Teror Untuk Amel

1994 Kata
“Mel, kamu kenapa?”  Amel hanya mampu menatap Jonathan. Bibirnya terasa kelu dan sulit untuk berbicara. Matanya bergerak liar menatap foto di atas meja.  Jonathan mengambil foto di atas meja dan tersentak saat melihatnya. “Ini dari mana Mel?!” tanya Jonathan datar dan terdengar menuntut. Amel hanya mampu menggelengkan kepalanya. Amel memeluk dirinya sendiri sambil memejamkan mata, mencoba mengusir ingatan tentang gambar dirinya yang ada di foto tadi. Jonathan merasa sangat yakin yang melakukan hal ini adalah seseorang yang mereka kenal. Dia melihat sekeliling area food court mencari-cari sosok Rio ataupun Sheila. Namun, rasanya sedikit mustahil dapat menemukan mereka di sini karena keadaan mall yang ramai, dan juga tentunya sudah menghilang di tengah keramaian. Jonathan benar-benar merasa bersalah karena sudah lalai menjaga Amel dan membuat gadis itu seperti sekarang. “Kamu tunggu di sini sebentar ya.” “Elo mau ke mana Jo?” tanya Amel lirih. “Aku mau ke stand bapao, mau tanya sama mereka.” Jonathan bergegas menuju tempat bapao yang tidak  “Permisi Tante,” sapa Jonathan ramah. “Ya?” “Saya mau tanya sebentar boleh?” “Silakan.” “Tadi temen saya beli bapao dan titip bayar di sini. Boleh tau siapa yang pergi ke kasir?” tanya Jonathan. “Oh, pegawai saya. Memang kenapa ya? Apa kembaliannya kurang?” “Bukan Tan. Masalahnya di dalam bungkusan ada amplop berisi foto. Saya mau tau siapa yang ngasih amplop tadi.” “Rat, kamu tau siapa yang titipin amplop?” tanya penjual bapao pada pegawainya. “Oh itu, tadi ada anak kecil yang titipin ke saya, katanya disuruh kasihin ke Mbak yang itu,” ujar pegawai bapao sambil menunjuk ke arah Amel. “Anak kecil? Bukannya seorang pemuda atau gadis?” tanya Jonathan penasaran. “Bukan Mas.” “Kalo gitu makasih.” Jonathan berbalik ke tempat Amel dan melihat sahabatnya yang masih duduk dengan posisi yang sama seperti ketika dia pergi. Jonathan duduk di samping Amel dan menggenggam tangan gadis itu yang terasa sangat dingin. Jonathan meraih botol air mineral yang dia beli, membuka dan menyerahkannya pada Amel. “Minum dulu.”  Amel mengambil botol dan langsung meneguknya. Setelah minum, perasaannya sedikit membaik dan tubuhnya tida lagi gemetar seperti tadi. Jonathan merapikan rambut Amel yang sedikit berantakan. “Kita pulang aja ya,” ujar Jonathan dengan lembut. “Makanannya gimana?” bisik Amel. “Kamu mau makan?” Amel menggelengkan kepalanya. Rasa laparnya langsung hilang setelah melihat foto tadi. Malah sekarang dia merasa sedikit mual dan juga pusing. “Terus kamu maunya gimana?” tanya Jonathan sabar. “Bawa pulang aja Jo, terus kasih ke orang.” “Oke. Kalo gitu kita tunggu sampe makanannya dateng.” Perlahan Amel meletakkan kepalanya di bahu Jonathan. Tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga. Jonathan melingkarkan tangan di pundak Amel, mencoba memberikan rasa tenang dan nyaman untuk gadis itu. Mereka menunggu sampai pelayan datang membawakan pesanan mereka.  “Mbak, maaf, ini boleh tolong dibungkus aja?” tanya Jonathan dengan sopan. “Temen saya mendadak kurang sehat dan mau pulang.” “Oh bisa. Tunggu sebentar ya,” sahut pelayan yang mengantarkan pesanan. “Makasih.” Tidak berapa lama kemudian pelayan yang tadi datang lagi sambil membawa bungkusan berisi makanan yang tidak jadi dimakan. “Ini Mas,” ujar pelayan tadi sambil tersenyum manis. “Makasih banyak Mbak,” ujar Jonathan. “Sama-sama.”  Pelayan wanita tersebut sempat melirik Jonathan sebelum pergi meninggalkan mereka. Jonathan berdiri kemudian mengulurkan tangan pada Amel. “Ayo.” “Kaki gue lemes banget Jo,” ujar Amel dengan suara bergetar. Jonathan menatap Amel dengan perasaan bingung. Andai bukan di tempat umum, dia pasti akan lamgsung menggendong gadis itu tanpa ragu. Masalahnya sekarang mereka berada di tempat umum dan jika dia melakukan hal itu, sudah pasti mereka berdua akan menjadi tontonan orang lain. “Aku gendong mau?” tanya Jonathan berusaha membuat Amel tertawa. “Nggak!” desis Amel tajam. “Terus? Aku papah aja?” goda Jonathan lagi. “Nggak usah macem-macem deh!” sungut Amel sambil berusaha tertawa.”Tunggu sebentar lagi.” “Oke,” sahut Jonathan. “Kalo gitu aku mau makan bapao dulu.” Dengan tenang Jonathan kembali duduk di samping Amel, mengambil bungkusan berisi bapao dan mengambil yang berisi kacang hitam. “Hm …, ini enak banget,” gumam Jonathan. Amel melirik Jonathan antara kesal dan ingin tertawa melihat tingkah sahabatnya itu. Amel mengerti jika Jonathan sedang berusaha menghibur dan mengembalikan suasana hatinya yang kacau. “Gue udah bisa jalan,” ujar Amel setelah beberapa saat. “Yah …, ini belum habis Mel,” ujar Jonathan berpura-pura memelas. “Gue jalan sendiri aja.” Amel langsung bangkit berdiri, akan tetapi karena kakinya masih lemas, dia langsung terhuyung. Dengan sigap Jonathan menahan tubuh Amel. “Jangan sok kuat,” bisik Jonathan di telinga Amel. “Diem sebentar.” Jonathan memasukkan sisa bapao ke dalam mulut, kemudian mengambil bungkusan yang ada di meja dengan tangan kiri. Sedangakan tangan yang lain, dia gunakan untuk memeluk Amel. “Ayo jalan.” “Bapao lo?” “Di mobil aja,” sahut Jonathan singkat. Jonathan menuntun Amel menuju ke mobil yang diparkir di basement. Setelah Amel duduk, Jonathan menutup pintu, kemudian berjalan ke sisi lain mobil.  Jonathan mengemudikan mobil dalam diam sambil memikirkan rencana untuk mengetahui siapa yang telah berusaha menteror Amel. Sampai di rumah Amel, dia membimbing gadis itu sampai ke kamar dan menunggu sampai Amel sudah berada di tempat tidur. “Aku pulang dulu ya,” ujar Jonathan. “Nggak bisa di sini aja temenin gue?” pinta Amel. Jonathan bimbang sejenak mendengar permintaan Amel. Tadinya dia ingin segera menemui Reza. Namun, hatinya tidak tega melihat kondisi Amel saat ini. “Aku temenin sampe kamu tidur,” sahut Jonathan akhirnya. Jonathan duduk di tepi tempat tidur dan menggenggam tangan Amel dengan lembut. Setelah Amel terlelap, Jonathan berdiri dan keluar dari kamar dan langsung berjalan menuju ke mobil. Karena rumah Reza berada di g**g, Jonathan memarkir mobil di dekat lahan luas yang memang dijadikan tempat parkir. Jonathan keluar dari mobil dan berjalan kaki menuju rumah Reza. “Tumben amat elo ke sini?” sapa Reza saat melihat Jonathan. “Elo nggak kangen sama gue?” “BAH!” ujar Reza sambil tertawa. “Elo lagi sibuk nggak Za?” “Seperti yang elo liat,” ujar Reza. “Penting banget?” “Lumayan.” “Kalo gitu biar gue panggil Yuli dulu buat gantiin jaga warung.” Reza menghilang ke dalam rumah dan mencari Yuli, sepupunya yang baru beberapa bulan datang ke Jakarta untuk kuliah. Tidak lama setelah itu, Reza kembali dan menemui Jonathan yang masih berdiri di depan rumah.  “Ke kamar gue Jo.” “Oke.” Jonathan mengikuti Reza yang berjalan ke kamarnya yang berada di tengah. Dia duduk di lantai yang dialasi tikar dan menyandarkan diri ke tembok. “Oke, ada apaan?” “Elo mau siomay nggak?” tanya Jonathan sambil menunjukkan bungkusan berisi siomay. “Mau lah, berkat nggak boleh ditolak.” “Tapi ini tadi rencananya mau dimakan di tempat, tapi nggak jadi karena ada sesuatu.” “Bersih kan? Belum disentuh?” “Bersih sih iya, tapi udah disentuh sama pelayannya.” “Cantik nggak?” “Lumayan.” “Kalo gitu siniin,” ujar Reza sambil meraih bungkusan berisi siomay dari tangan Jonathan. Reza langsung membuka bungkusan dan melahap sepotong besar siomay dengan wajah bahagia. “Elo mau ngomong apaan?” tanya Reza dengan mulut penuh. Jonathan mengeluarkan amplop dari saku kemeja dan meletakkan di atas tikar. Reza mengambil dan langsung mengeluarkan isinya. “Edan!” seru Reza setelah melihat foto yang ditunjukkan oleh Jonathan. “Ulah siapa tuh?!” “Itu yang mau gue cari tau.” “Elo punya dugaan?” “Antara Rio atau Sheila.” “Karena?” Jonathan pun menceritakan pertemuan Amel dengan Rio di mall secara rinci sesuai dengan yang diceritakan gadis itu padanya. “Wah …, ini pasti ada apa-apanya nih. Dan gue yakin Rio nggak akan berhenti gitu aja. Elo mesti hati-hati Jo.” “Gue sendiri agak ragu kalo Rio yang ngelakuin ini, lebih mungkin Sheila kan? Tapi gue nggak liat itu anak tadi.” “Kan tadi elo bilang anak kecil yang ngasih ke pegawai, mungkin disuruh sama Sheila atau Rio.” “Bisa juga.” “Terus elo mau gimana? Amel sekarang di mana? Pasti syok banget itu anak.” “Udah gue anterin pulang, dan gue temenin sampe tidur, baru gue ke sini,” ujar Jonathan. “Kayaknya gue mesti minta tolong sama Bang Firman.” “Harus secepatnya Jo.” “Iya.” Jonathan mengeluarkan ponsel dari saku dan langsung menghubungi Firman. “Selamat sore Bang,” sapa Jonathan. “Eh Jo, ada apa?” “Elo lagi di mana Bang? Gue ada perlu dan pengen ketemu.” “Gue lagi di luar dulu Jo, paling nanti malam.” “Jam berapa Bang?” “Sekitar jam sembilan di tempat biasa. Ada apaan? Kayanya penting banget.” “Ceritanya panjang Bang. Nanti malam aja sekalian gue ceritain pas ke sana sama Reza.” “Oke. Gue tutup dulu teleponnya.” “Kenapa bawa-bawa nama gue?!” protes Reza tidak terima. “Elo ikut gue Za.” “Dapet makan nggak?”  “Hm.” “Oke, kalo gitu nggak masalah.” Jonathan tertawa mendengar perkataan Reza. Sahabatnya ini memang hobi makan, akan tetapi jangan diragukan kesetiaan dan kejujurannya. Reza selalu siap untuk membantunya tanpa berpikir panjang. Jonathan menghabiskan waktu di rumah Reza menunggu hingga waktunya bertemu dengan Firman. Sekitar pukul delapan malam, Jonathan pergi bersama Reza menuju ke rumah kontrakan Firman. Mereka tiba di tempat Firman lima belas menit lebih cepat dari waktu yang sudah dijanjikan.  “Ayo turun Za,” ujar Jonathan sembari membuka pintu mobil. Reza melihat sekeliling dan langsung berlari menghampiri Jonathan karena merasa sedikit takut.  “Tempatnya sepi banget dah,” gumam Reza. “Tenang aja Za, di sini aman,” sahut Jonathan. “Ayo.” Jonathan berjalan di depan menuju ke kontrakan petakan tempat Firman tinggal selama di Jakarta, sedangkan istri dan anaknya masih tetap berada di rumahnya di Jawa. Jonathan berjalan ke rumah yang terletak di paling ujung dan mengetuk pintu. Dia menunggu sejenak sebelum akhirnya pintu dibuka dari dalam oleh Rustam, salah seorang teman Firman yang menumpang tinggal bersama. “Eh kamu Jo, ayo masuk,” ujar Rustam. Jonathan melangkah masuk ke dalam ruangan yang dijadikan ruang tamu oleh Firman. Tidak ada kursi maupun sofa di sana. Lantai yang cukup luas hanya ditutupi oleh tikar dan sebuah meja kayu di tengah ruangan. Jonathan memilih duduk di dekat pintu dan bersandar pada tembok. “Bang Firman belum balik?” tanya Jonathan. “Sebentar lagi, tadi bilangnya udah deket. Elo mau minum apa?” “Bebas Bang.” “Saya mau kopi Bang,” ujar Reza memberanikan diri. “Oke!” sahut Rustam singkat dan berjalan menuju dapur yang berada di ruangan lainnya. Tidak lama kemudian, Rustam kembali sambil membawa dua gelas kopi yang masih mengepulkan asap, dan meletakkannya di meja. “Eh, udah dateng aja ini anak,” ujar Firman yang baru masuk ke dalam rumah. “Iya Bang, gue kecepetan.” “Gapapa, nyantai aja.” “Pa kabar Bang?” “Sehat, seperti yang elo liat,” sahut Firman sambil merentangkan kedua tangannya. “Elo mau cerita apaan Jo?” Firman duduk di tikar, berseberangan dengan Jonathan dan Reza. Melihat Firman datang, Rustam kembali ke dapur dan membuat kopi untuk dirinya dan juga Firman. Sementara itu, Jonathan mengeluarkan amplop dan memberikannya pada Firman yang langsung membuka dan melihat isinya. “Elo mau gue ngapain?” tanya Firman singkat. “Tolong cari tau tentang Rio dan Sheila, juga tolong pastiin apa bener Rio udah putus sama itu cewek.” “Itu aja?” “Semua tergantung hasilnya dulu Bang, baru gue bisa ambil tindakan. Kalo bisa secepetnya, karena gue nggak mau Amel makin tertekan karena hal ini.” “Oke. Nanti langsung gue kabarin setelah dapet info yang jelas.” “Makasih Bang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN