MCKR 8 – Tentang Keputrian

2065 Words
Hari menunjukkkan hari Jumat itu artinya pada jam istirahat kedua, semua siswa laki-laki di sekolah Haura harus segera pergi ke Masjid dan siswa putri harus mengikuti kelas keputrian sambil menunggu siswa laki-laki kembali dari salat Jumat. Di sekolah Haura, bagi yang non islam juga disediakan guru pembimbingnya masing-masing.   Jadi, semua teman-teman Haura tidak ada yang merasa dianaktirikan, semuanya adil dan tidak dibeda-bedakan.   “Ayo, Guys, ke atas, sebelum dicatet!” seru seorang teman Haura.   "Eh, pada mau ke mana?" tanya Haura kepada Indah.   Haura merasa bingung karena ini kali pertama dirinya masuk sekolah pada hari Jumat, sebab, minggu yang lalu dia belum masuk ke sekolah tersebut. Sehingga, ini adalah kali pertama dia mengikutinya.   Haura melihat beberapa temannya bangkit.   Haura menatap temannya itu dengan bingung. Bukankah seharusnya jam istirahat? Kenapa temannya itu menyuruh mereka untuk ke lantai atas? Haura benar-benar bingung saat ini.   Untuk memutus rantai kebingungan, akhirnya Haura pun lebih memilik untuk menanyakannya kepada Indah. Indah tentulah mempunyai jawaban atas pertanyaannya itu. Secara Indah sudah jauh lebih lama ketimbang dia (masuk sekolahnya).   "Mau keputrian. Ayo, keburu disamperin guru agama sama guru BK!" kata Indah yang mengajak Haura.   Haura mulai mengingat-nginat apa itu keputrian. Namun, dia tidak mendapatkan arti dari kata itu dalam kepalanya.   "Loh, sebentar. keputrian itu apa?" tanya Haura.   Di sekolahnya yang lama atau di SMP-nya memang tidak ada kegiatan keputrian, jadi dia tampak bingung dengan keadaan, dia bingung apa yang dimaksud dengan kegiatan keputrian dan dia juga tidak tahu harus berbuat apa saja saat dirinya berada di kelas keputrian tersebut.   "Keputrian deh pokoknya." jawab Indah sekenanya.   Indah tidak tahu persis bagaimana menjelaskannya jadi dia hanya memilih jalur aman saja.   "Ya, jelasin dulu." desak Haura.   "Jadi gini, kan anak-anak cowok pada ke Masjid tuh buat salat Jumat, nah kita yang cewek-cewek dikumpulin buat dengerin ceramah anak-anak rohis. Nanti keluarnya kalau anak cowok udah pada kelar Jumatan gituuu," terang Indah.   Belum genap Indah menjelaskan, suara pengumuman kelas keputrian sudah dibacakan, semua kelas memang tidak dijadikan satu semuanya. Hanya 2 kelas yang digabung dengan tiap minggunya selalu berubah agar mereka semua saling mengenal.   "Tar dulu dengerin dulu biar kita tau kalau kita ada di kelas mana." ungkap Indah.   Haura menganggukkan kepalanya.   Selanjutnya pengumuman pun selesai. Haura kembali bertanya kepada Indah. Dia memang tidak mengerti jadi dia bertanya.   "Eh, yang ceramah anak-anak rohis?" tanya Haura yang seakan menyadari sesuatu.   "Iya, semua anak-anak rohis biasanya gantian gitu ceramahnya, hayo lo Ra lo kan anak rohis tuh,” kata Indah.   "Jangan gitulah. Nggak percaya gue. Paling guru agama kan?" tanya Haura.   Indah terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh Haura. Sepertinya Haura ikut rohis hanya ikut-ikutan sama karena ada Albie. Indah tidak mempermasalahkan hal itu.   "Dih, nggak percaya. Ayo, deh ikut gue,” kata Indah.   Di depan kelasnya sudah ada anggota rohis yang meminta kepada seluruh penghuni kelas Haura untuk keluar dari dalam kelas. Seharusnya, Haura ikut melakukan apa yang anak rohis itu lakukan namun dia belum mengerti dan belum ada yang menjelaskan padanya sehingga dia bersikap seperti siswi biasanya.   "Lo nggak ikut mereka, Ra?" tanya Indah.   Pertanyaannya Indah memang cukup beralasan karena Indah tahu kalau Haura ternyata sudah bergabung dalam ekskul Rohis, dia bahkan percaya kaena informasinya dia dapatkan dari ketua rohisnya langsung meski secara implisit saja.   "Emang harus?" tanya Haura. Haura memang tidak tahu apa-apa.   "Enggak, nggak harus, tapi wajib kalo buat yang beneran anak rohis. Kalo lo kan ..,” kata Indah sambil terkekeh.   "Sue,” kata Haura. Haura bukannya tidak tahu apa yang dikatakan oleh Indah, jadi dia hanya bisa mengumpat pelan.   Indah hanya bisa terkekeh, teman barunya ini lucu sekali.   "Hai, Kak!" sapa Haura kepada kakak kelasnya yang menurut Indah adakah kakak rohis.   "Lain kali ikut bantuin ajak temen-temennya buat ikut keputrian ya?" kata Kakak Rohis tersebut.   Haura melirik Indah, ternyata apa yang dikatakan oleh Indah memang benar adanya. Ternyata dia memang harus membantu mereka mengajak anak-anak untuk mengikuti keputrian.   Indah hanya mengatakan dengan matanya, "Kan, bener kata gue."   Haura memandang kakak kelasnya lagi dan tersenyum dan mengangguk, "Oke, Kak,” kata Haura.   Haura pun berjalan bersama indah menuju kelas yang sudah ditentukan. Ketika mereka datang, ternyata banyak teman-temannya yang masih di luar kelas, lalu seorang anggota rohis terlihat meminta yang masih berada di luar untuk masuk ke dalam ruangan.   Pemandangan itu sebenarnya hampir biasa saja namun, Haura menangkap sesuatu yang berbeda. Dia melihat semua mata siswi-siswi itu begitu berbinar sambil melihat ke arah lapangan.   "Mereka liatin apa?" tanya Haura yang bingung melihat siswi-siswi yang menatap di bawah dengan penuh minat.   "Oh, itu. Jadi, Masjid kita kan besar nah, anak sekolah sebelah selalu ikut gabung buat salat jumat di Masjid kita. Nah, anak sebelah itu cowok-cowoknya badai-badai, Ra. ganteng-ganteng banget, bening, pokoknya ademin mata gitulah makanya pada demen liatin cowok-cowok samping pas mereka salat jumat,” kata Indah.   Haura pun langsung mencoba melihat bagaimana rupa-rupa cowok-cowok yang dimaksud oleh Indah, dan benar saja, beberapa diantaranya yang tengah berjalan menuju Masjid memang terlihat tampan.   "Ganteng-ganteng kan?" tanya Indah.   "Iya, ya ... lumayanlah,” kata Haura.   "Bukan lumayan lagi sih itumah,” kata Indah sambil terkekeh.   "Ra!" panggil seseorang.   Haura pun menoleh dan mencari sumber suara. Suara itu bukanlah suara dari Indah. Dan benar saja, kini Haura melihat Samantha yang berjalan ke arah dirinya.   "Kenapa?" tanya Haura.   Indah yang melihat kalau Haura tidak sopan pada kakak kelasnya langsung menyikut pelan pinggang Haura.   "Ayo, masuk?" ajaknya.   "Eh, iya, Kak. Ayo, Masuk, Ra!" kata Indah yang langsung menarik Haura untuk mengikutinya masuk ke dalam ruangan.   Di dalam ruangan, mereka pun diabsen sambil jalan dan materi pun mulai di jelaskan. Haura terdiam. Seketika dia terperangah dengan apa yang terjadi di dalam sana.   Ternyata apa yang dikatakan oleh Indah memang benar, orang yang mengisi acara keputrian itu bukanlah guru. Mereka adalah anggota-anggota rohis juga. Dan meski Haura tidak ingat siapa namanya, namun dia mengingat kalau orang yang berada di depan adalah anggota rohis.   Apakah dia juga akan menjadi seperti itu? Apakah dia juga diharuskan berceramah seperti itu? Lalu, apa yang harus dijelaskannya kepada teman-temannya kalau sampai dia terpilih jadi pemateri?   Banyak hal yang kini dipikirkan oleh Haura. Namun, di luar pikiran-pikiran yang penuh dengan ke khawatiran, dia melihat sesuatu yang ada di hadapannya, ada rasa sakut yang dia rasakan pada salah satu kakak kelasnya yang tengah berceramah di hadapannya, di hadapan siswi-siswi.   "Ini, absen,” kata Indah.   "Ngisi daftar hadir ini bukan absen,” kata Haura.   "Bodo amatlah,” kata Indah sambil memutar bola mata.   Haura terkekeh dan langsung mengambil kertas yang berisi daftar nama-nama anak kelasannya dan juga pulpennya.   "Yah ... nggak ada nama gue,” kata Haura.   "Hahaha berarti nggak usah absen,” kata Indah.   "Ck, gue tulis di sini aja deh,” kata Haura.   Nama Haura memang belum ada dalam daftar absen tersebut karena Haura murid baru dan baru pertama kali mengikuti kegiatan keputrian. Jadi, wajar saja bila tidak ada namanya.   Haura pun memberikan kertas daftar hadir ke teman di sampingnya, lengkap dengan pulpennya. Lalu dia kembali mendengarkan materi yang disampaikan oleh pemateri.   Materi yang dibawakan pada hari ini adalah tentang cinta. Sebuah materi yang selalu bisa memancing semua siswa-siswi yang masih masa ABG itu antusias.   "Jadi, teman-teman sebenarnya rasa cinta itu fitrah, jadi kalau seumuran kita merasakan cinta itu hal yang wajar, namun kita harus tahu bahwa untuk anak seusia kita yang memang belum siap untuk menikah lebih baik menjaga dulu perasaan cinta kita. Lebih baik kita alihkan pada hal-hal yang lebih bermanfaat sehingga kita tidak tergoda untuk pacaran atau berzina." pemateri mulai menyimpulkan.   "Tuh, Nis, dengerin. jangan p-acaran mulu!" celetuk seorang siswi yang menguncak gelak tawa seluruh siswa-siswi.   "Kayak lo engga aja, sue,” kata siswi yang bernama Nisa yang tidak terima.   "Si Nisa nih kak kalau pacaran di semak-semak. Astaghfirullah al azim!" seru siswi yang sebelumnya nyeletuk.   "Kaga kak bohong dia. Padahal kalau saya pacaran dia juga ikut,” kata Nisa dengan bercanda.   Semuanya tertawa lagi, namun tidak bertahan lama karena mereka tidak boleh berisik atau berbuat gaduh karena di Masjid semua laki-laki tengah salat dengan khusyu. Masjid tersebut memang dekat dengan kelas jadi dikhawatirkan suara-suara berisik dari semua siswi akan terdengar sampai Masjid.   ***   Sepulang sekolah, Haura pun langsung pergi ke Masjid karena dia harus mengikuti ekskul rohis, lagi pula dia ingin bertemu dengan Albie dan ingin melancarkan aksinya mendekati Albie.   "Bener lo nggak mau pulang bareng gue?" tanya Indah.   "Enggak ah, gue mau ikut rohis,” kata Haura.   "Hahahaha paling lo juga ikut cuma buat ketemu Bang Albie kan? Ketaker." cibir Indah.   Haura hanya bisa terkekeh saja, "Sambil menyelam minum air kayaknya nggakpapa deh, Ndah,” kata Haura.   "Gaya banget. Tiati, sakit hati,” kata Indah.   "Tenang, gue udah menyiapkan sedikit tempat di hati gue untuk rasa kecewa,” kata Haura.   "Basiiii,” kata Indah.   Haura pun terkekeh lagi mendengar jawabn dari Indah. dia mulai akrab dengan Indah. dia juga mulai merasa kalau Indah adalah anak yang baik dan bisa diajak berteman.   Meski Indah suka asal bicara namun Haura merasa nyaman berada di dekat Indah.   "Lo nggak mau gitu ikut gue gabung rohis?" tanya Haura.   Dari kelasnya, yang masuk rohis memang dirinya saja, tidak ada yang lain, padahal jumlah siswanya banyak. Mungkin, ini karena efek kelas Haura yang anaknya rata-rata bandel.   "Ogah,” kata Indah.   "Kenapa?" tanya Haura.   "Gue mau pulang aja, mager banget ikut-ikutan eskul. Jangankan rohis, pramuka aja gue sebenernya ogah, cuma gara-gara diwajibin aja gue ikut, kalo nggak mah gue mending pulang,” kata Indah.   Haura menghela nafas.   "Kita itu sekolah udah capek, Ra. Pulang jam 3 sore, ikut eskul pulang jam 5, ya ampun hidup gue gak ada istirahatnya kalo gitu. Mending di rumah nonton drakor,” kata Indah.   "Bilang aja lo males." cibir Haura.   "Itu bahasa simpelnya sih sebenernya, kalo yang gue jelasin tadi cuma anatomi." katanya Indah.   "Semerdeka lo aja, Ndah." jawab Haura.   Indah yang mendapati perkataan dari Haura hanya bisa tertawa lagi. Namun, dia sudah harus bersiap untuk pulang. Jadi, dia pun mengakhiri percakapan.   "Yaudah, sekarang gue mau meraih kemerdekaan gue dulu, bye, Haura!" kata Indah berpamitan.   Haura hanya bisa terkekeh lagi, "Sana dah salam buat kompeni. Tiati di jalan!" seru Haura.   Indah hanya mengatakan oke dengan menggunakan tangannya. Lalu Indah pun berlalu. Kini Haura pun memutuskan untuk segera ke Masjid mumpung jalanan masih ramai dan bila ia bertemu dengan Richo masih bisa menghindar.   Ntah mengapa setiap mengingat nama Richo keceriaan Haura seakan direnggut secara otomatis. Senyuman Haura kini menjadi pudar kembali.   Haura pun keluar dari kelasnya dan tak sengaja dia pun melihat Albie yang tengah berjalan mendahuluinya, Haura yang sangat mengenal laki-laki yang mendahuluinya langsung tersenyum, dia merasa kalau dunia tengah berpihak kepada dirinya.   Haura menyejajarkan langkahnya dengan Albie, Albie yang mulai menyadari kalau ada seseorang yang berjalan di sampingnya pun langsung menoleh. Haura pun tersenyum pada Albie dengan senyuman yang sangat manis.   "Hai, Kak." Sapa Haura dengan ramah.   "Kamu ngikutin saya?" tanya Albie.   Haura tersneyum. kini Albie tidak menggunkan Gue-Lo lagi kepada dirinya. kini dia memakai Kamu-Saya, sesuatu yang memang Haura sering dengar dari Albie untuk teman-temannya, namun terasa sangat berbeda di telinganya.   Senyum Haura terus merekah. Albie langsung mengalihkan pandangannay ke arah lain.   "Nggak ko, aku nggak ngikutin kaka. Akukan mau ke Masjid ikut rohis biar kakak nggak perlu cariin saya lagi,” kata Haura.   "Kapan saya cariin kamu?" tanya Albie.   "Tadi, di kantin,” kata Haura sambil nyengir lebar.   Haura terus memandangi Albie dari samping dan itu membuat Albie merasa tidak nyaman dengan Haura. "Kalau jalan itu lurus ke depan,” kata Albie sambil terus berjalan.   "Pemandangan sekarang lebih bagus." jawab Haura sambil nyengir lebar.   Albie tidak berani untuk menatap Haura. Sedangkan, Haura tidak melepaskan pandangannya dari Albie meski kakinya terus berjalan.   "Hati-hati tembok,” kata Albie.   BUG!   Terlambat.   "Aduh!" ringis Haura karena keningnya berciuman dengan tembok. Haura pun mundur selangkah, dia bukanlah bola yang akan terpantul dari tembok, jadi dia harus mundur untuk mengambil jarak.   Haura meringis dan memegangi dahinya yang terkena tembok.   "Kan udah saya bilang,” kata Albie sambil mengangkat sudut bibirnya tipis.   "Kan telat, kenapa nggak dialingin pake tangan kaka sih?" tanya Haura.   "Buat dijadikan pelajaran,” kata Albie.   "Ini bukan pelajaran tau!" protes Haura.   "Itu pelajaran, biar lain kali liatnya ke depan kalau jalan,” kata Albie.   Albie langsung berjalan mendahului Haura. Haura hanya bisa meringis melihat sifat Albie, "Ish, ish, ish ... kelakuan ketua rohis jahat sekali."   "Saya masih dengar,” kata Albie.   "Tapi nggakpapa deh yang penting aku suka." jawab Haura setengah berteriak.   Albie hanya bisa menggelengkan kepalanya, tak mau menoleh ke arah Haura sekalipun.   "Kak Albie tungguuu!" seru Haura sambil berlari menyejajari Albie lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD