MCKR 7 – Sebuah Upaya

2243 Words
Semalaman Haura tidak bisa tidur, bibirnya pucat dan suhu tubuhnya tinggi. Dia pun memilih bergelut dengan selimut di dalam kamar. Bayangan-bayangan akan masa lalu kembali menyeruak dia dia merasa tidak yakin apakah dia bisa melewatinya atau tidak.   “Nak, kamu sakit?” tanya Ibunya Haura yang masuk ke dalam kamar.   Haura tidak bisa menjawab sebab bibirnya kelu dan kerongkongannya terasa seperti tercekat. Haura terus memejamkan mata, peluh mulai membanjir di tubuhnya.   Ibunya Haura pun langsung memegangi dahi Haura dan memastikan keadaan anaknya, dan betapa terkejutnya beliau ketika merasakan tubuh Haura yang sangat panass, Haura sedang sakit. Lalu beliau pun memanggil suaminya, “Pa, Pa!” seru Ibunya Haura.   Ayah Haura pun berjalan mendekat dan dia pun langsung mendpati keadaan putrinya yang terbaring lemah di atas tempat tidurnya. “Kenapa, Ma? Haura kenapa?” tanya Ayahnya Haura.   “Kita harus telpon dokter, Pa. Anak kita sakit, tubuhnya panas!” Ibunya Haura mulai panik.   “Papa akan telepon dokter,” kata Ayahnya Haura. Beliau langsung menghubungi salah satu dokter yang sudah menjadi kerabatnya dan meminta kepada dokter tersebut untuk datang dan mengecek keadaan anaknya.   Tak lama kemudian, dokter pun datang dan langsung memerika keadaan Haura. Setelah selesai memeriksa, dokter tersebut pun langsung memberikan sebuah resep yang harus ditebus oleh ayah Haura.   “Sebenarnya anakku sakit apa?” tanya Ayahnya Haura.   “Anakmu hanya perlu istirahat. Apa dia kehujanan tadi?” tanya dokter tersebut.   Ayah Haura langsung menoleh ke arah istrinya. Ibunya Haura pun mengangguk membenarkan kalau Haura kehujanan.   “Iya, Haura memang kehujanan, Pa,” kata Ibunya Haura.   Ayahnya Haura pun menganggukkan kepalanya.   “Selain karena sakit, sepertinya ada masalah di sekolahnya,” kata dokter tersebut.   “Masalah bagaimana, Dok?” tanya Ayahnya Haura dengan tingkat kekhawatiran yang sudah mencapai puncaknya.   “Ntahlah, saya belum mengetahuinya karena belum berdialog dengan anakmu,” kata Dokter tersebut.   Ayahnya Haura mengangguk dan memandang putrinya yang ini tengah tertidur di atas tempat tidurnya. Beliau akan berbicara pada anaknya kalau anaknya sudah sembuh.   ***   Beberapa hari kemudian, Haura kembali masuk ke sekolah. Awalnya dia sempat ragu apakah dia bisa masuk ke sekolahnya lagi atau tidak, sebab perasaan takut itu masih menyeruak keluar begitu saja. Namun, dia kembali membulatkan tekad.   Orang tuanya sudah menanyakan tentang apa yang terjadi dan dia sudah mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Dia tentu tidak mau membuat orang tuanya kecewa. Dia tidak mau kalau sampai itu terjadi.   Haura mengatakan kalau dia hanya kehujanan dan membutuhkan sedikit penyesuaian di sekolah. Haura tidak bohong sebenarnya, sebab, dia memang membutuhkan waktu untuk bisa bertemu dengan Richo dan menyesuaikan diri dengan pertemuan-pertemuan yang pastinya akan semakin tidak bisa dia hindari.   “Aku siap.” Gumamnya.   “Iya, Sayang?” tanya ayahnya Haura.   “Eh, nggak papa, Papa,” kata Haura sambil nyengir lebar.   Ayah Haura mengusap kepala anaknya, “Nggak usah belajar terlalu rajin kalau itu susah. Mama dan Papa nggak nuntut kamu untuk mendapatkan nilai sempurna. Lakukan aja apa yang menurut kamu nyaman,” kata Ayahnya Haura.   “Papa itu lucu ya? Sepertinya cuma papa yang tidak menuntut anaknya untuk dapat nilai tinggi,” kata Haura.   Ayahnya Haura terkekeh, “Nilai di kertas itu nggak terlalu penting. Kalau kamu dapat nilai tinggi tapi kamu terbebani untuk apa? Cuma bikin pusing,” kata Haura.   “Okelah, Papa,” kata Haura.   Haura pun menyodorkan tangannya hendak salim dengan ayahnya. Lalu, ayahnya pun memberikan tangannya dan Haura buru-buru mencium punggung ayahnya, “Aku sekolah dulu ya, Pa. Assalamualaikum,” kata Haura.   “Waalaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh.” Ayahnya Haura menjawab salam.   Haura pun langsung berjalan menuju gerbang sekolahnya dan langsung masuk ke dalam gerbang. Dia tidak mau kalau ayahnya berlama-lama ada di depan sekolahnya karena takut ayahnya bertemu dengan Richo. Ntah apa yang terjadi jika hal tersebut terjadi.   Dia tidak mau kalau ayahnya merasa bersalah dan kembali membawanya pindah ntah ke mana. Dia tidak mau terlalu banyak merepotkan orang tuanya.   “Haura!” seru Indah yang melihat Haura berjalan.   “Eh, Ndah,” kata Haura.   “Udah sembuh?” tanya Indah.   “Udah nih,” kata Haura sambil mengangkat bahunya mengisyaratkan kalau tubuhnya sudah bugar.   “Maaf ya, gue nggak bisa ke rumah lo. Abis lo sih nggak mau kasih alamat rumah lo ke gue,” kata Indah.   Haura terkekeh. Haura memang sengaja tidak memberikan alamatnya kepada Indah atau teman-temannya yang lain, karena dia memang takut kalau sampai alamatnya itu sampai ke telinga Richo dan Richo mengetahui keberadaan rumahnya. Dia tidak mau kalau hal itu sampai terjadi.   “Iya, nggak papa. Abis gue itu gak mau ngerepotin kalian. Masa gue anak baru, baru pindah beberapa hari udah bikin kalian nengokin gue, kan gak lucu,” kata Haura.   “Ya nggakpapa sih sebenernya,” kata Indah.   “Nggak ah, nggak enak gue,” kata Haura.   “Yaudah, yang penting sekarang lo udah sembuh, sekarang ke kelas yuk!” kata Indah.   “Ayo!” kata Haura.   Saat Haura tengah berjalan bersama dengan Indah, dia pun melihat Albie yang tengah mengobrol dengan temannya. Haura pun langsung tersenyum, jantungnya berdegup dengan cepat, dan dia kembali terpesona pada wajah tampannya itu.   Indah yang menyadari tatapan Haura kepada Albie langsung terkekeh, “Gue bingung sama semua orang,” kata Indah tiba-tiba.   “Eh, kenapa?” tanya Haura.   Haura langsung salah tingkah dan menatap Indah dengan malu-malu. Melihat temannya salah tingkah membuat Indah terkekeh.   “Iya itu, Bang Albie. Lo pasti suka sama Bang Albie kan? Wajar kok. Emang banyak yang suka sama dia selain gue,” kata Indah.   Haura menganggukkan kepalanya. Jika melihat dari bagaimana wajah Albie, Haura tentulah paham kalau Albie memanglah tipikal cowok popular di kalangan gadis-gadis sebab wajhnya memang tampan, bahkan sangat tampan.   “Kenapa lo gak suka sama Kak Albie?” tanya Haura.   Semua orang memang memanggil Albie dengan menggunakan sebutan ‘Bang’ namun Haura tidak peduli karena dia lebih suka memanggil ‘Kak’.   “Ya, gue nggak suka aja karena dia terlalu alim, terlalu popoler, dan terlalu sempurna sebagai cowok. Gue nggak suka sesuatu yang terlalu sempurna. Gue nggak mau mengejar kesempurnaan karena gue sadar diri,” kata Indah.   Mendengar hal tersebut membuat Haura terkekeh geli. Dia benar-benar berpikir kalau Indah adalah perempuan yang sangat aneh. Sebab, teorinya tersebut terlihat sangat lucu.   “Iyad eh, iya … ayo kita ke kelas lagi. Gue mau cari kesempurnaan,” kata Haura.   “Sialan lo,” kata Indah. “Eh, maaf,” katanya yang kelepasan bicara tidak sopan.   “Nggakpapa kali. Santai aja, gue nggak terlalu kaku kok,” kata Haura.   “Bagus deh kalau gitu,” kata Indah sambil terkekeh.   Haura dan Indah pun langsung berjalan masuk ke kelas mereka.   ***   Jam istirahat pun datang. Dia tidak mau kalau sampai dirinya berada di kelas saat jam istirahat berlangsung. Sebab, dia merasa takut kalau ketika Indah tidak ada, Richo akan menghampirinya dan melakukan hal yang tidak-tidak. “Ra, lo mau di kelas lagi apa ikut gue ke kantin?” tanya Indah.   “Gue ikut sama lo aja, Ndah. Males juga di kelas sendirian.” jawab Haura.   Indah pun menganggukkan kepalanya. Lalu mereka pun berjalan menuju kantin. Namun, sesampainya di kantin mereka tidak menemukan tempat untuk duduk. Semua tempat duduk penuh sebab mereka sedikit terlambat datang ke kantin.   Alasan mereka sedikit lama sampai di kantin sebetulnya karena Indah yang lupa meletakkan uang sakunya. Ternyata uangnya ada di tasnya.   “Yah, gimana dong? Kayaknya penuh semua.” tanya Indah.   “Duh, gue nggak tau, Ndah,” kata Haura.   Indah dan Haura pun menyisir seluruh kantin untuk mencari tahu di mana tempat yang bisa mereka duduki. Akhirnya, Haura pun menangkap Albie yang tengah duduk sendirian. Senyum Haura pun langsung merekah.   “Di sana aja, di samping Kak Albie,” kata Haura dengan senang hati.   “Eh, nggak ah, malu, Ndah. Lagian dia orangnya dingin banget,” kata Indah.   “Udah lo nggak usah khawatir, lo bisa serahin semuanya sama gue,” kata Haura.   Kalau seperti ini, rasanya yang anak baru adalah Indah bukan Haura. Haura terkekeh dalam hati mengingatnya.   “Lo nggak bermaksud buat ngejar dia kan, Ra? Gak biat buat gebet kan?” tanya Indah.   “Enggak kok tenang aja. Gue cuma mau ngejar kesempurnaan,” kata Haura yang mengikuti kata-kata Indah sebelumnya.   Indah pun berdecak, “Ck, terus aja terus …” katanya.   Haura hanya bisa terkekeh dan berjalan. Lalu mereka berdua pun berjalan menuju Albie yang tengah menikmati nasi goreng di piringnya. Semakin mendekati Albie, semakin jantung Haura berdegub dengan sangat kencang.   “Hai, Kak Albie.” sapa Haura.   Albie yang tengah menatap nasi gorengnya langsung mendongak, lalu dia pun langsung mengedarkan pandangannya ke arah lain, mengabaikan senyuman manis yang tersungging di bibir Haura.   Indah sedikit menarik-marik seragam Haura dan mengajaknya untuk pergi karena mereka tidak mendapatkan sambutan seperti yang ada di kepalanya.   “Kita nggak dakat bangku, Kak. Boleh kan kalau kita duduk di sini?” tanya Haura.   Albie pun mengangguk, “Duduk aja,” katanya.   “Makasih,” kata Haura.   Haura pun tersenyum kepada Indah. Indah terkejut mendengar respons dari Haura. Selanjutnya, mereka pun langsung duduk, lalu Ndahtri berinisiatif untuk membelikan makanan. “Ra, gue aja yang beliin makanan,” katanya karena dia menganggap kalau Haura sudah menemukan tempat duduk untuk mereka berdua sehingga dialah yang bagian memesan makanan.   “Oke, Ndah. Gue nasi goreng sama es teh manis ya?” kata Haura sambil mengati Albie.   Albie sebenarnya merasa kalau Haura tengah mengikuti menu yang sama seperti dirinya namun dirinya tidak berniat ntuk mengatakan apapun.   “Ke mana aja?” tanya Albie.   Haura terperangah mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Albie. Dia tidak menyangka kalau Akbie akan menanyakan dirinya. Haura pun tersenyum, “Kakak nyariin aku?” tanya Haura.   Mulai sata ini Haura ingin menggunakan kata ‘aku’ ‘kamu’ agar bisa lebih akrab dan romantic. Padahal, mereka tidak jadian. Haura juga tidak sadar kalau laki-laki yang dikejarnya tidak akan mungkin mau diajak pacaran oleh dirinya.   “Enggak.” jawab Albie.   “Trus kenapa tadi nanya?” tanya Haura.   “Ada aturan kalau tiga kali anak rohis absen gak dateng ekskul tanpa keterangan, mau gue keluarin,” kata Albie.   Haura tersenyum lagi.   “Loh, lo anak rohis, Ra?” tanya Indah yang tiba-tiba sudah ada di sana dengan dua stirofoam yang berisi nasi goreng dan minumnya. Dia sengaja tidak menggunakan piring karena susah membawanya.   “Eh, iya, Ndah,” jawab Haura.   “Kok lo nggak bilang sama gue?” kata Indah.   “Lupa,” kata Haura sambil nyengir lebar.   Haura menatap Albie yang seakan sudah selesai dengan makanannya. Albie bahkan hendak berdiri. Haura yang mengetahui kalau dirinya akan kehilangan Albie langsung menahan tangan Albie. Indah pun melotot melihat keberanian Haura.   “Tunggu, Kak. Aku belum jelasin kenapa aku gak ikut ekskul kemarin,” kata Haura.   Albie menatap tangan Haura dan Haura langsung melepaskan tangannya karena dia tahu kalau Albie tidak menyukainya, “Maaf,” katanya.   "Maaf ya, Kak. Kemarin aku nggak ikut ekskul, karena kemarin aku sakit." kata Haura.   Albie menganggukkan kepalanya, dan hendak pergi lagi namun, Haura kembali menahan tangan Albie. Untungnya pegangan Albie pada piring yang ada di tangannya kuat sehingga meski Haura menahan tangannya piring itu tidak jatuh.   Indah yang melihat Haura sampai menahan tangan Albie kembali langsung tersedak.   Sebenarnya, Albie bisa saja meninggalkan piring itu di atas meja, toh semua siswa melakukan hal serupa namun Albie merasa tidak sopan sehingga dia lebih memilih mengembalikan kepada pemiliknya. Dan dia juga tidak mau menggunakan sterofom karena bebrapa hal.   Albie melepaskan tangan Haura.   "Pertanyaanku belum di jawab, Kak." kata Haura.   Padahal, jelas-jelas Haura melihat kalau kakak kelasnya itu sampai menggelengkan kepalanya. Namun, dia ingin mendengar Albie berbicara. Itulah sebabnya dia mengatakan hal serupa.   "Iya, nggak papa." katanya.   Haura pun tersenyum lebar mendengar jawaban Albie. Albie yang melihat hal tersebut langsung mengedarkan pandangannya ke arah lain, "Lain kali, jangan sentuh-sentuh gue." katanya.   Albie pun kali ini benar-benar pergi, Haura tidak lagi menahan tangan Albie. mendengar sesuatu yang keluar dari mulut albie memang benar-benar sesuatu yang membahagiakan bagi Haura, "Ya Allah, ngomong kayak gitu aja perut gue kayak ada kupu-kupunya." kata Haura sambil terkekeh.   "Anjir, gue sampe keselek." kata Indah.   "Itu namanya tersedak." kata Haura meralat.   "Itu sama aja lagi." kata Indah tak mau kalah.   "Emang iya?" tanya Haura.   "Cek aja kata keselak di KBBI, paling yang keluar tersedak." jawab Indah.   Haura hanya terkekeh geli setelah mendapatkan keterangan dari Indah. Selanjutnya dia kembali menikmati makananannya dengan bayang-bayang Albie di kepalanya.   "Lo serius mau gebet dia?" tanya Indah lagi.   Ntah mengapa Indah seakan tidka yakin dengan apa yang dikatakan oleh Haura.   "Emang kenapa?" tanya Haura.   "Lo udah siap patah hati?" tanya Indah.   "Maksudnya?" tanya Haura.   "Hahaha, ada dua hal yang harus lo siapin. pertama tempat buat rasa sakit hati, dan kedua juga sama." kata Indah.   "Nggak bisa ya langsung masuk ke intinya?" tanya Haura.   Indah terkekeh. "Oke-oke. Pertama dia itu gak akan pacaran. Dia anak yang taat. Lo bisa liat kan segimana alimnya dia?" tanya Indah.   "Ah, belum tentu. Kita itu masih remaja, Ndah. Masa iya ada yang sampe taat-taat banget?" tanya Haura.   "Ya ada ... itu buktinya, cowok yang tadi ada di hadapan lo. Yang lo modusin." kata Indah.   Haura nyengir lagi.   "Trus yang kedua?" tanya Haura.   "Setau gue dia lagi jadi inceran juga." Kata Indah.   "Bukannya lo yang bilang kalau dia itu emang anak inceran? Secara dia kan ganteng, Ndah." kata Haura.   "Kalo ini rada berpotensi,” Indah mencoba memancing api penasaran dari dalam diri Haura.   "Siapa emang?" tanya Haura yang langsung terpancing.   "Lo mau tau banget atau mau tau banget?" goda Indah sambil terkekeh.   "Indah ... please deh." Haura mulai kesal.   "Hahahaha iya ... Kak Samantha." Indah tertawa. Namun, tidak dengan Haura.   DEG!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD