.
"Aku mau nanya sesuatu," ucapnya dengan suara lebih berat dari biasanya.
Amelia sedikit cemas melihat perubahan ekspresi Raka. "Tanya apa? Kok tiba-tiba serius banget?"
Raka menarik napas dalam, seolah-olah sedang menyiapkan mental untuk apa yang akan ia katakan.
"Kenapa aku merasa … tadi Kakakmu kelihatannya … nggak suka lihat kita berduaan?"
Amelia membuka mulutnya, namun sebelum ia sempat menjawab, ponselnya tiba-tiba berdering, memecah suasana tegang di antara mereka. Nama yang muncul di layar ponsel membuat wajah Amelia berubah drastis.
"Kenapa dia telepon sekarang?" gumam Amelia lirih.
Raka memandang Amelia dengan penuh tanya. "Siapa?"
Amelia tak langsung menjawab. Dia menelan salivanya dengan kasar, lalu berkata pelan.
"Seseorang yang barusan kamu tanyakan."
Raka menatap Amelia dengan alis berkerut. "Kakakmu?"
Amelia hanya mengangguk pelan, lalu dengan ragu menggeser ikon hijau di layar ponselnya untuk menerima panggilan itu. Suaranya sedikit gemetar ketika menjawab panggilan itu, "Halo?"
Dari ujung telepon, terdengar suara berat yang sudah sangat Amelia hafal. Leonardi berbicara dengan nada tajam dan penuh dengan aura mengintimidasi.
"Di mana kamu sekarang?" tanyanya tanpa basa-basi.
Amelia melirik Raka, merasa tak nyaman dengan cara Leonardi berbicara yang terdengar oleh Raka.
"Aku lagi di jalan pulang sama teman. Sudah bilang Mama sama Papa juga," jawab Amelia berusaha terdengar santai meski suara Leonardi membuat jantungnya berdetak kencang.
"Teman?" Leonardi mengulang dengan nada sinis. "Raka? Pria yang tadi bersamamu itu."
Amelia menggigit bibir bawahnya, perasaan tidak enak semakin menyelimuti dirinya.
"Kak Leon, aku masih ...."
"Jangan banyak alasan," potong Leonardi dingin.
"Pulang sekarang. Amelia. Aku tidak ingin mengulang perintahku." Suaranya menjadi lebih tajam, membuat Amelia merasa gemetar saat mendengarnya.
Panggilan lalu terputus sebelum Amelia sempat menjawab. Dia menatap layar ponselnya yang kembali gelap, lalu menoleh ke arah Raka, wajahnya seketika memucat.
"Dia marah?" tanya Raka dengan nada hati-hati.
Amelia menghela napas berat, lalu mengangguk. "Dia nyuruh aku pulang sekarang."
"Apa-apaan dia? Kamu 'kan bukan anak kecil lagi, Amel. Kenapa kamu harus selalu tunduk sama dia? Lagian kita ini juga arah pulang ke rumah. Memangnya kakakmu pikir kita naik karpet terbangnya Aladin apa yang langsung bisa sampai."
Raka yang tampak tidak senang langsung mengoceh panjang.
Amelia terdiam sejenak. Dia tahu Raka benar, tapi ini bukan soal tunduk atau tidak. Leonardi ... dia selalu memiliki cara sendiri untuk membuat orang menurut.
"Raka, aku ... ngeri kalau Kak Leo sudah marah," jawab Amelia sembari menunduk dan menggigiti bibirnya, kebiasaan saat dia merasa gugup.
"Tapi aku nggak suka dengan cara dia memperlakukanmu, seperti ... seperti kamu ini miliknya. Padahal dia baru saja bertunangan dan dia itu 'kan kakakmu," ucap Raka dengan nada ketidaksukaan yang kentara.
Amelia menunduk, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Dia tahu Leonardi posesif, bahkan seringkali terlalu jauh, tapi ...
"Memikirkannya membuat aku kesal saja," kata Raka dengan nada kesal.
Halangannya untuk mendapatkan Amelia semakin besar saja. Dan sejujurnya dia tak yakin apakah dapat menghadapi Leonardi atau tidak.
Kejadian pemukulan terhadap dirinya tempo hari yang memang dilakukan oleh Leonardi, mau tak mau harus membuat Raka tetap waspada. Dia bohong tadi saat mengatakan sudah melupakannya, karena tak mau membuat Amelia semakin kepikiran.
Amelia hanya mengangguk tanpa kata. Namun di dalam pikirannya, ada bayangan lain yang memenuhi kepalanya, ekspresi Leonardi ketika mereka bertemu nanti.
Perjalanan menuju rumah terasa hening setelah itu. Raka melirik Amelia sesekali, ingin bicara, tapi setiap kali membuka mulut, dia ragu.
Amelia sendiri sibuk dengan pikirannya, membayangkan kemarahan Leonardi dan apa yang mungkin akan dia hadapi saat bertemu dengan Leonardi.
Setelah beberapa menit, Raka akhirnya memecah keheningan. "Amel, kalau dia terlalu kasar sama kamu, kamu harus bilang ke aku, ya?"
Amelia tersenyum tipis, meski senyumnya tidak sampai ke mata. "Aku bisa jaga diri, Raka. Kak Leo cuma ... dia cuma punya caranya sendiri buat menunjukkan kalau dia peduli."
"Punya cara sendiri? Dengan mengontrol hidupmu?" potong Raka, suaranya meninggi sedikit. "Amel, itu bukan peduli. Itu ... obsesif."
Amelia menoleh padanya, ragu untuk menjawab. Dia tahu Raka mungkin benar, tapi dia tidak bisa mengatakannya dengan lantang. Ada bagian dari dirinya yang selalu mencari alasan untuk membenarkan tindakan Leonardi.