“Ha—hai!”
Jantungku berdebar-debar dengan kencang saat kucoba menyapa lelaki yang tengah tersenyum di sampingku. Sesungguhnya, tak ada yang pernah tahu bagaimana detak jantungku saat ini. Berkali-kali pun aku mencoba mengingatkan diriku bahwa ini hanya jalan-jalan biasa, tetapi pikiranku tak bisa pergi dari kalimat-kalimat yang diucapkan Stacy tadi pagi.
“Are you okay?”
Pertanyaan itu membuatku mendelik. Kuputar wajahku ke samping, kemudian aku menemukan tatapan penuh kekhawatiran yang membuatku langsung mengerjapkan mata dan mengembuskan napas panjang.
“Y—ya,” Aku terkekeh untuk menutupi setitik rasa canggung dalam diriku. “ma—maaf membuatmu menunggu terlalu lama.”
Kudengar Kang Minho mendesah berat. “It’s okay, Dannys. Aku hanya menghawatirkanmu dan....” Kupikir aku tahu apa yang akan dikatakan Kang Minho sehingga membuatku mendongakkan wajah.
Dan yang terdengar selanjutnya hanyalah desahan napas panjang dan kasar. “Well, Dannys, sepanjang hari ini aku tak bisa berkonsentrasi selain memikirkan apa yang kau katakan tadi siang,” ujar Minho.
Aku diam sejenak, tetapi hatiku berkata bahwa mungkin inilah saat yang tepat untuk mengatakan apa yang sedang menjadi kegelisahanku. Mungkin aku harus sejenak menyingkirkan kenyataan bahwa tujuanku kemari untuk menghibur diri dan melupakan apa yang terjadi.
Namun, seketika aku menyadari bahwa seharusnya aku menyelesaikan masalahku lebih dahulu agar aku bisa kembali pada diriku yang semula.
“Oke!” Kang Minho kembali mendelik sewaktu mendengarkan ucapanku. “Kang Minho, sebenarnya ada yang ingin kukatakan padamu.”
Kang Minho memicingkan matanya, memandangku dengan tatapan menyelidik. “Ya, aku menunggumu,” ucap Minho.
“Well, aku berdiskusi dengan Yoshi sejak semalam. I mean, sepulangnya aku dari tempat kerja. I mean, setelah dikejar para preman itu. Dan... ya, tadi pun aku menceritakan apa yang kualami padanya. Well, dia yang bertanya lebih dulu padaku. Katanya kau memberitahu dia kalau aku pingsan. Aku pun menceritakan apa yang kualami padanya. Tentang....”
Aku terdiam sejenak dan menanti reaksi Kan Minho. Seketika wajahnya berbuah tegas, serta desahan napasnya yang berembus kasar.
“Well, Minho, aku bilang pada Yoshi kalau kau yang menjemput Max di bandara, tetapi Yoshi punya asumsi lain.” Mendengar ucapanku membuat Kang Minho mendelikkan matanya. Ia hanya diam dan aku yakin kalau dia sedang menunggu jawaban dariku.
“Katanya... kata Yoshi....” Mendadak jantungku berdetak penuh kewaspadaan. Sebagian diriku merasa tak tega mengatakannya pada Kang Minho, akan tetapi aku juga tak punya pilihan lain. Kang Minho harus tahu bahwa sepupunya adalah orang yang berhaya.
“Well, tunggu. Kang Minho, aku ingin bertanya apakah kau mengetahui jam kedatangan Max Belanger di bandara? I mean, kau melihat tiketnya?”
Kedua sisi alis Kang Minho berkedut lalu melengkung ke tengah dan membuat dahinya mengerut. Untuk beberapa detik, Kang Minho terdiam seolah-olah ia sedang terjebak dengan pikirannya sendiri dan aku tahu kalau dia sedang berpikir keras. Namun, tak lama kemudian Kang Minho lalu mendelik kaget.
“Dannys!” Dia memanggil namaku dengan nada mengentak.
Ini dia.
Sudah tidak salah lagi. Kang Minho pasti akan terkejut dan sekarang aku tak perlu lagi mencari-cari bukti untuk membenarkan diriku.
“Dannys, ck!”
Namun, sejurus kemudian akulah yang mengerutkan dahi ketika Kang Minho yang malah mendengkus dan memalingkan wajahnya.
“Maaf, bukannya aku ingin membenar-benarkan fakta, aku melihat kedatangan Maxi karena dia mengirim tiketnya padaku. Well, Dannys. Aku juga sudah bertanya pada Maxi dan semua ini semakin membuatku bingung. Maxi bersikeras mengatakan bahwa kaulah yang mengambil dompetnya dan di sini kau juga mengatakan bahwa kau melihat Maxi bersama gengster. Well, Dannys. Aku—“ Ucapan Kang Minho terhenti begitu saja. Mungkin karena dia melihat perubahan drastis di wajahku ketika aku memilih untuk memalingkan wajah dan melepaskan desahan napas panjang.
“Aku bersumpah kalau aku melihatnya. Tidak ada peristiwa di mana aku menemukan dompetnya. Max Belanger menyeretku ke toilet dan mengintimidasiku dengan kalimat-kalimat ancaman.”
Sekali lagi aku mendengar Kang Minho mendengkus dan sewaktu aku memutar wajah menghadap ke samping, aku melihat ekspresi di wajah Kang Minho yang begitu tertekan.
“Entahlah, Dannys. Aku percaya padamu,” kata Minho lalu dia menyeret pandangannya padaku. Wajahnya terlihat lesu dan aku mulai kasihan padanya.
“Tapi, aku juga tidak bisa menuduh Maxi.” Mendengar ucapan itu membuatku mendesah kasar. Aku menundukkan kepala, mengulum bibir dan lalu menganggukkan kepala.
“It’s okay,” ucapku.
“Well, Dannys, no hard feeling, okay?”
Aku menganggukkan kepala. “Ya, aku mengerti, Minho. Kau juga tak seharusnya mengurusi hal ini.”
“No, no!” sergah Minho. Tiba-tiba saja pria itu memutar tubuhnya, menghadap padaku. “look, Dannys. Aku percaya bahwa malam itu kau melihat kejadian mengerikan dan kental unsur kekerasan dan aku juga percaya bahwa kau melihat Maxi di tempat itu. Aku percaya kalau Maxi mengejarmu dan mengintimidasimu, tetapi aku tak bisa menyatakan Maxi bersalah. Bisakah kau memahami maksud perkataanku?”
Sesaat aku terdiam kemudian mendadak aku terkekeh. “Ya,” jawabku sambil menahan senyuman. “kita mahasiswa fakultas hukum. Tentu saja pola pikir kita akan berpusat pada bukti. Aku sangat teramat menyadarinya dan jika aku di posisimu, aku pasti akan menyangkalnya. Pada kenyataannya kau memiliki bukti dan aku pun punya bukti. Ini seperti pedang bermata dua. Namun, Kang Minho, sama seperti buktimu yang kuat, aku juga punya bukti yang sangat kuat dan aku akan membuktikannya padamu.”
Kang Minho terdiam. Aku melihat perasaan syok di sana.
“Aku minta maaf telah membebani pikiranmu dengan hal ini.”
“Dannys!” sergah Kang Minho. Dia sengaja mengentak nadanya untuk menghentikan ucapanku. Kang Minho mendesah panjang sekali lagi sambil memejamkan matanya.
“I trust you. One hundred percent,” kata Minho. “dan jika kau mencari bukti maka aku akan mencarinya bersamamu.”
Sedikit terkejut, mataku pun mendelik. “Benarkah?”
“Ya!” Kang Minho menjawab dengan mentak nadanya dan sambil menganggukkan kepalanya. “ya, aku akan mencarinya bersamamu. Maxi memang sepupuku, tetapi jika dia memang terlibat dalam sebuah kriminalitas, maka aku akan bersamamu. Aku akan mencari bukti yang dapat menyingkirkan fakta yang kumiliki.”
Ucapan Kang Minho membuatku tertawa geli. Aku pun menggelengkan kepala.
“Kenapa, kau tidak percaya padaku?”
“Hem?” kutatap Kang Minho sekali lagi.
“Kau tidak percaya kalau aku akan membantumu?”
Aku terkekeh. “Bukan begitu.”
“Lalu?”
Pertanyaan Minho yang bertubi-tubi itu membuatku terdiam, lalu kuembuskan napas panjang sebelum siap untuk kembali memandangnya.
“Aku hanya tak habis pikir bagaimana kau bisa sangat yakin padaku padahal seharusnya kau percaya pada sepupumu.”
“Karena itu adalah kau.”
Mataku mendelik dan sepertinya jantungku baru saja memberikan tekanan yang kuat.
“Karena yang mengalami hal itu adalah kau. Bukan aku dan bukan orang lain. Dannys, mungkin ini akan terdengar konyol, tetapi aku selalu bisa membedakan mana yang berkata jujur dan mana yang berbohong hanya dari tatapannya.”
Aku memicingkan mata dan tersenyum kecut. “Lalu, bagaimana caramu memandang Max Belanger?”
Kang Minho terdiam dengan dagu yang perlahan mendongak dan tekanan napas yang menderu dengan kasar.
“I don’t know,” kata Minho. Aku terkekeh. Mendecih sinis dan memalingkan wajah. Aku melayangkan satu tangan ke udara.
“Apa-apaan itu.”
“Well, Dannys!” Kang Minho kembali bersuara dan aku hanya bisa melihatnya lewat sudut mataku. “izinkan aku mengumpulkan bukti itu bersamamu.”
Sekali lagi aku mendelik. “Apa?!”
“Ya, Dannys. Maksudku, biarkan aku turut memecahkan kasus ini. Well, aku tidak tahu mengapa, tetapi sepertinya ada yang aneh di sini dan aku tertarik untuk ikut memecahkannya bersamamu.”
Sejenak aku terdiam dengan pemikiran syok dan aku hanya bisa terkekeh.
“Serius, Dannys. Biarkan aku turut mencari bukti. Well, seperti yang aku katakan jika Maxi ternyata bersalah, aku sendirlah yang akan memasukkannya ke dalam penjara.”
Lagi-lagi aku membelalak tak percaya. “Are you sure?”
“Pretty sure,” jawab Minho dan aku hanya bisa mendecih dan menggelengkan kepala.
“Oke!” Kulayangkan satu tangan ke udara kemudian aku mengedikkan kedua bahu. “kalau itu maumu. Kebetulan aku juga tak bisa menahan beban ini sendirian jadi... ya.” Kututup ucapanku dengan terkekeh.
Ada sepintas senyum yang terbaris di wajah Kang Mino, tetapi dengan cepat tergantikan dengan wajah serius. Satu hal yang kuharapkan bahwa aku bisa membagi segalanya dengan Kang Minho dan mendapatkan perlindungan darinya.
Semoga saja.