Bersenang-senang Sejenak

1934 Kata
Sejak hari pertunangan, Amel mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa seolah tidak terjadi apapun. Hubungannya dengan Rio juga masih terus berlanjut, karena dalam pemikirannya saat dirinya harus bersama Ardian masih sangat lama. Dua bulan telah berlalu dan Amel mulai bisa melupakan sosok Ardian yang cukup membuatnya bergidik setiap kali teringat akan sosok pria itu. Apalagi tunangannya tidak pernah menelepon ataupun mengiriminya pesan. Sabtu ini Amel merasa bosan di rumah karena Rio sedang pulang ke Cianjur. Karena itulah, sekitar jam delapan pagi, Amel mendatangi rumah Jonathan. Dia ingin mengajak sahabatnya untuk pergi bermain. Amel menemukan Jonathan sedang duduk di dekat kolam renang di samping kanan rumah. “Jo, jalan yuk,” ujar Amel. Jonathan menoleh ketika mendengar suara Amel, dan melihat gadis itu sudah berpakaian rapi. “Tumben ngajakkin aku, Rio ke mana?” tanya Jonathan sambil lalu. “Lagi pulang ke Cianjur, mau ada acara di sana,” ujar Amel sambil duduk di samping sahabatnya. “Oh ….” “Kenapa oo nya panjang banget sih?!” ujar Amel tidak suka. “Gapapa, tumben aja. Biasanya kan dia selalu ngikutin kamu ke mana aja, dan nggak pernah absen ngapelin kamu.” “Kok elo ngomongnya gitu sih?! Elo nyindir gue?!” omel Amel kesal. “Kan …, kan, mulai kan …. Aku ngomong serius dibilang nyindir. Kenapa sih kita harus terus debat kalo ngomongin Rio?” tanya Jonathan. “Habis elonya duluan sih! Gue tau elo nggak suka sama dia, makanya gue jadi terus mikir negatif kalo elo nanya tentang dia.” “Sekarang aku tanya Mel, kamu jawab jujur. Semenjak jadian sama Rio, banyak hal positif atau negatif yang kamu dapet?” “Entah Jo,” sahut Amel setelah berpikir sesaat. “Coba elo pikirin baik-baik. Karena hubungan yang sehat itu harus saling membangun, dan memberi dampak positif.” “Udah ah, kepala gue jadi mumet. Mending kita keluar, temenin gue ya Jo,” rayu Amel sambil memasang senyum manis. “Elo mau ke mana?” tanya Jo yang tidak tega menolak permintaan Amel. “Ke Puncak yuk, mumpung masih rada pagi nih.” “Pulangnya?”  “Ntar malem lah.” “Nggak sekalian ke Cianjur aja Mel, terus mampir ke rumah Rio, numpang makan sama minum,” sahut Jonathan.  “Tuh kan, elo mulai lagi ngajak ribut!” sahut Amel ketus. “Aku nggak mau kalo ke sana, macet.” “Terus elo maunya ke mana?” tanya Amel. “Ke Dufan aja yuk,” usul Jonathan. “Ayo!” seru Amel bersemangat. “Sana pulang, bilang sama mama dulu,” usir Jonathan.  “Terus elo?” “Ganti baju dan siap-siap lah.” Jonathan menarik tangan Amel dan mendorongnya masuk ke dalam rumah, dan terus mendorong gadis itu sampai ke teras. Dia menunggu sampai gadis itu berjalan menuju ke pintu kecil. Setelah itu Jonathan berjalan menuju kamarnya untuk bersiap-siap. Sementara itu Amel berjalan menuju rumah dengan hati gembira. Saat memasuki rumah, dia berpapasan dengan Laras yang baru turun dari lantai atas. “Mam, Amel mau pergi dulu ya,” ujarnya pada Laras. “Ke mana? Sama siapa?” tanya Laras. Mendengar pertanyaan Laras, kegembiraan di hati Amel langsung menguap. Sejak bertunangan, mamanya menjadi cerewet dan selalu mencampuri urusannya jika dia mau keluar rumah. “Mam, kenapa sih sekarang kalo Amel mau pergi selalu ditanya-tanya? Mama nggak percaya sama Amel?” “Bukan begitu Lia. Masalahnya sekarang kan kamu harus belajar menghargai perasaan Ardian,” “Toh dia nggak tau, kenapa Mama mesti jadi ribet sih?!” sela Amel dengan nada tidak suka. “Andaikan pun dia nggak tau, tapi kamu harus menghargai sebuah komitmen Lia. Dan Mama juga berharap kamu mulai bisa mengurangi waktu dengan Rio, bahkan kalo bisa menyudahi hubungan kalian, karena itu nggak benar.” Mendengar perkataan Laras, Amel langsung emosi dan menjawab mamanya dengan berapi-api. “Emang maunya Amel tunangan sama dia?! Bukan kan?! Kalo nggak karena papa yang bikin salah, nggak mungkin nasib Amel jadi begini!” “Amelia Cantika Wongso!” seru Laras sambil menyebut nama anaknya dengan lengkap. Amel terkejut mendengar Laras memanggilnya dengan nama lengkap dan nada datar.  Jika Laras seperti itu, Amel tahu Laras sangat marah. Dia tahu jika ucapannya sedikit keterlaluan, tapi Amel juga merasa tidak adil dengan keputusan Thomas. “Maaf Mam,” sahut Amel lirih. Bukan maksudnya ingin berkata-kata seperti tadi, akan tetapi dirinya hanya belum bisa menerima takdir yang rasanya begitu kejam ini. Apalagi jika harus putus dengan Rio, Amel membayangkan hidupnya akan semakin suram. “Kalo kamu mau pergi sama Jonathan, Mama nggak masalah Lia,” “Kenapa?! Kenapa kalo sama Jojo boleh?!” sela Amel. “Karena dia itu temen kamu, sahabat kamu, dan sudah dianggap seperti keluarga sendiri! Mama yakin Ardian juga nggak akan keberatan dengan hal itu. Berbeda dengan Rio yang jelas-jelas memiliki hubungan yang berbeda.” “Kalian jahat!” seru Amel benar-benar kesal. Amel segera berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya. Laras menggelengkan kepala melihat ulah anaknya yang terkadang keras kepala dan masih seperti anak kecil, walau usianya sudah tujuh belas tahun. “Amel kenapa Mam?” tanya Jonathan yang baru masuk ke dalam rumah. Tadi dirinya sempat mendengar teriakan Amel dari luar, karena itu dia bergegas masuk.  “Entahlah Jo,” sahut Laras putus asa. “Mama nggak mau cerita sama Jojo?” tanya pemuda itu lembut sambil memeluk Laras dari belakang. “Bukan nggak mau cerita Jo, tapi mungkin belum saatnya.” “Pasti masalah besar ya?” “Untuk saat ini, Mama mau minta tolong kamu jaga Amel baik-baik ya, dan tolong hibur dia,” pinta Laras dengan suara lelah. “Siap Mam,” sahut Jonathan sambil mengecup pipi Laras dengan penuh kasih. “Tolong awasi juga hubungannya sama Rio.” “Lho, emang kenapa Mam? Bukannya Mama setuju?” Laras mengembuskan napas. “Dulu iya Jo, tapi sekarang secepat mungkin Amel harus memutuskan hubungannya dengan Rio.” “Karena?” tanya Jonathan tidak mengerti. Laras terdiam dan bingung harus menjawab apa. Dia tidak mungkin menceritakan tentang keadaan keluarganya pada Jonathan, walaupun pemuda ini sudah seperti anaknya sendiri. Laras juga belum siap jika Jonathan mengetahui kalau Amel sudah bertunangan dengan orang lain. Sedikit banyak, dia tahu jika pemuda yang sedang memeluk dirinya mempunyai perasaan yang berbeda terhadap putrinya. Dia tidak ingin Jonathan menjauh di saat seperti sekarang, karena dia masih membutuhkan Jonathan untuk menjaga dan melindungi Amel. “Siap Mam,” ujar Jonathan seolah mengerti kegundahan hati Laras.  “Makasih ya Jo,” ujar Laras tulus. Entah bagaimana jadinya jika tidak ada Jonathan. Pemuda tanpa banyak bicara ini memiliki kepekaan cukup tinggi dan selalu ada untuk putrinya. Tanpa diminta pun, Laras yakin kalau Jonathan rela memberikan apapun untuk putrinya. Karena itu sebenarnya Laras sedikit menyesali Thomas yang tidak mau menceritakan masalahnya pada keluarga Jonathan. Dia yakin, andai Handoko mengetahui semuanya, pria itu pasti mau menolong, dan hatinya akan bahagia jika tahu yang akan bersanding dengan Amel adalah Jonathan, andaikan syarat yang diajukan oleh Handoko sama seperti yang diajukan oleh Hartono. “Jadi pergi nggak Jo?’ tanya Amel sedikit ketus saat dirinya tiba di hadapan Jonathan dan Laras. Jonathan menatap wajah Amel, dan melihat mata gadis itu yang sedikit memerah, seperti habis menangis. “Mam, Jojo pergi dulu ya sama Amel,” ujarnya sambil melepaskan pelukannya. “Kalian mau ke mana?” tanya Laras. “Mau ke Dufan Mam.” “Baiklah. Kalian hati-hati ya.” “Siap Mam,” sahut Jonathan. Amel berjalan duluan menuju luar rumah dan tidak berpamitan pada Laras. Hatinya masih merasa kesal pada mamanya. “Motor lo mana?” tanya Amel saat Jonathan sudah tiba juga di luar. “Kita pake itu Mel,” sahut Jonathan sambil menunjuk ke arah mobil SUV hitam. Amel melihat mobil milik Jonathan hadiah ulang tahunnya yang jarang digunakan. Jonathan lebih senang menggunakan motor, karena lebih cepat begitu alasannya dulu. “Tumben amat elo bawa mobil?” “Hm.” “Mentang-mentang udah punya SIM, belagu deh,” ledek Amel. “Ayo.” Jonathan menarik tangan sahabatnya menuju mobil, dan membukakan pintu samping depan untuk Amel. Setelah gadis itu duduk, Jonathan menutup pintu dan berjalan memutari mobil untuk naik. Jonathan mengendarai mobil menuju kawasan Ancol. Jalanan sedikit macet karena ini adalah hari Sabtu, dan banyak orang yang ingin berlibur akhir pekan. Sepanjang perjalanan, Jonathan lebih banyak diam. Dia tidak ingin mengganggu Amel yang terlihat sedikit murung. Setibanya di Ancol. Jonathan mengemudikan mobil menuju ke kawasan Dufan, dan memarkir mobilnya. “Ayo turun,” ujar Jonathan sambil membuka pintu. Amel mengikuti Jonathan  berjalan menuju pintu masuk. Mereka berdiri mengantri di loket untuk membeli tiket masuk. “Ah …., senangnya bisa ngirup udara segar,” gumam Amel sambil merentangkan tangannya saat sudah masuk ke dalam Dufan. “Seneng banget,” ledek Jonathan sambil mencubit hidung Amel. “Gue ngerasa merdeka banget Jo, bisa keluar sebentar dari rumah,” sahut Amel sambil berjalan bersisian dengan Jonathan. “Kenapa emangnya?” “Kita mau main apa dulu?” tanya Amel yang enggan menjawab pertanyaan Jonathan. “Bebas,” sahut Jonathan. “Hari ini adalah milik kamu.” “Bener?” tanya Amel. “Hm.” “YEAY!” Amel bersorak kegirangan. Tanpa menunggu Jonathan, Amel berlari menuju ke wahana Tornado terlebih dahulu. Jonathan mengikuti Amel di belakang sambil mengawasi gadis itu. Ketika tiba di sana, antrian sudah cukup panjang sehingga mereka harus ikut mengantri hingga tiba giliran. “AA …!” Amel berteriak sekencangnya membuang semua sesak yang dia rasakan. Jonathan yang duduk di samping Amel hanya diam saat mendengar teriakan gadis itu. Dia tetap diam sampai wahana mereka berhenti dan mereka berjalan keluar. Selama beberapa waktu, Amel dan Jonathan terus menikmati permainan yang ada di sana. Jonathan membiarkan Amel yang memilih ingin naik apa tanpa protes sedikit pun. “Jo, laper,” ujar Amel. “Mau makan apa?”  “Apapun. Kayaknya kalo dikasih sapi seekor juga habis,” sahut Amel sambil tertawa riang. “Emang kuat?” ledek Jonathan. “Kuat. Gue laper banget.” “Rakus.” “Biarin,” sahut Amel sambil meleletkan lidahnya. Jonathan mengajak Amel menuju tempat makan siap saji yang ada di sana dan memesan menu yang diinginkan oleh gadis itu. “Emang ini bakalan habis semua?” tanya Jonathan setelah mereka duduk. “Habis,” sahut Amel dengan yakin. “Serius?” Amel yang sudah membuka dan menggigit burger menganggukkan kepalanya. Jonathan kemudian juga ikut menikmati makanan yang dibeli. Saat melihat saus yang belepotan di sudut bibir Amel, Jonathan mengambil tisu dan mengelapnya dengan lembut. Amel terpana dengan perlakuan Jonathan. Hatinya langsung meraa berdebar dengan apa yang dilakukan sahabatnya. Padahal ini bukan pertama kalinya Jonathan bersikap seperti sekarang, akan tetapi entah kenapa kali ini rasanya sangat berbeda. Bahkan dengan Rio rasanya biasa saja. “Kok bengong?” tanya Jonathan. “Gapapa,” sahut Amel. “Emang belepotan banget ya?” “Hm, kayak anak kecil,” goda Jonathan. Amel menatap wajah Jonathan lekat-lekat. Tiba-tiba dia baru menyadari betapa tampannya Jonathan, serta begitu lembut saat memperlakukan dirinya, dan juga sangat sabar dalam menghadapi dirinya yang sering rewel. “Ah, andai Ardian itu setampan Jojo, gue nggak akan pusing kayak sekarang.” Amel membatin. “Woy! Ngelamun!” ujar Jonathan sambil melambaikan tangannya di depan wajah Amel. “Apaan sih!” sentak Amel yang malu karena ketahuan melamun. “Mikirin apa sih?” “Cerewet! Pengen tau aja!” “Kamu cantik kalo lagi tersipu kayak sekarang Mel,” goda Jonathan. “Apaan sih! Nggak mempan gombalan elo ke gue!” Amel bergegas bangkit dan berjalan menjauh dari Jonathan. Dirinya benar-benar merasa gugup dipuji seperti itu oleh Jonathan. “Gue kenapa sih?! Masa dibilang gitu aja ma dia jadi salah tingkah begini! Padahal biasanya datar aja!” gumam Amel. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN