Semua Terasa Hampa

1765 Kata
“Amel, ikut saya sebentar,” ujar Teddy dengan nada formal pada Amel yang tengah bekerja. “Iya Pak,” sahut Amel sopan. Amel meninggalkan tempatnya dan berjalan mengikuti Teddy yang sedang mengarah ke restoran hotel. Hatinya sedikit khawatir dengan Teddy memanggilnya di jam kerja, apalagi dia melihat Teddy membawa sebuah map bening di tangannya. “Kita mau ngapain Mas?” tanya Amel setelah duduk di salah satu meja. “Mau ngobrol tentang kerja kamu selama sebulan ini.” “Memang ada masalah ya Mas?” tanya Amel sedikit khawatir. Sejak hari pertama magang di sini, Amel berusaha bekerja dengan sebaik-baiknya. Dia ingin mendapatkan nilai yang baik, supaya dapat lulus dan memiliki resume yang baik pula. Karena itu dia merasa khawatir mendengar perkataan Teddy.  “Nggak ada, kamu tenang aja Mel,” sahut Teddy yang melihat kepanikan di wajah Amel. “Terus kenapa dong?” “Ada beberapa hal yang harus kamu ubah Mel, terutama nada bicara kamu saat sedang menghadapi tamu.” “Masih kedengeran jutek ya Mas?” tanya Amel sambil meringis. “Sedikit,” sahut Teddy. “Apalagi kalo yang datang dari awal ngomongnya kurang ramah. Tanpa kamu sadari, kamu jadi jutek, bukan cuma itu aja, tatapan mata kamu jadi tajam dan nggak ramah lagi.” “Maaf Mas.” “Di dalam dunia perhotelan, Front Office itu memegang peranan yang cukup penting Mel. Orang yang bekerja di FO itu harus punya mental yang kuat, juga harus bisa tetep ramah walaupun ada tamu yang rewel. Kamu juga harus bisa tetep ramah walaupun keadaan lagi nggak enak, ataupun ketika kamu sendirian, dan ada beberapa tamu yang datang sekaligus. Di situ kamu dituntut untuk bener-bener bisa mengatasi keadaan.” “Iya Mas.” “Kamu juga harus bisa berpikir cepat saat kamar penuh dan tetep ada tamu yang datang. FO juga harus punya feeling yang kuat saat mau memberikan potongan harga untuk kamar, dan masih banyak lagi.” “Iya Mas. Amel akan berusaha lebih baik lagi,” ujar Amel mantap. “Satu yang Mas suka dari kamu, Mel. Kamu tuh nggak gampang nyerah, dan mau terima setiap kritik dari orang lain. Itu nilai plus buat kamu.” “Makasih Mas,” ujar Amel tersipu. “Gimana, kamu betah di FO? Kalo udah selesai magang di FO, mau coba belajar sss nggak?” “Belum tau Mas. Amel sendiri lebih cocok di FO. Nanti kalo di sss yang ada kerjaannya makan mulu.” "Hahaha… . " Teddy terbahak mendengar jawaban Amel.  "Kok ketawa? Amel kan jawabnya serius Mas?" "Jawaban kamu polos banget Mel," sahut Teddy. "Ngomong-ngomong, gimana kabar Jo di Bali? Betah dia di sana?" "Ah …, nggak usah bahas Jojo. Amel males banget sama dia!" "Kenapa?" "Jojo curang. Seneng-seneng sendiri di sana," sahut Amel dengan wajah ditekuk.  “Kan dia di sana juga magang Mel, bukannya main-main.” “Nggak tau ah! Amel males ngomongin dia. Ngomong yang lain aja Mas, atau kalo udah nggak ada yang mau diomongin lagi, Amel balik kerja aja ya?” “Oh, oke. Kalo gitu Mas juga mau lanjut kerja,” sahut Teddy. “Kamu selesai kerja jam enam kan?”  “Iya Mas, kenapa?” “Nanti malam Mas mau makan seafood, kamu mau ikut?” “Eng …, mau Mas.” “Oke, nanti jam tujuh Mas jemput kamu.” *** Jam setengah tujuh Amel baru bisa meninggalkan resepsionis, karena tadi dia masih harus membereskan sedikit pekerjaan. Tiba di mess Amel langsung mandi dan berganti pakaian. Dia tidak ingin Teddy menunggu terlalu lama, dan juga karena perutnya sudah terasa lapar. Sejak tahu akan pergi makan seafood, Amel sengaja mengurangi makan, supaya perutnya dapat menampung makanan lebih banyak. Tengah menyisir rambut, pintu kamarnya diketuk dari luar. Amel menaruh sisir dan berjalan untuk membukakan pintu. “Udah siap?” tanya Teddy. “Dikit lagi Mas,” sahut Amel. “Tunggu bentar ya.” Amel berlari ke meja untuk melihat penampilannya sekali lagi, mengambil tas selempang dan kembali ke pintu yang dibiarkan tetap terbuka.  “Ayo Mas,” ujar Amel setelah mengunci pintu kamar. “Ayo. Kamu jalan duluan Mel.” Amel berjalan di depan Teddy. Mereka meninggalkan resort dan berjalan santai menuju tempat makan yang dimaksud Teddy. Sepanjang perjalanan, Teddy sering dibuat tersenyum melihat tingkah Amel yang terkadang mirip seperti anak kecil. Amel akan menendang batu kecil yang terlihat oleh matanya, dan berjalan menghampiri batu itu dan menendangnya lagi. Begitu terus hingga mereka tiba di tempat makan. Amel masuk ke dalam tenda yang terletak di pinggir jalan dan langsung memilih tempat yang berada di pinggir tenda dan menghadap ke jalan. Teddy hanya diam dan menuruti pilihan gadis itu. Sejujurnya sejak Amel datang, hari-harinya terasa lebih berwarna dan menyenangkan. Teddy pun merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi gadis itu, apalagi, Jonathan sempat menelepon dan meminta dia untuk mengawasi Amel. Teddy yang memang sudah menganggap Amel seperti adiknya sendiri, tentu saja tidak merasa keberatan. “Mas, kita mau makan apa?” tanya Amel setelah melihat Teddy duduk. “Kamu mau makan apa?” “Mm …, banyak,” sahut Amel setelah berpikir sejenak. “Banyak kan relatif Mel. Coba sebutin apa aja yang mau kamu makan.” “Tapi nanti duit Mas habis.” “Ya nggak akan lah. Emang kamu mau pesen semuanya?” “Jadi bener Amel boleh pesen apapun?” tanya Amel sambil menatap Teddy. “Iya.” “Janji nggak akan marah?” “Iya.” “Oke.” Amel mengambil daftar menu dan menunjuk apa saja yang ingin dia makan. Teddy hanya tertawa melihat kelakuan Amel. Pelayan yang berdiri di samping mereka, mencatat setiap pesanan yang disebutkan Amel, dan terkadang memberi penjelasan tentang masakan yang kurang dimengerti gadis itu. “Kamu yakin bisa ngabisin semuanya?” tanya Teddy setelah pelayan pergi. “Nggak juga sih, tapi kan ada Mas,” sahut Amel santai. “Jangan-jangan kamu selalu begini ya ke Jonathan?” tanya Teddy hati-hati. Amel yang sedang tertawa langsung terdiam mendengar perkataan Teddy. Wajahnya berubah sendu ketika nama Jonathan diucapkan. Sejujurnya Amel sangat merindukan pemuda itu, dan berharap jika saat ini Jonathan ada bersamanya di sini.  “Iya Mas. Dia juga nggak pernah marah kalo Amel nggak ngabisin apa yang udah dipesan.” “Kamu kangen sama dia?” tanya Teddy yang tidak tega melihat wajah mendung Amel. “Iya. Dan akhir-akhir ini Amel ngerasa kayak dia ngejauh Mas.” “Ah masa?” “Iya. Biasanya kalo Amel kirim pesen, pasti langsung dibaca dan dibalas. Tapi sekarang kadang cuma dibaca doang, kalo nggak dibacanya lama banget. Telepon juga gitu. Yang biasanya sesibuk apapun, Jojo pasti langsung angkat, tapi sekarang nggak.” “Mungkin dia lagi sibuk kerja,” ujar Teddy mencoba menghibur. “Mungkin, Amel juga nggak tau Mas. Tapi kan jadinya sedih. Yang biasa ngelakuin apa-apa bareng dia, sekarang nggak lagi. Semua rasanya hampa Mas.” “Sabar dulu aja Mel. Siapa tau nanti kalo Jonathan udah bisa adaptasi dengan keadaannya di sana, dia bisa kayak dulu lagi.” “Semoga Mas,” ujar Amel. “Sekarang Amel mau makan dulu,” lanjutnya saat melihat pelayan datang membawakan pesanan mereka. *** Selesai makan, Teddy mengantarkan Amel hingga di depan kamar, dan menunggu sampai gadis itu masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu, barulah dia berjalan ke kamarnya sendiri yang berada satu lantai di atas tempat Amel. Selesai membersihkan muka dan berganti pakaian, Amel berbaring di tempat tidur dan memeriksa ponselnya. Tadi sebelum pergi, dia mengirimkan pesan pada Jonathan dan memberitahu pemuda itu jika dirinya akan pergi makan bersama Teddy. Namun, sampai sekarang pesan yang dikirimkan Amel sama sekali belum dibaca, dan iu membuat hatinya semakin sedih. “Elo kenapa sih Jo? Kenapa ngejauh?” gumam Amel sambil terisak pelan. “Gua tuh kangen banget sama elo tau!” Tengah bergumam sendiri, ponsel yang sedang berada di tangannya berbunyi. Dengan malas Amel melihat nama di layar yang dia sendiri sudah tahu siapa yang menelepon. Entah mengapa, akhir-akhir ini Ardian menjadi sering menelepon atau mengirimkan pesan. Entah sekedar bertanya apakah Amel sudah makan, ataupun bertanya tentang kegiatannya sepanjang hari.  “Halo?” sapa Amel setengah hati. “Kamu sedang apa Amelia? Sudah makan?” “Mau tidur,” sahut Amel sedikit ketus. “Ah …, berarti saya mengganggu ya?” sahut Ardian tetap sabar. “Sedikit.” “Kamu sedang marah?” tanya Ardian. “Nggak kok,” kilah Amel. “Tapi nada suara kamu terdengar berbeda, tidak seperti biasanya.” “Nggak ah, biasa aja,” bantah Amel. “Kenapa telepon?” “Saya hanya mau denger suara kamu Amelia,” sahut Ardian. “Rasanya nggak sabar menunggu masa magang kamu selesai.” Deg! Jantung Amel rasanya mau copot saat mendengar perkataan terakhir Ardian. Tanpa pria itu meneruskan, Amel sudah tahu kelanjutannya. Magang selesai, dan tidak lama lagi kuliahnya pun akan selesai. Setelah lulus, pasti pria itu akan langsung membicarakan tentang pernikahan. Amel memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang sudah mengancam keluar. “Kenapa diam Amelia? Apa kamu tidak suka dengan perkataan saya?” “Gapapa, cuma mata rasanya udah makin berat. Saya mau tidur dulu.” “Oh, maafkan karena saya kurang peka. Selamat malam Amelia, dan jangan lupa mimipikan saya.” Amel buru-buru memutskan panggilan telepon dan langsung berlari ke kamar mandi. Perutnya terasa mual saat Ardian memberikan suara ciuman sebelum menutup telepon. Amel memuntahkan semua isi perutnya di closet, dan terduduk lemas setelahnya. Amel menangis tanpa suara memikirkan nasibnya yang sebentar lagi harus menikah dengan Ardian. Sampai dengan hari ini, dia belum bisa membuka hatinya untuk pria itu. Amel tidak bisa memungkiri jika Ardian adalah pria yang baik, lembut, dan juga perhatian. Namun, setiap kali terbayang akan wajah Ardian, semua hal yang baik tentang pria itu langsung sirna. Setelah rasa mualnya hilang, Amel berdiri dan kembali ke tempat tidur dan mencoba melupakan semuanya. Sementara di kamarnya, Jonathan memandangi ponsel dengan hati berat. Dia sangat mengenal Amel, dan tahu jika gadis itu sedang kesal. Dan Jonathan yakin, rasa kesal itu ditujukan untuk dirinya yang belum membaca pesan Amel. Sebenarnya berat untuk dirinya menjauh dari gadis itu, akan tetapi dia dengan terpaksa harus melakukan hal itu untuk menguji ketulusan hati Amel terhadap sosok Ardian. “Maafin aku Candy,” gumam Jonathan dengan nada sendu. “Tapi aku harus ngelakuin ini ke kamu. Aku berharap kamu memang adalah pendamping terbaik buat aku.” Jonathan bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela besar dan menatap pemandangan malam ibukota Singapur dengan hati gundah. Trauma akibat ditinggalkan ibunya demi pria lain yang lebih mapan dan tampan dari ayahnya, meninggalkan bekas luka yang sangat dalam di hatinya. Perlahan hatinya membeku terhadap lawan jenis, hanya Amel satu-satunya gadis yang dapat membuat hatinya hangat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN