Kamu Ke Mana?

1959 Kata
Lima hari kemudian, Firman menghubungi Jonathan yang saat itu sedang makan bersama Amel di mall. Tadi sepulang kuliah, Amel mengajak Jonathan untuk kembali mencari pisau dan juga buku tentang Tata Boga untuk menambah pengetahuan mereka di bidang itu. “Mel, aku angkat telepon bentar,” ujar Jonathan seraya bangun dari kursi. “Emang siapa yang telepon?” tanya Amel penasaran. “Bentar ya.” Jonathan tidak menjawab pertanyaan Amel dan berjalan menuju ke tempat yang agak jauh dari mejanya. Dia tidak ingin Amel mendengar pembicaraan dirinya dengan Firman. Setelah berada cukup jauh, Jonathan menekan tombol hijau dan menjawab panggilan. “Halo Bang,” ujar Jonathan.  “Gue udah dapet info Jo. Kapan bisa ketemu?” “Nanti malam gue ke rumah Bang.” “Oke.” Setelah memutuskan sambungan, Jonathan kembali ke meja dan duduk kembali di tempatnya.  “Siapa sih?!” tanya Amel. “Temen aku,” sahut Jonathan singkat. Amel menatap Jonathan dengan seksama dan terlihat jelas kalau sahabatnya enggan mengatakan siapa yang sudah menghubunginya tadi. Karena itu, Amel memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut dan berusaha untuk mengabaikan hal itu, walaupun sesungguhnya dia sangat penasaran. “Habis ini kita mau ke mana?” tanya Amel mengalihkan pembicaraan. “Kamu mau ke mana? Pulang? Atau masih mau cari buku?” “Bebas sih, cuma udah agak cape juga. Pulang aja gitu?” “Terserah kamu Mel, aku ngikutin aja.” Amel melihat jam tangannya, dan waktu saat itu menunjukkan pukul lima sore. Jalanan pasti sangat padat, karena orang-orang yang pulang kerja.  “Kalo pulang sekarang apa nggak macet?” tanya Amel. “Ya udah, kalo gitu kita pulangnya nanti aja setelah jam enam, siapa tau udah lancar.” “Lagian kenapa mesti pake mobil sih Jo, kan enakan naik motor, bisa selap-selip,” gerutu Amel. “Sekarang kan musim hujan Mel, emang mau kehujanan? Ntar kalo sakit gimana?” “Tapi kan hujan-hujanan itu enak,” sahut Amel tidak mau kalah. “Susah ngomong sama kamu. Kalo udah sakit baru tau.” Jonathan sangat mengenal sahabatnya itu yang kalau sudah sakit pasti menjadi sangat manja dan rewel. Dan Jonathan lah yang biasa terkena getahnya. “Iya, iya …,” sahut Amel sambil meringis. “Cari buku aja yuk,” usul Jonathan. “Ayo.” Amel bangkit berdiri dan berjalan keluar dari tempat makan. Jonathan mengejar Amel, agar dapat berjalan bersisian menuju ke toko buku yang terletak di lantai dua.  Tiba di toko buku, mereka langsung menuju ke deretan buku tentang Tata Boga dan mulai memilih-milih buku yang diingini. “Ini kayaknya bagus Jo,” ujar Amel sambil menunjukkan sebuah buku tentang Tata Boga. “Aku sih lebih suka sama yang ini,” sahut Jonathan sambil menunjukkan buku lainnya. “Kalo gitu elo beli yang itu, gue yang ini. Nanti kita bisa tukeran,” usul Amel. “Oke.” Setelah memutuskan, mereka masih berjalan-jalan sebentar mencari siapa tahu ada buku yang lebih baik. Akhirnya, mereka berjalan menuju ke kasir untuk membayar buku dan beberapa barang lainnya. “Pulang?” tanya Jonathan setelah keluar dari toko buku. “Oke.” Mereka melanjutkan langkah menuju ke lantai paling atas di mana tadi Jonathan memarkir mobil. Sepanjang perjalanan pulang, Amel memilih untuk diam sambil melihat-lihat buku yang tadi dia beli.  Tiba di depan rumah Amel, Jonathan tidak mematikan mesin mobil dan menunggu gadis itu turun. “Elo langsung pulang?” tanya Amel sebelum turun dari mobil. “Nggak. Aku mau pergi sebentar.” “Ke?” “Ayo sana turun,” sahut Jonathan. Jonathan memang sengaja tidak memberitahu Amel ke mana dia akan pergi, dan siapa yang akan ditemui. Jika semuanya sudah jelas, barulah Jonathan akan memberitahu gadis itu. Sambil cemberut, Amel membuka pintu mobil dan turun. Jonathan menurunkan jendela mobil di sebelahnya dan menunggu sampai gadis itu berdiri di pagar rumah. “Aku pergi dulu Mel,” ujar Jonathan sebelum menjalankan mobil. “Hati-hati. Sampe rumah, kabarin gue.” “Hm.” Jonathan menutup jendela dan menginjak pedal gas meninggalkan rumah Amel. Dia mengendarai mobil menuju ke rumah Firman untuk mengetahui informasi yang dimiliki pria itu mengenai Rio dan Sheila. Setiba di sana, Jonathan bergegas menuju kamar paling ujung dan melihat sepatu yang biasa digunakan Firman. Setelah itu barulah dia mengetuk pintu dan menunggu sejenak. Terdengar suara kunci yang diputar dan tidak lama kemudian, pintu dibuka oleh Firman. “Masuk Jo,” ujar Firman. Jonathan melangkah masuk dan langsung duduk di depan meja. Firman menutup pintu dan menghampiri pemuda yang duduk dengan nyaman di rumahnya.  Firman merasa salut dengan Jonathan, yang walaupun berasal dari keluarga berada, tetapi tidak sombong dan tidak pernah memandang rendah dirinya. Jonathan juga pernah menolong dirinya dan tidak pernah menuntut imbalan sedikitpun. Itulah sebabnya dia akan selalu menolong Jonathan kapan pun pemuda itu membutuhkan dirinya. “Elo mau kopi?” tanya Firman. “Boleh Bang, tapi jangan banyak-banyak gulanya,” pinta Jonathan yang tidak terlalu suka manis. “Oke. Tunggu bentar.”  Firman berjalan masuk ke dalam membuat kopi untuknya dan Jonathan. Tidak lama kemudian, Firman kembali sambil membawa nampan berisi dua gelas kopi dan sepiring singkong rebus. Setelah meletakkan gelas berisi kopi dan piring, Firman duduk di seberang Jonathan. Dia menyerahkan amplop cokelat pada Jonathan yang baru diambil dari kolong meja. Jonathan langsung membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Dia terdiam sejenak dan memperhatikan dengan seksama foto-foto di tangannya. “Jadi emang bener Rio udah putus sama Sheila?” “Menurut temen gue begitu Jo. Sheila nya sendiri sempet ngedatengin rumah Rio, tapi nggak lama langsung pergi lagi dengan muka marah.” “Terus apa tujuan Rio deketin Amel lagi?” “Mungkin emang bener itu anak masih punya rasa sama Amel, kita juga kan nggak tau.” “Berarti Sheila yang ngirimin foto ke Amel? Karena cemburu?” tanya Jonathan. “Kemungkinan besar begitu Jo, tapi kita nggak bisa langsung ambil kesimpulan. Dan kita juga harus cari tau alesannya apa.”   “Gue jadi makin nggak tenang ngebiarin Amel sendirian Bang.” “Bukannya elo selalu sama Amel?” “Sekarang nggak terlalu Bang. Kadang kelas kita beda, dan juga dia sekarang suka kumpul sama temen-temen kuliahnya.” “Gue rasa yang namanya Sheila nggak akan senekat itu ke Amel.” “Tetep aja gue khawatir,” sahut Jonathan. Firman memandang Jonathan dengan seksama. Dia mengerti perasaan pemuda yang duduk di hadapannya, juga sebesar apa rasa sayang Jonathan untuk Amel. Namun, di satu sisi Firman openasaran mengapa pemuda itu tidak pernah mau mengungkapkan perasaannya. “Coba kita pikirin cara terbaik Jo. Tapi untuk saat ini gue rasa Amel pasti baik-baik aja.” “Semoga Bang. Gue nggak sanggup kalo mesti liat Amel kayak kemarin.” “Jo, gue penasaran dari awal tentang elo.,” ujar Firman karena tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. “Tentang?” “Kalo emang elo sayang sama Amel, kenapa nggak langsung ungkapin aja sih? Kenapa elo selalu diem di depan dia, tapi selalu jagain sampe kayak gini.” “Bukan gue nggak mau Bang, tapi selama ini dia cuma anggep gue itu sahabat. Dan gue nggak mau dia jadi berubah dan ngejauhin gue karena tau perasaan ini.” “Ribet banget deh jadi kalian,” ujar Firman sambil menggelengkan kepala. Jonathan masih berada di rumah Firman sampai jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia harus pulang karena masih ada tugas kuliah yang harus dikerjakan. “Bang, gue pulang dulu ya, udah malem.” “Iya, ati-ati di jalan.” “Siap Bang. Tolong kabarin gue kalo ada berita terbaru.” “Oke. Elo juga jangan lupa infoin gue kalo ada sesuatu.” “Sip.” *** Semalaman Amel tidak dapat memejamkan mata sedetik pun. Dia gelisah menunggu kabar dari Jonathan dan juga karena hujan yang turun dengan sangat deras. Biasanya, Jonathan akan langsung datang jika hujan, akan tetapi malam ini sahabatnya tidak menunjukkan batang hidung walau hanya untuk sesaat.  Suara hujan yang keras, ditambah bunyi petir, membuat Amel menjadi sedikit takut, dan kembali teringat soal foto dirinya yang dicoret-coret orang tidak dikenal. Semua itu semakin membuatnya sulit untuk tidur. Hingga paginya, Amel merasa tidak bersemangat untuk kuliah karena hatinya merasa sedikit gundah. Amel memilih untuk mandi dan bersiap untuk kuliah, walaupun masih cukup lama sebelum jam pertama dimulai. Selesai mandi dan berdandan, Amel turun ke bawah. Dia memutuskan untuk membolos dan berjalan-jalan, agar suasana hatinya bisa kembali membaik. “Pagi Mam,” sapa Amel saat turun ke ruang makan. “Lho kok kamu udah rapi? Bukannya kuliah mulai jam sembilan?” tanya Laras. “Iya Mam, Amel ada perlu keluar dulu.” “Tapi ini masih pagi banget lho Lia,” tegur Laras. “Amel jalan dulu Mam,” sahut Amel tidak membalas perkataan Laras. “Kamu nggak sarapan dulu?” “Nanti aja Mam.” Amel pergi meninggalkan rumah dan berjalan kaki menuju luar komplek sambil memikirkan tempat yang akan dia kunjungi. Tiba di depan, Amel memilih untuk naik bis yang menuju ke terminal. Sementara itu, jam delapan Jonathan tiba di rumah Amel dan langsung masuk ke ruang keluarga.  “Mam, Amel belum bangun?” tanya Jonathan. “Lia tadi udah pergi Jo, Mama kira sama kamu.” “Pergi? Jam?” “Sekitar jam tujuh kalo nggak salah. Yang pasti setelah Chaca berangkat sekolah.” Jonathan mengerutkan kening mendengar perkataan Laras. Tidak biasanya Amel pergi tanpa memberitahu dirinya. Dia mengambil ponsel dari saku celana dan langsung menghubungi ponsel Amel.  Namun, gadis itu tidak menjawab panggilannya hingga beberapa kali. Jonathan mulai merasa khawatir dengan Amel. Namun, dia mencoba untuk tetap tenang di depan Laras.  “Mama nggak tanya Amel mau ke mana?” “Tanya sih, tapi nggak dijawab.” “Kalo gitu Jojo pergi dulu Mam, siapa tau Amel udah ada di kampus.” Jonathan langsung membalikkan badan dan berlari kecil melintasi ruangan demi ruangan menuju ke mobilnya. Sepanjang perjalanan ke kampus, Jonathan terus mencoba menghubungi Amel, akan tetapi hasilnya tetap sama. Amel tidak menjawab. Tiba di kampus, Jonathan bergegas mencari Amel di kelas. Tengah berdiri di depan kelas, Nita, salah seorang teman kuliah Amel berjalan mendekati pintu. “Nit, Amel udah dateng?’ tanya Jonathan. “Belum. Gue pikir bareng sama elo.” “Ada ngubungin elo nggak?” tanya Jonathan lagi. “Nggak tuh.” “Ya udah. Makasih ya.”  Jonathan langsung meninggalkan Nita untuk mencari Amel di luar kampus.  “Elo tuh dingin banget sih jadi cowok,” gumam Nita dengan pandangan sendu menatap punggung Jonathan yang berjalan menjauhi dirinya. “Kamu ke mana sih Mel?” gumam Jonathan putus asa setelah mencari di sekitar kampus. Jonathan meneruskan langkah menuju tempat parkir. Dia akan mencoba mencari Amel di tempat biasa gadis itu datangi.  Seharian Jonathan berkeliling mencari Amel, akan tetapi hasilnya selalu sama. Dia semakin merasa gelisah ketika hujan turun dengan deras.  Menjelang sore, Jonathan memutuskan kembali ke rumah.  Baru saja Jonathan menghentikan mobil di halaman rumah, dari kaca spion, dia melihat Amel yang berjalan ke arahnya dalam keadaan basah kuyup. Tanpa berpikir panjang, dia langsung keluar dari mobil dan berlari menghampiri Amel. “Kamu dari mana?” tanya Jonathan. “Habis jalan-jalan,” sahut Amel. “Nggak bawa payung?! Badan kamu basah kuyup begini Mel?!” tegur Jonathan mencoba menahan amarahnya melihat keadaan Amel. “Lupa.” “Ayo masuk!” Jonathan menarik tangan Amel sedikit keras dan membawa gadis itu menaiki undakan di depan rumah.  “Ya ampun Lia!” seru Laras saat melihat putri sulungnya basah kuyup. “Amel mau ke kamar Mam.” “Tunggu sini dulu, Mama ambilin handuk.” Laras bergegas masuk ke dalam dan mengambil handuk yang langsung dia pakai untuk mengeringkan rambut dan badan Amel. “Amel ke atas.” Amel berjalan meninggalkan Jonathan dan Laras yang hanya bisa menatap punggung Amel yang berjalan kaku seperti robot. “Lia kenapa Jo?” “Nggak tau Mam. Bentar lagi Jojo ke atas. Sekarang biarin dia mandi dulu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN