Kembali ke Anyer

2329 Kata
“Lia, kamu udah pilih mau magang di mana?” tanya Laras saat mereka sedang makan malam. “Belum tau Mam, masih bingung. Temen-teman ada yang mau ke Bali, Singapur, malah ada yang mau Australia.” “Kamu mau ke mana Jo?” tanya Laras pada Jonathan yang ikut makan malam bersama. “Kayaknya ke Bali Mam,” “Gua ikut elo aja ya,” sela Amel memotong perkataan Jonathan. “Lia!” tegur Laras. “Nggak sopan nyela kayak gitu.” “Opss, maaf Mam,” sahut Amel sambil meringis. “Kebiasaan lo Kak,” ledek Brenda. “Udah, udah,” lerai Laras sambil melirik ke arah Thomas yang duduk di sampingnya. “Amel boleh ikut Jojo ke Bali kan Mam?” tanya Amel. “Ya tanya sama Jojo dong, masa tanya ke Mama.” “Apa nggak lebih baik kamu tetep di sini aja Mel?” ujar Thomas tenang. “Kan banyak hotel di Jakarta yang bisa dijadiin tempat buat magang. Ngapain jauh-jauh ke Bali, apalagi sampe keluar negeri segala.” “Ih …, Papa kolot banget deh,” gerutu Amel sedikit kesal. “Kan Amel bisa sekalian liburan, boleh ya Pa ….” “Papa nggak tenang ngelepas kamu pergi jauh-jauh Mel. Gimana kalo ada kejadian kayak kemarin lagi? Siapa yang mau tolongin kamu?” “Kan ada Jojo,” sahut Amel keras kepala. “Lagian sekarang udah nggak akan ada lagi yang bakal gangguin Amel.” “Kamu serius?” tanya Jonathan sambil menoleh ke samping kiri, tempat Amel duduk. “Serius, dan yakin banget.” “Kata siapa?” Amel langsung terdiam mendengar pertanyaan Jonathan barusan, dan menyadari jika dirinya baru saja keceplosan bicara. Amel melirik memandang Brenda dan Laras yang langsung berpura-pura makan lagi, dan tidak mau menatap dirinya. Keluarganya memang sudah diberitahu tentang apa yang dikatakan Ardian, akan tetapi Amel tidak mengatakan apapun pada Jonathan. “Eng ….” Amel benar-benar bingung harus menjawab apa, sedangkan Jonathan terus memandang dirinya. “Pokoknya yakin aja Jo. Buktinya udah dua bulan ini nggak ada kejadian apa-apa lagi kan.” “Ohh …, kirain,” ujar Jonathan dan kembali melanjutkan makan. Sementara Amel mengembuskan napas lega karena berhasil memberi jawaban yang masuk akal sehingga Jonathan tidak bertanya lagi. Dan pembicaraan mengenai magang pun terhenti hingga mereka semua selesai makan malam. Saat mereka berjalan meninggalkan ruang makan, Amel menarik tangan Jonathan dan menyeret pemuda itu ke arah gazebo. “Kenapa Mel?’ tanya Jonathan setelah mereka duduk di gazebo. “Elo beneran mau magang di Bali? Udah dapet tempatnya?” “Iya, udah. Emang kenapa?” “Gua ikut elo ya,” pinta Amel. “Kan kata papa nggak boleh.” “Tapi gua bosen di Jakarta terus Jo,” rengek Amel. “Kenapa nggak balik ke Anyer lagi aja?” usul Jonathan. “Anyer?” ulang Amel. “Iya. Kamu kan bisa tanya sama Mas Teddy, memungkinkan nggak magang di sana. Kalo dia setuju, kamu tinggal lapor ke Pak Sam.” “Masa Anyer lagi sih?!” gerutu Amel. “Masih mending di sana Mel, daripada tetep di sini. Kan kamu yang bilang pengen sekalian liburan, dan seenggaknya kamu nggak di rumah terus.” Amel terdiam dan memikirkan semua perkataan Jonathan yang memang ada benarnya. Pilihannya hanya di Jakarta, dan tetap di rumah setiap hari, atau ke Anyer. Setidaknya jika Amel ke Anyer, dia tidak akan terlalu sulit untuk beradaptasi karena sudah mengenal sebagian besar karyawan di sana. Dan yang terpenting dirinya akan bisa bebas selama enam bulan, tidak terkurung di rumah. “Elo boleh tolong tanyain nggak ke Mas Teddy?” “Kamu langsung ngomong sendiri aja,” ujar Jonathan. “Kamu masih simpen kontaknya dia kan? Lagian bukannya kamu sering ngobrol sama dia?” “Iya sih, cuma kan nggak enak aja.” “Coba kamu telepon sekarang dan tanya sama Mas Teddy,” saran Jonathan. Amel mengambil ponsel dari meja, dan mencoba menghubungi Teddy. Dia menunggu sebentar sebelum pria itu menjawab panggilannya. “Kenapa Mel?” “Mas lagi sibuk nggak?” “Sedikit, tapi gapapa. Kamu ada perlu sama Mas?” “Eng …, sebenernya Amel mau tanya sekalian minta tolong sama Mas.” “Apa tuh?” “Eng …, kira-kira kalo Amel magang di resort boleh nggak?” “Magang? Sama Jonathan? Tapi dia belum ngomong apa-apa sama Mas.” “Nggak Mas. Amel mau magang sendiri di sana, boleh?” “Tiga atau enam bulan?” tanya Teddy yang sudah terbiasa mengenai hal itu. “Enam bulan Mas.” “Mulai kapan Mel?” “Dua bulan lagi Mas.” “Oke, nggak masalah.” “Jadi boleh?” “Hm. Resort selalu terbuka buat kamu.” “Makasih Mas.” “Gimana? Boleh?” tanya Jonathan setelah Amel mengakhiri pembicaraan dengan Teddy. “Boleh Jo.” “Berarti kamu tinggal ngomong sama Pak Sam,” “Tapi elo beneran nggak akan ke sana Jo?” “Hm,” sahut Jonathan. “Boleh tau alasannya?” tanya Amel penasaran. Sejujurnya Amel sedikit bingung dengan sikap Jonathan saat ini, yang tampak teguh dengan keputusannya. Biasanya, ke manapun Amel pergi, Jonathan akan berusaha untuk selalu ikut dan menemani. Amel duduk menghadap ke arah Jonathan dan menunggu penjelasan dari pemuda itu. Sementara Jonathan hanya duduk diam dan tidak mejawab apapun. Dia tidak mungkin mengatakan pada Amel jika sebenarnya dia tidak akan magang di Bali, dan tujuan sebenarnya adalah Singapur. Selain untuk magang, dia juga harus mulai memegang perusahaan yang ditinggalkan ibunya, dan mulai menjaga jarak dengan Amel, dan membiarkan sosok Ardian untuk muncul. “Kenapa diem aja?” tanya Amel sambil menyodok pinggang Jonathan. “Nggak ada alesan apa-apa Mel. Aku cuma pengen nyari suasana baru, dan siapa tau bisa dapet banyak pelajaran di sana.” “Cuma itu?” tanya Amel tidak percaya dengan penjelasan Jonathan. “Hm, cuma itu.” *** “Mel,” panggil Laras sambil mengetuk pintu kamar Amel. “Masuk aja Mam, nggak dikunci kok,” sahut Amel yang sedang membereskan barang-barangnya. Besok subuh Amel akan berangkat ke Anyer untuk memulai tugas magangnya di sana selama enam bulan. Dan sekarang, dia sedang mengepak barang-barang yang akan dibawa ke sana. Untuk urusan pakaian, sudah diselesaikan kemarin. “Kenapa Mam?” tanya Amel saat Laras duduk di tempat tidur. “Semuanya udah beres?” “Baju? Obat-obatan? Perlengkapan mandi? Cemilan? Kosmetik?” “Semuanya udah Mam,” sahut Amel sambil duduk di samping Laras. Laras menggeser duduknya hingga berada tepat di sisi Amel. Kemudian dia meraih tangan putrinya dan menggenggam dengan erat. Sesungguhnya Laras merasa berat harus berpisah dengan Amel, apalagi kali ini selama enam bulan, dan itu bukan waktu yang sebentar. Laras membayangkan jika masa enam bulan telah terlewati, maka akan semakin dekat waktu bagi Amel untuk menikah dengan Ardian. Dan membayangkan hal itu, membuat hati Laras terasa sangat sakit. Sejujurnya dia tidak rela jika Amel harus benar-benar menikahi Ardian, walaupun telah banyak hal yang telah dilakukan calon menantunya itu. “Muka Mama kenapa sedih gitu?” tanya Amel. “Gapapa, cuma berat aja mau ngelepas kamu pergi Lia. Apalagi nggak ada Jojo yang nemenin, Mama beneran khawatir.” “Mam, Amel kan udah gede, udah bisa jaga diri sendiri juga. Mama nggak perlu khawatir ya, Amel pasti baik-baik aja.” “Iya, Mama tau Lia, tapi tetep aja khawatir,” ujar Laras dengan suara parau. “Untuk semua orang tua, walaupun anak-anaknya sudah besar, ataupun menikah, mereka tetaplah anak di mata kami, begitupun kamu dan Brenda. Buat Mama kalian tetaplah putri kecil, yang harus dijaga dan dilindungi.” “Mam, jangan bikin Amel sedih dong,” ujarnya sambil memeluk Laras. “Amel janji bakal sering telepon, rajin makan, dan jaga diri di sana.” “Janji ya,” ujar Laras. “Apa Mama ikut aja, terus tinggal di sana juga?” “Ih …, Mama mau bikin Amel malu? Masa iya Mama ikut ke sana? Nanti apa kata orang?” “Iya, iya, Mama bercanda Lia. Kalo gitu Mama keluar dulu. Kamu jangan tidur malem-malem, besok subuh kan harus pergi.” “Iya Mam.” Laras beranjak dari tempat tidur dan berjalan meninggalkan kamar. Amel kembali membereskan sisa baang-barang yang akan dibawa. Setelah selesai, Amel pun tidur, supaya besok bisa bangun tepat waktu. Pukul tiga pagi, jam beker di meja nakas berbunyi dengan suara keras. Dengan mata terpejam, Amel meraba ke meja nakas dan mematikan jam beker, kemudian terlelap kembali. Namun, baru lima menit, kali ini alarm dari ponsel berbunyi dengan keras. “Berisik banget sih,” gerutu Amel sambil menarik selimut dan menutupi kepala. “Mel!” seru Laras sambil mengetuk pintu kamar Amel. Amel yang hampir tertidur, terkejut mendengar ketukan pintu dan suara Laras. Dengan wajah ditekuk, Amel bangun dan berjalan untuk membukakan pintu. “Kamu belum bangun?” “Kalo Amel belum bangun, mana bisa bukain pintu?’ “Maksud Mama, kamu beneran baru bangun?” “Hm.” “Nanti terlambat gimana? Mana kamu mau nyetir sendiri.” “Tapi Amel masih ngantuk Mam, boleh tidur bentar lagi?” “Boleh, tapi biarin Mama yang anter kamu ke sana. Mau?” “Nggak mau!” seru Amel. “Amel mandi dulu.” Tidak lama kemudian, Amel yang sudah siap, keluar dari kamar sambil membawa sebagian barang yang bisa dibawa ke bawah. Laras yang melihat hal itu, meminta Asih, salah satu ART untuk membantu Amel menurunkan barang-barang yang akan dibawa dari kamar. “Kamu makan dulu Mel,” ujar Laras. “Iya Mam.” Amel meletakkan tas yang dibawa di lantai dekat sofa, kemudian berjalan mengikuti Laras ke ruang makan. Amel akan berangkat ke Anyer menggunakan mobil yang diberikan Ardian. Dia akan menyetir sendiri karena Jonathan sudah pergi ke Bali tiga hari yang lalu.  Tadinya Thomas dan Laras tidak mengijinkan Amel menyetir sendiri, akan tetapi karena gadis itu berkeras, akhirnya Thomas mengijinkan dengan syarat dia harus mengemudi dengan hati-hati, dan jika mengantuk harus segera berhenti sejenak. “Mam, Amel pergi dulu ya,” ujar Amel sambil memeluk erat Laras. “Kamu hati-hati ya, kalo udah sampe sana, langsung kabarin.” “Iya Mam,’ ujar Amel. Setelah memeluk dan berpamitan pada Laras, Amel menghampiri Thomas yang berdiri dekat Laras. Amel memeluk Thomas dengan erat. “Pap, Amel pergi dulu ya.” “Hm, hati-hati di jalan,” sahut Thomas. “Inget ya, selalu jaga kesehatan kamu. Jangan lupa makan, dan harus selalu sopan sama orang lain.” “Iya Pap.” Amel berbalik dan berjalan menuju mobil. Saat dia akan membuka pintu, terdengar suara Brenda dari belakangnya. “Elo nggak mau pamitan sama gue Kak?!” Amel membalikkan badan dan melihat Brenda yang baru bangun, masih dengan rambut berantakan bergelayut manja di bahu Laras sambil meleletkan lidah padanya. Amel mendengkus melihat kelakuan adiknya, dan berjalan menghampiri Brenda.  “Kan elo yang bangunnya telat,” sahut Amel. “Jangan salahin gua dong!” Amel menjitak pelan kepala Brenda karena gemas. “Apaan sih!” seru Brenda sambil memegang kepalanya. “Udah sana pergi.” “Gua titip Mama sama Papa ye,” ujar Amel sebelum kembali ke mobil. “Titip, emang elo pikir mereka barang kali!” protes Brenda. Amel tidak membalas perkataan Brenda. Dia masuk ke mobil dan meninggalkan rumah. Amel mengendarai mobil di jalan yang masih gelap dan cukup sepi. Karena merasa terlalu hening, dia menyalakan musik keras-keras. Sebenarnya dia sudah sering pergi kuliah ataupun keluar Jakarta sendiri menggunakan mobil ini, akan tetapi ini pertama kalinya pergi keluar kota sendirian. Biasanya selalu ada Jonathan yang menemani dan kadang memberikan pengarahan saat melewati jalan-jalan tertentu.  Amel tiba di resort menjelang jam makan siang. Perjalanan yang biasanya hanya memakan waktu sekitar empat jam, menjadi molor karena tadi Amel merasa lelah dan beristirahat dulu. Amel turun dari mobil dan langsung memasuki pintu utama resort. Amel berjalan ke arah meja resepsionis dan melihat Mila yang sedang bertugas di sana. Amel melambaikan tangan ke arah Mila yang kebetulan juga sedang menatap padanya.  “Mbak Mila!” ujar Amel sambil tertawa lebar. “Amel? Kamu ngapain ke sini?” “Mau magang Mbak, emang Mas Teddy belum bilang?” “Cuma bilang kalo mulai besok mau ada orang yang magang, tapi nggak bilang siapa orangnya,” sahut Mila. “Ternyata kamu toh.” “Iya Mbak, Amel yang mau magang.” “Jonathan mana? Nggak ikut magang di sini?” tanya Mila karena tidak melihat sosok Jonathan. “Nggak, dia magang di Bali.” “Yah …, padahal pasti rame kalo dia juga ada.” “Mas Teddy mana Mbak? Amel mau ketemu dulu sama beliau.” “Ayo aku anter.” Mila keluar dari ruang resepsionis dan berjalan menuju ke ruangan kerja Teddy. Mila mengetuk pintu ruangan Teddy. “Masuk!” Mila membuka pintu dan melongokkan kepala ke dalam. “Pak, yang mau magangnya udah dateng.” “Suruh masuk aja Mil. Makasih ya.” “Disuruh masuk Mel,” ujar Mila. “Aku tinggal dulu ya.” “Makasih banyak Mbak,” ujar Amel sebelum Mila pergi. Amel masuk ke dalam ruangan Teddy, dan melihat pria itu tengah menatap ke pintu, dan tersenyum lebar saat melihat Amel. “Sini Mel,” ujar Teddy sambil melambaikan tangan. Amel berjalan menghampiri meja kerja Teddy, dan duduk di kursi yang berada berseberangan dengan pria itu. “Apa kabar Mas,” sapa Amel. “Baik, dan semakin baik pas liat kamu juga baik-baik aja. Udah siap mau magang?” “Siap Mas. Tapi Amel tugas sama siapa?” “Kamu ambil Front office kan? Berarti sama Mila dan kawan-kawan, seperti dulu. Cuma bedanya, sekarang kamu harus lebih mengenal jenis-jenis kamar yang ada di sini, beserta harga, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Front Office.” “Siap Mas.” “Kamu nggak mau coba di kitchen? Atau sss?” “Kalo dapur kayaknya nggak deh, tapi kalo sss kayaknya mau Mas, kan nggak beda jauh sama FO.” “Ya udah, sekarang kamu ke kamar, beres-beres terus istirahat. Udah makan siang?” “Belum Mas.” “Ya udah, sekarang ke kamar dulu, nanti makan siang sama Mas.” “Oke.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN