MCKR 9 – Berkenalan dengan Sarah

2169 Words
Di pertigaan Masjid, Albie menghentikan langkahnya karena dia merasa kalau Haura memang mengikutinya. Pertigaan itu adalah jalan penentuan tempat masuk laki-laki dan perempuan. Albie pun menoleh, Haura hanya bisa tersenyum pada Albie hingga Albie langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.   “Jalanmu ke sana,” kata Albie sambil menunjuk jalan menggunakan dagunya.   “Eh? Hehehe oiya,” kata Haura. “Sampai jumpa di dalam Kak Albie.” lanjut Haura.   Albie hanya bisa mengelengkan kepalanya dan berjalan menuju Masjid meninggalkan Haura sendirian. Haura pun masih senang memandangi punggung Albie yang kian menjauh.   “Haura!” panggil seseorang.   Senyuman Haura seketika lenyap. Dia pun langsung berlari mengejar Albie. Dia tidak mau kalau sampai Richo mendekat.   “Kak Albie!” seru Haura.   Biarlah dia mengatakan sesuatu yang tak masuk akal nantinya. Yang jelas, Haura ingin selamat dari Richo. Dia tidak mau kalau Richo sampai mendekatinya.   “Kenapa?” tanya Albie.   “Itu, ada yang mau aku tanyain,” kata Haura.   “Apa?” tanya Albie.   Haura terdiam sebentar, dia langsung memacu kepalanya agar bisa menghasilkan satu pertanyaan yang masuk akal.   “A-agenda kita apa kak hari ini? Maksudku, kita mau ngapain aja dan apa yang perlu aku siapin?” tanya Haura.   “Baca Alquran, kerudung,” jawab Albie.   “Oh, begitu, oke, Kak,” kata Haura.   Albie pun berjalan masuk ke Masjid, Haura pun mengekori Albie. Albir lagi-lagi menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Haura dan memberikan sebuah tatapan, “Ada apa lagi?” kepada Haura melalui matanya.   “Ini, Kak. Jauh banget kalau mau muter, aku mau lewat sini aja,” kata Haura sambil nyengir lebar.   Albie hanya bisa menghela nafas. Melihat hal terebut, Haura langsung terkekeh dan langsung masuk, “Duluan, Kak Albie,” katanya.   Setelah masuk ke dalam Masjid, Haura pun langsung ke arena perempuan, di sana sudah ada Samantha yang tengah mengobrol dengan teman-temannya. Dia hendak menghampiri Samantha namun seseorang menghampirinya, “Haura udah ambil air wudu?” tanya gadis yang menghampirinya.   Haura menoleh ke name tag yang terpasang di kerudung gadis tersebut, namanya Sarah Muthia.   “Eh, belum,” kata Haura.   “Bareng aku yuk, aku juga belum ambil wudu,” kata Sarah.   “Eh, ayo …” kata Haura. “Bentar ya taro tas dulu,” kata Haura.   Sarah pun menganggukkan kepalanya. Lalu Haura meletakkan tasnya dan kembali kepada Sarah. Lalu mereka berdua pun berjalan ke tempat wudu. Kalau boleh mengakui, sebenarnya sebelum dia masuk ke sekolah yang baru, Haura memang jarang salat. Salat hanya ketika dia ingat dan mau saja.   Kedua orang tua Haura tidak pernah memaksa-maksa Haura untuk melakukan ibadah. Baik mengaji maupun salat karena mereka sibuk bekerja, terutama ayahnya. Ibunya yang hanya di rumah pun tak jauh berbeda.   Kini, Haura mulai rajin salat setidaknya dua waktu salat di sekolah, yakni Zuhur dan Asar, dirinya tidak pernah bolong selama dia datang ke sekolah. Untuk Salat Zuhur memang sekolahnya memiliki aturan bahwa bagi yang muslim diwajibkan untuk salat berjamaah di Masjid, kecuali perempuan pada hari Jumat, karena Masjid dipakai untuk melaksanakan salat Jumat.   Seusai mengambil air wudu, Haura menoleh kepada Sarah, kawan barunya yang dia sendiri tidak tahu apakah Sarah masih setingkat dengan dirinya atau justru diatasnya, namun jika Haura perhatikan dari bagaimana baju Sarah yang terlihat sangat baru, sepertinya Sarah sama seperti dirinya, sama-sama baru masuk, masih kelas sepuluh.   Sarah tengah memandangi tembok keran di hadapannya. Haura pun langsung mengedarkan pandangannya ke arah pandangan Sarah.   Dia lagi ngapain? -batin Haura.   “Ngapain, Sar?” tanya Haura.   “Ini, jujur aku nggak afal doa setelah wudu jadi aku sekalian hafalin,” kata Sarah.   Jujur banget. -batin Haura.   Haura hanya bisa menganggukkan kepalanya. Lalu dia pun ikut melihat bacaan yang ada di depannya. Di depannya juga ada tatacara berwudu lengkap dengan doa-doanya. Tuntunan itu sebenarnya sudah adal lama di sana namun ntah mengapa Haura baru menyadarinya.   “Ayo?” kata Sarah.   Haura mengangguk.   Saat mereka berjalan, suara adzan pun berkumandang. Suaranya sangat bagus, Haura memang terkadang suka penasaran dengan orang yang mengumandangkan azan. Lalu, saat berjalan dia pun menoleh ke arah mimbar Masjid.   Dan di sana dia melihat seorang laki-laki yang membelakanginya dan tengah mengumandangkan azan.   Tuh cowok hebat banget. Ya Allah, kalau boleh sisain satu buat aku yang kayak begitu ya Allah. -batin Haura.   Haura pun duduk di samping Sarah. Setelah azan selesai dikumandangkan, Haura menoleh ke arah Sarah yang tengah berdoa, doa yang menurut Haura sangat lama. Saat Sarah sudah selesai, dia menoleh kea rah Haura. Haura pun buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain.   “Kamu pasti ngerasa aneh ya sama aku?” tanya Sarah.   “Eh? Enggak kok,” jawab Haura berbohong.   “Aku seorang mualaf, baru masuk islam sehari sebelum masuk ke sekolah ini. Jadi aku masih butuh banyak belajar. Makanya aku masuk rohis dan makanya juga aku masih harus mengingat-ingat hafalanku. Jadi, ya gitu deh aku suka lama kalau berdoa,” kata Sarah berbisik sambil terkekeh.   DEG!   Haura merasa seperti ada yang mecubit hatinya. Dia tidak pernah menyangka kalau Sarah adalah sorang mualaf. Dan hal yang lebih mencubit lainnya adalah Sarah jauh lebih mau belajar ketimbang dia yang sudah Islam dari lahir.   Hebat banget dia, niat belajarnya perlu diacungin jempol. Gue jadi malu sama diri gue sendiri. Kenapa gue nggak bisa kayak dia ya? Dia mualaf, istilahnya masih baru banget tapi dia semangat banget belajar Islam, sedangkan gue? Islam dari lahir tapi ya begini aja. -batin Haura.   Haura diam-diam merasa minder dengan Sarah. Namun, dia merasa bingung harus berbuat apa, sehingga dia memilih untuk diam saja. Selanjutnya, mereka pun salat berjamaah. Setelah mendengar apa yang diceritakan oleh Sarah, ntah mengapa salat Haura kali ini terasa sangat khusyuk dari biasanya. Haura merasakan itu.   “Ra … kamu bawa kerudungkan?” tanya Samantha yang tiba-tiba datang menghampiri Haura setelah salat selesai dan berdoa.   “Bawa,” jawab Haura singkat.   Haura tentu saja membawanya. Sebab, tanpa diketahui siapapun, kerudung pemberian dari Albie memang tidak pernah dia keluarkan dari tasnya. Sehingga Haura masih membawanya. Smantha pun menganggukkan kepalanya.   Haura pun langsung mengeluarkan kerudungnya, seketika dia pun bingung, dia hanya bisa melilit kerudungnya saja namun jika dia perhatikan, tampilannya terlihat sangat kontras dengan anggota rohis yang lain. Semuanya menggunakan kerudung yang menutupi sampai di bawah d**a, sedangkan dirinya, hanya melilit kerudungnya saja seperti Marsha (tokoh di serial kartun). Setidaknya seperti itulah tampilan Haura sampai saat ini.   “Ra, kamu nggak bawa jarum pentul atau peniti?” tanya Sarah.   “Enggak. Buat apa?” tanya Haura.   “Ya buat ini kerudug kamu,” kata Sarah.   “Udah, aku pake kayak gini aja nggakpapa,” kata Haura.   “Nih, aku ada jarum,” kata Samantha yang langsung memberikan langsung memberikan jarum pentul kepada Haura.   “Nggak usah, gue juga nggak ngerti cara makenya nanti ketusuk,” kata Haura.   “Sini, aku bantuin,” kata Sarah.   Haura pun menggelengkan kepalanya. Jujur dia merasa malu karena dia harus dibantu oleh Sarah. Seharusnya dialah yang membantu Sarah bukan sebaliknya.   “Nggak usah.” Jawab Haura.   “Ama aku aja, Ra. Ayo, sebentar lagi mau dimulai loh,” kata Samantha.   Haura pun pasrah. Akhirnya dia memberikan kerudungnya kepada Samantha.   Sebetulnya, hari ini adalah hari Jum’at, artinya bagi siswi muslim diwajibkan untuk memakai kerudung, namun Haura tidak taat aturan sehingga dia pun tidak menggunakan kerudung. Dia bahkan tidak membawa kerudung seragam dari sekolah, dia hanya membawa kerudung dari Albie saja.   Haura cukup beruntung sebenarnya karena dia tidak kena tegur oleh guru BK-nya meski beberapa kakak kelasnya memandangnya dengan pandangan berbeda, pandangan tidak suka. Mata Haura masih jeli saat mengamati hal tersebut.   “Tia-ti, gue nggak mau sampe ketusuk,” kata Haura.   “Iya … ini hati-hati kok,” kata Samantha.   Setelah selesai dipakaikan kerudung oleh Samantha, Haura pun langsung berdiri dan berjalan ke arah lemari yang ada cerminnya, di sana dia pun mengamati dirinya sendiri.   Aneh banget gak si gue? -batin Haura.   Lalu karena dia merasa kalau ternyata Samantha memang memakaikan kerudung dirinya dengan benar tidak seperti dugaannya yang akan tidak rapih, akhirnya Haura kembali lagi ke samping Sarah dan Samantha setelah memasukkan mukenanya ke dalam lemari. Dia memang menggunakan mukena Masjid, tidak seperti teman-temannya yang kebanyakan membawa dari rumah.   Haura belum terbiasa.   Lalu, aktivitas pun di mulai, ustaz yang akan mengajari mereka mengaji adalah seorang ustaz yang memang didatangkan oleh Pembina Rohis langsung. Ustaz tersebut juga merupakan alumni dari sekolahnya.   Satu persatu mereka pun membaca Alquran dan dikoreksi sambil dijelasakan hukum tajwidnya. Seketika Haura merasa minder saat melihat bagaimana teman-temannya bisa membaca Al-Quran dengan baik.   Duh, gue malu. -batin Haura.   Kini giliran Haura, tangannya gemetar namun dia tetap membaca bagiannya sebisanya dan alakadarnya. Dan dia pun mulai tidak bisa konsentrasi karena waktu yang dibutuhkan saat mengoreksi bacaannya jauh lebih lama dari teman-temannya yang lain.   Setelahya kini giliran Sarah, namun Sarah dengan jujur mengatakan bahwa dia masih iqra dan belum bisa membaca Al-Quran. Dia bahkan masih iqra satu. Ustaz yang disebut Bang Ali itu pun langsung mengatakan bahwa Sarah akan diajarkan terakhir.   Bang Ali sangat baik.   Setelah selesai kegiatan, kegiatan pun ditutup dan semua orang pun boleh pulang, satu persatu teman Haura pun pulang.   “Ra, kamu pulangnya ke mana?” tanya Sarah.   “Ke rumah.” Jawab Haura yang tidak konsentrasi karena dia masih fokus pada Albie yang tengah mengobrol dengan Bang Ali yang hendak pergi.   “Hahahaha kamu lucu banget sih, Ra. Maksudku kamu pulangnya ke arah mana, siapa tau bisa bareng aku,” kata Sarah.   “Oh, ngga usah, makasih ya. Kamu duluan aja,” kata Haura.   “Oh yaudah, kalo gitu aku duluan ya?” kata Sarah.   “Iya, tiati di jalan,” kata Haura.   Sarah mengangguk dan menyodorkan tangan, Haura yang bingung pun mengambil tangan itu dan menjabatnya, lalu Sarah tersenyum dan menempelkan pipinya ke pipi kanan dan kiri Haura. Haura diam saja karena bingung dan terkejut. “Assalamualaikum.” salam Sarah.   “Waalaikumsalam,” jawab Haura.   Sarah pun pulang. Sedangkan Haura masih pura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal dia tengah memantau Albie. Dia bertekad untuk bisa naik motor bersama dengan Albie. Dengan begitu dia merasa lebih aman dan merasa bisa lebih dekat dengan Albie.   Tak lama kemudian, Samantha menghampiri Haura, sama seperti Sarah, Samantha juga mengajak pulang bersama.   “Ra, mau pulang bareng?” tanya Samantha.   “Lo duluan aja,” kata Haura.   Samantha pun mengangguk, lalu dia juga menyodorkan tangannya, kali ini Haura hanya menatap tangan Samantha, “Udah lo pulang aja,” kata Haura.   Samantha pun menarik tangannya lagi, dia tidak bisa memaksa Haura untuk mengambil tangannya dan menjabat tangannya seperti apa yang dilakukan Sarah sebelumnya, dia pun sadar dengan apa yang pernah dia lakukan pada Haura jadi dia menganggap perlakuan Haura kepadanya sebagai sesuatu yang memang sudah sepantasnya dia dapatkan.   “Aku pulang ya, Assalamualaikum,” salam Samantha.   “Waalaikumsalam,” jawab Haura.   Setelahnya, Samantha pun pulang. Lalu beberapa anggota rohis yang lain juga ikut pulang bersama Samantha dan mereka juga berpamitan kepada Haura. Semua anggota menerima Haura dengan sangat baik.   Tak lama kemudian, Haura pun kembali fokus pada ponselnya, dia sudah meminta kepada supirnya untuk tidak menjemput dirinya. Dia berkata kalau dia akan pulang sendiri. Kini Haura tangah bermain games. Sesuatu yang sangat dia sukai.   “Kamu nggak pulang?” tanya seseorang.   Tanpa menoleh, Haura pun sangat tahu siapa orang yang mengajak dia mengobrol saat ini. Dia pun mendongak sambil tersenyum, “Belum, kakak belum pulang?” Haura balik bertanya.   “Ini mau mau pulang. Sebentar lagi gerbang sekolah ditutup mending langsung pulang aja, takut ke kurung,” kata Albie.   Haura pun tersenyum dan langsung mengambil ranselnya dan berjalan menghampiri Albie, “Ayo, kak pulang,” kata Haura dengan semangat.   Haura menatap Haura dengan bingung namun seketika dia megalihkan pandanganny kea rah lain, “Duluan aja.” Jawab Albie.   “Nggak mau, kan kita teman, jadi sekalian aja,” kata Haura.   Albie pun tak menjawab, rasanya siap-sia saja jika dia mengatakan sesuatu kepada Haura. Sehingga, akhirnya Haura pun berjalan di sisi Albie.   “Kenapa kakak pulangnya lama?” tanya Haura.   “Memang kenapa?” tanya Albie.   “Ya kan teman-teman kakak udah pada pulang,” jawab Haura.   “Ada yang mesti saya cek sebelum pulang,” kata Albie.   “Apa?” tanya Haura.   “Takut ada yang tertinggal.” Jawab Albie.   “Tertinggal, maksudnya?” tanya Haura.   “Ya kayak kamu tadi. Mungkin kalau saya tidak samperin, kamu akan di Masjid sampai pintu gerbang sekolah kita ditutup.” jawab Albie.   “Apa aku harus senang sekarang, Kak?” tanya Haura.   Haura pun terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh Albie. Menurutnya, Albie sangatlah lucu.   Albie hanya mengangkat bahunya.   “Kak Albie, pulang ke arah mana?” tanya Haura.   Haura pun hendak melepaskan kerudungnya namun Albie yang melihat hal tersebut langsung mencoba mencegahnya, “Jangan dilepas,” kata Albie.   Haura menurunkan tangannya. Dia menoleh kepada Albie, “Emang kenapa kak?” tanya Haura.   “Bagusan kayak gitu.” jawab Albie.   Haura tersenyum lagi. Dia menganggap apa yang dikatakan oleh Albie sebagai sesuatu yang sangat menyenangkan, dia mengnggapnya pujian. Pujian yang sangat jarang didapatkan dari seseorang bernama Albie.   “Maksudnya cantikan kayak gini gitu kak?” tanya Huara.   Albie hanya bisa menghela nafas, bukan itu maksudnya. Haura pun terkekeh lagi, rasanya menyenangkan berada di sisi Albie.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD