20. That Man

1154 Kata
Aku tak akan menyangka bahwa aku akan merindukan pekerjaanku. Hari libur yang kuharapkan bisa menjadi hari istirahatku malah menjadi hari terburuk yang membuatku tak bisa berhenti memikirkan kejadian yang kualami hari ini. Ya Tuhan... bolehkah aku bertanya apa yang sedang terjadi padaku? Rasanya baru kemarin aku duduk di kelas Prof. Ansel dan menerima tugas darinya. Kemudian aku berinisiatif untuk mencari pekerjaan dan rasanya baru kemarin aku berada di hell kitchen sambil mengayunkan tangan kananku, menggosok wajan. Mengapa hanya dalam semalam, takdir mampu menjungkir balikkan kehidupanku. Membuatku berada dalam kecemasan di mana seluruh pikiranku terserap dan dipaksa hanya untuk memikirkan bagaimana caranya supaya aku bisa terlepas dari incaran Max Belanger. Drrttt. Aku tersentak oleh getaran yang timbul di samping wajahku. Segera kemudian aku menggerakkan tangan dan meraba-raba di sekitar bantal. Mengambil ponselku dari sana. Sedikit terkejut, mendapati ikon chatting dengan nama Kang Minho yang mendahului pembuka dari pesan tersebut. Hi, Dannys, how is your feeling? Ada debaran tak biasa di dalam dadaku ketika membaca pesan dari Kang Minho. Mungkin gadis batinku terlalu angkuh ketika merasa begitu senang telah diperhatikan oleh seorang Kang Minho. Tak menunggu lama baginya untuk memerintahkan jariku bergerak, membalas pesan yang dikirimkan oleh senior sekaligus idolaku. Sedikit lebih baik. Singkat saja. Tak ada embel-embel hal lain dan aku langsung mengirimkannya. Hanya selang beberapa detik saja, Kang Minho sudah kembali menjawab. Syukurlah. Bisakah kita bertemu? Mataku mendelik dan refleks tubuhku terangkat. Aku terduduk dengan jantung yang tiba-tiba saja berdetak meningkat. “Be—bertemu?” Dari sudut mataku, aku menangkap pergerakan wajah Yoshi yang kini terarah padaku. Ketika aku mendongak, aku mendapati sebuah tatapan menyelidik sekaligus waswas dari Yoshi. “Siapa?” Dan akhirnya Yoshi pun bertanya. “Ka—Kang Minho.” Kulihat Yoshi memejamkan matanya dan mengembuskan desahan napas panjang. Entah apa yang dia pikirkan, tetapi sepertinya yang dia pikirkan adalah apa yang aku pikirkan. Mungkin Yoshi berpikir kalau yang baru saja mengirimku pesan adalah Max Belanger. “Ya ampun! Kau membuatku takut, Dannys!” Terbukti. Dari ucapan Yoshi setelah ini. Dia kembali mendesah dan kali ini wajahnya terlihat lega. “Apa yang harus kulakukan?” Pertanyaanku membuat Yoshi mendelik. “Apanya?” “Ka—Kang Minho. Di—dia mengajaku bertemu.” Kulihat kerutan di dahi Yoshi saat kedua sisi alisnya berkedut dan melengkung ke tengah. “Ke—kenapa itu membuatmu ragu?” Yoshi mengerjap dan menggoyangkan kepalanya. “well, I mean, terima saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan karena hal itu, kan?” Aku pun mendesah. “Ya, kau benar, tapi....” “Justru itu bagus,” sergah Yoshi dan aku kembali mendelik memandangnya. “lebih cepat bertemu dengan Kang Minho, maka akan lebih cepat juga kamu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Maksudku, jika Kang Minho juga mencurigai Max, maka mungkin kau bisa mengutarakan keresahanmu lagi kepadanya dengan mengatakan apa yang baru saja kukatakan padamu.” Untuk sesaat aku terdiam dan mendadak kepalaku berkedut nyeri. Aku mendesah dan sesaat dadaku terasa sesak. “Ya, kau benar, Yosh.” “Ya sudah. Hubungi dia dan pergilah. Dan... jangan terlalu memikirkan hal ini, Dannys. I mean, jangan hanya fokus pada ancaman Max Belanger. Jika kau hanya fokus di sana, aku yakin kau tidak bisa berpikir jernih lagi dan mungkin itulah yang Max inginkan,” ujar Yoshi. Entah mengapa mendadak aku jadi tersadarkan. “Ya, kau benar,” jawabku sekali lagi. Apa yang dikatakan Yoshi seratus persen benar. Aku terlalu fokus pada ancaman Max sampai aku lupa bahwa yang sebenarnya harus kupikirkan adalah jalan keluarnya. Bahwa aku harus mencari sesuatu yang bisa membuatku terlepas dari semua teror Max. Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan sambil mengetikkan sesuatu di layar ponselku. Hanya selang beberapa detik, Kang Minho kembali membalasnya. Aku sudah berada di depan fratmu. “What?!” Aku mendongak. Sekali lagi mendapati tatapan terkejut dari Yoshi. “di—dia sudah berada di depan.” Sekali lagi Yoshi mendengkus. “Kalau begitu sebaiknya kau bergegas.” Sesaat aku terdiam seolah otakku sedang berusaha mencerna situasi. Lalu aku melompat dan langsung mempersiapkan diriku. “Sial! Aku bahkan belum mandi!” “Tak apa. Semprot saja pakai parfum.” “Ck!” Aku menjadi panik dan melesat ke kamar mandi. Secepat mungkin aku membasuh wajahku. Entah mengapa jantungku berdebar-debar dengan kencang dan tiba-tiba saja ucapan Stacy melintas di benakku. Minho akan mengajakmu kencan. Mataku mendelik. Aku pun mendongakkan wajah dan mendekat ke arah cermin. “Ya Tuhan....” Bergegas kubasuh wajahku. Oke. Waktuku hanya lima menit. Aku harus membuat kesan terbaik. Maka aku melesat secepat mungkin dari kamar mandi menuju ke dalam kamar. Kucari pakaian terbaik yang kumiliki. Well, hanya skinny jeans dan kemeja over size seperti biasanya. Setelah memakai pakaian aku langsung memakai parfum dan menyemprotkan cairannya ke tubuhku. “Kumohon, buatlah aku wangi.” “Cih!” Aku mendengar decihan halus itu keluar dari bibir Yoshi. Juga tatapan gelinya dan gelengan kepala. Bergegas aku ke meja rias dan memakai sesuatu untuk membuat wajahku terlihat seperti manusia. Semakin lama, jantungku malah semakin bertalu dengan kencang dan entah mengapa semua itu membuatku semakin panik. “Oke, oke. Ini hanya pertemuan biasa. Kau harus bersikap biasa,” gumamku. Aku mendengar cengiran Yoshi dan semua itu semakin menambah rasa gugup dalam diriku. “Hei, ayolah....” Kuhadapkan wajahku pada wanita yang terus meledekku dengan tatapannya. “Aku gugup, Yoshi! Dan sepertinya aku berlebihan.” “Tak ada yang berlebihan!” kata Yoshi dengan menekan ucapannya. Wanita itu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri aku. Dia menaruh satu tangannya di atas bahuku. “Kau pantas mendapatkannya, Dannys.” Mulutku terbuka dan aku mendesah lirih hingga kurasakan kedua sisi bahuku ikut merosot ke bawah. Hanya bisa mendesah. Itulah satu-satunya yang bisa kulakukan. “Pergilah dan hibur dirimu bersama Minho. Lupakan sejenak apa yang terjadi, tetapi pastikan kau mengatur strategi yang tepat.” Ucapan Yoshi lagi-lagi menggetarkan hatiku dan sekali lagi membuka pemikiranku bahwa aku tak boleh fokus pada masalah dan seharusnya aku mulai berfokus pada solusi mencari jalan keluar dari masalahku. Aku mendesah panjang dan kuanggukkan kepalaku. “Baiklah.” Yoshi ikut menganggukkan kepala. Dia menepuk bahuku beberapa kali. “Oke, sekarang temui Minho.” Yoshi mengedikkan kepala, menunjuk pintu kamar dan aku kembali menganggukkan kepala. Kuputar wajahku secara perlahan lalu mendesah lagi. Sekilas memandangi Yoshi sebelum kemudian aku memutar tubuh. “Kalau begitu aku pergi.” “Hem. Have fun, Dannys!” Aku mengulum bibir, membentuk senyum simpul dan menganggukkan kepala. “Hem.” Setelah menerima nasihat dari Yoshi, aku pun bergegas meninggalkan kamar asrama. Menuju ke bawah, aku mendapati sebuah mobil sedan mini yang sudah tak asing lagi di pandanganku. Mendadak hatiku berdebar panik. Wajahku terasa panas dan aku memilih untuk menundukkan kepala. Sial! Bersikap biasa saja, Dannys! Oke! Aku mendongak dan melepaskan napasku dalam desahan yang mengentak. “Hai!” Oh ya Tuhan. Baru saja kuingatkan diriku untuk bersikap biasa, tetapi setelah melihat senyum Kang Minho, sepertinya aku tak dapat lagi bersikap seperti biasa. Oh God....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN