Escape from Destiny

Kunjungan Ardian

“Mam, Amel mana?” tanya Jonathan yang baru saja tiba di rumah Amel.

“Ada di kamar Jo,” sahut Laras. “Eh kamu kemarin ke mana?”

“Ada sedikit urusan Mam. Kalo gitu Tian ke atas dulu ya.”

Jonathan meninggalkan Laras dan berjalan menaiki tangga. Setelah tiba di lantai dua, dia berbelok ke kanan dan meneruskan langkah menuju kamar Amel, dan langsung membuka pintu kamar gadis itu seperti biasanya.

“Mel?” panggil Jonathan seraya membuka kamar Amel.

“Keluar!” seru Amel sambil melempar bantal ke arah Jonathan.

“Kamu kenapa sih?” tanya Jonathan sambil menangkap bantal yang dilemparkan Amel.

“KELUAR!” seru Amel dengan suara keras.

Jonathan tidak mempedulikan amarah Amel dan tetap masuk ke dalam kamar sambil mendekap bantal di dadanya. Jonathan menghampiri Amel yang duduk di tempat tidur dengan wajah gusar. 

“Kamu kenapa lagi?” tanya Jonathan yang sudah berdiri dekat Amel.

“Nggak usah banyak ngomong! Keluar dari kamar gua! Gua nggak mau ngeliat elo! Benci …!”

“Kamu marah karena kemarin aku nggak ada di rumah?”

“Masih perlu nanya?!”

Amel berlutut di atas tempat tidur dan mencoba memukul Jonathan. Namun, dengan mudah Jonathan mengelak dan menangkap kedua tangan Amel, serta menggenggamnya. Amel meronta dan mencoba melepaskan tangannya, akan tetapi Jonathan malah menarik gadis itu dan memeluknya dengan lembut.

“Tolong dengerin aku dulu ya, bisa?” bisik Jonathan. “Kalo habis dengerin penjelasan aku, kamu masih mau marah, silakan.”

“Apaan?!”

“Ikut aku bentar,” ujar Jonathan sambil melepaskan pelukannya.

Jonathan memegangi tangan Amel hingga gadis itu berdiri dengan benar di atas karpet, setelah itu membimbing Amel menuju balkon, dan duduk di kursi.

“Mau ngomong apaan?!” ujar Amel setelah duduk.

“Aku tuh dari kemarin ikut Bang Firman nyari Sheila,”

“Ngapain nyari dia?!” sela Amel kasar. “Elo mau pacaran sama dia?!”

“Mel, kok ngomongnya gitu sih?” tegur Jonathan tetap sabar menghadapi kemarahan Amel.

“Terus elo ngapain nyari dia?!”

“Bang Firman itu selama ini nyari siapa yang udah neror kamu dan berusaha nyelakain kamu. Dan semua petunjuk ngarah ke dia. Makanya kemarin aku nyari dia, tapi nggak ketemu, malah dapet kabar kalo ada seorang pria yang udah bawa dia duluan.”

“Pria?” tanya Amel was-was.

“Hm, dan kata temennya Bang Firman, pria itu kalo jalan selalu pake tongkat.

“Tongkat?!” seru Amel.

Kali ini Amel benar-benar terkejut mendengar perkataan Jonathan. Pria yang selalu menggunakan tongkat yang dikenal Amel hanya satu orang, dan itu adalah tunangannya. Tapi seingatnya, dia tidak menceritakan apa-apa tentang motor yang hampir menabraknya, juga kiriman bunga dan kue pada Ardian. 

“Iya. Kata temennya Bang Firman, dia sempet liat pria itu nunggu di depan rumah Sheila dan langsung bawa dia dan pacarnya pergi.”

“Ke mana?”

“Nggak tau,”

“Jadi kemarin seharian elo berusaha nyari Sheila?”

“Kurang lebih begitu,” sahut Jonathan.

“Jadi semua ini ulah Sheila lagi?” tanya Amel yang tidak menyadari perubahan suara Jonathan saat menjawab pertanyaannnya tadi.

“Sepertinya gitu.”

“Terus apa yang mau elo lakuin?”

“Rencananya aku sama Bang Firman mau ke rumah dia malam ini, buat mastiin. Dan kalo bener, aku bakal bikin dia berhenti ganggu kamu.”

“Caranya?” tanya Amel penasaran.

“Kamu nggak perlu tau. Tapi aku pastikan kamu nggak akan pernah diganggu lagi sama dia.”

***

Setelah Jonathan pulang, Amel duduk termangu di tempat tidur. Di satu sisi dia senang ketika mengetahui sahabatnya akan mendatangi Sheila untuk membereskan masalahnya, akan tetapi di sisi lain, Amel cemas memikirkan perkataan Jonathan tentang pria bertongkat yang membawa Sheila. 

“Itu beneran Ardian bukan ya?” ujar Amel sendirian. “Kalo bener Ardian, dari mana dia tau tentang kejadian yang sekarang? Gua kan cuma cerita yang waktu itu doang,” lanjut Amel sambil mencubit dagu. “Mending gua ke bawah aja.”

Amel bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu. Namun, langkah kakinya langsung terhenti ketika mendengar nada dering dari ponselnya. Amel membalikkan badan dan berjalan ke meja nakas. Dia hanya diam memandangi layar ponsel yang memunculkan nama Ardian di sana. Amel tetap diam hingga panggilan berhenti. Namun, tak lama kemudian, ponselnya kembali berbunyi, dan muncul nama itu lagi. Dengan terpaksa, Amel mengambil ponsel dan menjawab panggilan pria itu.

“Halo?”

“Kamu sedang apa Amelia?”

“Tadinya mau ke bawah, tapi kamu telepon, jadi nggak jadi.”

“Kamu di kamar?”

“Iya, kenapa?”

“Saya sedang dalam perjalanan ke rumah kamu, sebentar lagi saya sampe di sana.”

“Kamu ke rumah?!” seru Amel terkejut.

“Iya. Ada yang ingin saya sampaikan ke kamu.”

“Kenapa nggak lewat telepon aja?” tanya Amel mencoba mencegah Ardian datang.

“Kamu nggak mau saya datang? Kenapa?”

“Eng …, gapapa, cuma kok tiba-tiba banget.”

“Saya membawa kabar baik untuk kamu, dan saya yakin kamu pasti suka.”

“Eng …, tentang apa ya?” 

“Nanti kamu juga pasti tau. Sekarang saya tutup teleponnya. Tunggu sebentar lagi, oke.”

Amel terdiam sambil memandangi ponsel di tangannya. Lehernya mendadak terasa dingin, dan bulu kuduknya meremang membayangkan Ardian yang sebentar lagi akan datang. 

“Gimana kalo Jojo tiba-tiba dateng? Gua mesti bilang apaan coba?” gumam Amel sendirian. “Apa gua tidur aja ya sekarang? Ah …, itu orang nggak akan percaya.”

Amel mengacak-acak rambutnya. Dia benar-benar bingung harus bagaimana. Amel berlari keluar kamar dan menuju ke balkon untuk melihat keadaan rumah Jonathan. 

“Metong gua, motor sama mobilnya ada dong,” ujar Amel panik. “Gua mesti apa coba.”

Tiba-tiba matanya melihat sedan putih milik Ardian berhenti di depan rumahnya. Seketika lututnya langsung terasa lemas dan tidak bertenaga. Amel berpegangan pada pinggiran balkon supaya tidak jatuh.  Amel melihat saat Ardian turun dari mobil dan berjalan dengan tongkatnya menuju ke pintu. Ardian terdiam sejenak dan memandang Amel yang masih berdiri di balkon, kemudian pria itu melambaikan tangannya kepada Amel sambil tersenyum kecil. Melihat senyum Ardian, perut Amel langsung bergejolak dan merasa mual yang amar sangat. Sambil membekap mulutnya, Amel berlari masuk ke dalam dan menuju kamar mandi yang berada di lantai atas.

Setelah mengeluarkan isi perutnya, dan mencuci muka, Amel menatap dirinya melalui cermin besar, dan mencoba menenangkan diri. Amel memejamkan mata dan berharap semoga Jonathan tidak datang ke rumahnya. 

Amel keluar dari kamar mandi dan melihat Brenda yang baru saja menutup pintu kamarnya.

“Ngapain lo?” tanya Amel.

“Nyari elo lah, emang apaan lagi?!”

“Mau ngapain nyari gua?” tanya Amel pura-pura tidak tahu.

“Di bawah ada Kak Ardian tuh. Dan gua cuma disuruh mami manggil elo.”

“Harus banget gitu gua ke bawah?” tanya Amel dengan wajah memelas.

Brenda memperhatikan wajah Amel yang terlihat pucat dan berantakan. Hatinya merasa jatuh kasihan melihat keadaan kakaknya itu.

“Sebenernya elo udah tau ya kalo dia dateng?’ tanya Brenda dengan suara pelan.

“Hm. Tadi gua liat pas mobilnya dateng.”

“Terus kenapa elo keluar dari kamar mandi? Bukannya langsung turun.”

“Tiba-tiba gua mual pas ngeliat dia senyum Cha,” sahut Amel lirih.

Merasa kasihan melihat Amel yang hampir menangis, Brenda berjalan menghampiri kakaknya dan memeluk Amel sambil menepuk-nepuk punggung Amel.

“Gua nggak bisa ngomong banyak Kak, karena gua nggak di posisi elo,” ujar Brenda. “Tapi, gua berharap banget bakal ada suatu keajaiban sehingga elo nggak harus nikah sama dia.”

“Semoga,” sahut Amel dengan suara parau.

“Sekarang kita turun ya,” bujuk Brenda.

“Gua takut Cha,” sahut Amel yang tidak bergeming dari tempatnya.

“Takut apaan?”

“Kalo Jojo tiba-tiba dateng gimana? Ini kan udah deket makan malam,” sahut Amel. “Mana tadi gua liat mobil sama motornya ada.”

“Gua rasa nggak akan dateng. Andai pun dateng, biar gua yang urus.”

Brenda mengambil tangan Amel dan menarik kakaknya menuju ke tangga. Mereka sudah cukup lama mengobrol. Brenda tidak ingin membuat Laras ke atas dan menegur mereka berdua karena tidak turun juga. Dengan terpaksa, Amel membiarkan adiknya menuntun dia ke bawah dan berjalan menuju ke ruang keluarga, di mana tampak Laras tengah mengobrol dengan Ardian.

“Nah, ini Lia nya udah dateng,” ujar Laras saat melihat Amel datang.

“Selamat malam Amelia,” sapa Ardian sopan.

“Malam juga,” sahut Amel.

“Saya tinggal dulu ya,” ujar Laras seraya berdiri. “Nak Ardian sudah makan?”

“Belum.”

“Bagaimana kalo makan malam bersama?”

“Maafkan saya, tapi saya nggak akan lama di sini,” tolak Ardian dengan sopan.

“Ah …, begitu. Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu.”

Laras meninggalkan ruang keluarga sambil menarik tangan Brenda supaya mengikutinya.  Brenda masih sempat menoleh ke arah Amel sambil menganggukkan kepala sebelum melangkah keluar.

“Kamu terlihat sedikit lebih kurus dari yang terakhir saya lihat,” ujar Ardian yang sejak tadi memperhatikan Amel. “Apa kamu makan dengan benar?”

“Mungkin cape kuliah,” sahut Amel sekenanya.

“Benarkah?” selidik Ardian.

“Iya.”

“Kamu berencana magang di mana?” tanya Ardian.

“Belum tau,” sahut Amel yang tidak siap dengan pertanyaan yang diajukan Ardian. “Katanya ada yang mau disampein, apaan?”

Ardian memajukan duduknya dan menatap Amel dengan tajam, seolah sedang mencari kebohongan di mata gadis itu. Amel yang jengah langsung memalingkan kepala, menghindari tatapan pria itu.

“Kenapa kamu nggak jujur pada saya?” tanya Ardian lembut, akan tetapi terkesan datar dan dingin.

“Apanya?” 

“Kenapa kamu nggak bilang sama saya kalo kamu kembali menerima ancaman dan hampir saja celaka?!”

Amel tercekat mendengar perkataan Ardian. “Kamu tau dari mana?”

“Dari siapa kamu nggak perlu tahu,” sahut Ardian. “Saya hanya tidak suka kamu diam dan tidak mengatakan apapun pada saya.”

“Saya nggak mau ngerepotin kamu,” sahut Amel pelan.

“Tapi kamu dengan sukarela merepotkan sahabat kamu!” tukas Ardian datar.

Amel kembali tercekat mendengar perkataan Ardian barusan. “Kok kamu tau?”

“Berikan saya alasan yang masuk akal Amelia?! Bukan malah berbalik tanya!”

“Karena saya sudah terbiasa dengan Jojo. Kan saya udah pernah bilang kalo dia itu teman main saya sejak kecil. Selalu bersama sejak kecil, membuat saya selalu bercerita sama dia, bahkan tanpa saya bercerita, dia seolah tahu semua yang saya rasain.”

“Apa kamu pernah menceritakan tentang saya ke sahabat kamu?!”

Amelia menggelengkan kepala sebagai jawaban. Sebisa mungkin, Amel tidak ingin Jonathan mengetahui tentang Ardian, bahkan jika harinya sudah tiba, Amel tetap berharap Jonathan tidak akan pernah tahu, walaupun rasanya akan mustahil.

“Kenapa? Kamu malu dengan keadaan saya? Atau karena kamu punya perasaan lain sama dia?!”

“Saya hanya belum siap kalo Jojo tahu, terus menjauhi saya dan nggak mau temenan lagi,” sahut Amel jujur.

Ardian terus menatap manik mata Amel saat gadis itu menjelaskan, dan mencoba mencari kebohongan di sana. Namun, dia tidak mendapatkan itu, hanya kejujuran yang terpancar dari kedua bola mata Amel.

“Ah …, ternyata begitu.”

“Saya harap kamu nggak akan ngelarang saya untuk terus main sama Jojo, karena cuma dia teman yang bisa saya percaya,” ujar Amel.

“Tujuan saya datang ke sini adalah untuk memberitahu kamu sesuatu, bukan untuk membahas masalah sahabat kamu,” sahut Ardian yang tidak ingin membahas lebih jauh tentang Jonathan.

“Tentang apa?”

“Saya berani menjamin jika mulai saat ini kamu nggak akan pernah lagi mendapat gangguan dari gadis itu,” ujar Ardian.

“Emang apa yang udah kamu lakuin?” tanya Amel penasaran.

“Sshh …, tidak baik untuk mengorek sesuatu Amelia,” tegur Ardian sambil menyeringai.

Seketika perut Amel kembali terasa mual melihat seringai di bibir Ardian. Namun, dia mencoba menahannya dengan mengembuskan napas perlahan. 

“Saya harap mulai sekarang kamu akan kembali ceria seperti dulu, dan tidak perlu lagi memikirkan tentang gadis itu, oke?”

“Kamu yakin Sheila nggak akan ganggu saya lagi?” tanya Amel memastikan.

Ardian mengangguk sebagai jawaban.