Hari yang Suram

1986 Kata
Pagi ini Amel terbangun dengan hati yang berat. Semalam setelah acara pertunangan, dia tidak dapat memejamkan mata hingga dini hari. Dirinya masih tidak dapat percaya jika sekarang dia sudah bertunangan dengan seorang pria yang usianya terpaut jauh dan dengan kondisi fisik yang tidak sempurna. Namun, jika mengingat bahwa dengan bertunangan, dia sudah dapat membantu ayahnya, perasaan Amel sedikit terhibur karena artinya mereka tidak akan lagi memiliki hutang pada bank. Amel duduk di tempat tidur dan memandangi cincin rotan di jari manis kirinya. “Gimana kalo Rio tau? Gue mesti bilang apa sama dia? Dan gimana caranya gue mesti putusin Rio?” Amel berbicara sendirian. Kemudian dia melepaskan cincin dan membuka laci meja nakas serta menaruh benda yang membuatnya gundah di sana. “Gue masih punya waktu tujuh tahun kan,” gumamnya. “Maaf, tapi gue nggak mau pake ini, gue mau nikmatin waktu yang gue punya tanpa mikirin itu orang.” Tepat ketika dia menutup laci meja nakas, pintu kaca kamarnya terbuka dan Jonathan melangkah masuk ke dalam. Jonathan terlihat sangat tampan dan segar, rambutnya juga masih terlihat basah. “Tumben udah bangun,” sapa Jonathan sambil duduk di tempat tidur. “Udahlah. Kenapa?” “Kamu udah sembuh Mel?”  “Udah mendingan.” “Cari sarapan yuk?” “Males ah, masih pengen tidur,” sahut Amel. “Eh elo kemarin ke mana sih? Balik kapan?” “Aku pergi ke rumah sodara yang di Bandung, semalem udah balik lagi kok, kenapa?” “Gapapa,” sahut Amel sambil merebahkan kembali tubuhnya di tempat tidur. “Kamu habis ada acara?” tanya Jonathan yang melihat kebaya yang semalam dipakai Amel tergantung di pintu lemari. “Nggak ada.” “Itu apaan?”  tanya Jonathan sambil menunjuk ke arah kebaya. “Oh itu …, eng itu punya mama, titip di kamar gue,” sahut Amel asal karena bingung harus menjawab apa. “Oh ….” “Elo jadi mau beli sarapan?” tanya Amel mengalihkan perhatian. “Katanya kamu nggak mau?” “Mau lah. Gue ganti baju dulu ya.” “Sekalian mandi aja Mel, aku tungguin kok.” Amel bergegas bangkit dan berlari ke kamar mandi. Jonathan memperhatikan sikap Amel yang sedikit berbeda, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Dan wajah gadis itu juga terlihat sedih serta tertekan. “Pasti nyembunyiin sesuatu,” gumam Jonathan sambil merebahkan dirinya di tempat tidur. Lima belas menit kemudian, Amel keluar dari kamar mandi, dengan memakai kaos putih dan celana jeans hitam. “Ayo,” ujar Amel sambil menarik tangan Jonathan. Pemuda itu berdiri dan berjalan mengikuti Amel keluar dari kamar dan berjalan ke bawah. “Kalian mau ke mana?” tanya Laras saat melihat Jonathan dan Amel berjalan menuju ke pintu utama. “Mau nyari sarapan Mam,” sahut Amel. “Kan kamu belum sembuh bener Mel?” “Gapapa Mam, siapa tau kalo kena udara pagi jadi makin sembuh.” “Ya sudah, hati-hati. Jo, Mama titip Amel ya.” “Siap Mam.” Jonathan dan Amel meneruskan langkah menuju teras, tempat Jonathan memarkir motornya. Jonathan menyerahan helm pada Amel, kemudian dia memakai helm miliknya sendiri. “Mau ke mana kita?” tanya Jonathan setelah Amel duduk di motor. “Terserah, yang penting keluar dari rumah ini,” sahut Amel yang langsung melingkarkan tangannya di pinggang Jonathan. Tanpa banyak kata Jonathan melajukan motor meninggalkan rumah dan mulai mencari-cari tukang makanan di sekitar komplek.  Jonathan menghentikan motor di dekat sport center karena di sana ada beberapa tuang makanan yang masih berjualan. “Kamu mau makan apa?’ tanya Jonathan setelah mereka turun dari motor. “Nggak tau, bingung,” sahut Amel. Jonathan menggandeng tangan kiri Amel dan menuntun gadis itu menuju jejeran gerobak makanan. Saat berjalan, Amel merasa Jonathan meraba jari manis nya dan seperti memeriksa. Amel mengerutkan kening. Emang baru pake semalam udah ada bekasnya? Dia nggak mungkin tau kan?”  batin Amel. “Makan bubur ayam aja mau?” usul Jonathan. “Boleh, kayaknya enak juga tuh.” Jonathan membimbing Amel menuju gerobak tukang bubur dan masuk ke dalam terpal yang dijadikan tudung supaya pembeli dapat makan di sana. “Pak bubur ayamnya dua ya,” ujar Jonathan pada penjual bubur ayam. “Siap.” Tukang bubur langsung menyiapkan pesanan mereka. Sementara itu, Jonathan menarik tangan Amel untuk duduk berseberangan “Muka kamu jadi tirus banget Mel, jelek,” ujar Jonathan yang sejak tadi memperhatikan sahabatnya. “Biarin,” sahut Amel. “Kamu kenapa sih? Kok kayak yang patah semangat gitu?” “Gapapa Jo,” sahut Amel sambil memalingkan wajahnya. Bagaimana mungkin dia memberitahu Jonathan perihal dirinya yang sudah memiliki tunangan. Tidak lama kemudian pesanan bubur mereka datang. Jonathan mengambil salah satu mangkok dan memasukkan dua sendok sambal ke dalam mangkuk, kemudian mengaduknya. Setelah itu dia memberikannya pada Amel. “Cepetan dimakan sebelum dingin,” ujar Jonathan sambil mengambil mangkuk yang belum disentuh oleh Amel. Amel yang melihat perbuatan Jonathan menjadi terharu dan matanya langsung berkaca-kaca dengan perbuatan manis sahabatnya itu. “Lho? Kenapa malah nangis? Badan kamu nggak enak lagi?” tanya Jonathan. “Nggak nangis lagi, mata gue kelilipan,” sahut Amel cepat. “Ya udah, cepetan makan.” Setelah itu mereka tidak berbicara lagi. Masing-masing menikmati bubur ayam sampai habis. Selesai makan, Jonathan dan Amel menghampiri tukang bubur dan membayar makanan mereka.  “Mau pulang sekarang?” tanya Jonathan saat mereka tiba di motor. “Gue nggak pengen pulang, muter-muter dulu ya?” pinta Amel. “Mau ke mana?” tanya Jonathan lembut. “Ke mana aja.” “Oke. Ayo naik,” ujar Jonathan sambil menyerahkan helm pada Amel. Jonathan tidak ingin banyak bertanya, karena dia semakin yakin Amel sedang menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan, dan dia ingin menghibur gadis itu. Setelah Amel duduk, Jonathan menyalakan mesin motor, dan mengendarai motor tanpa arah dengan kecepatan sedang. Dia membawa motor keluar dari komplek dan berputar mengelilingi daerah sekitar perumahan mereka. Menjelang tengah hari, Jonathan mengarahkan motor kembali ke rumah. Amel yang menyadari hal itu, mengangkat kepalanya dari punggung Jonathan. “Kok pulang Jo?” teriak Amel dari belakang. “Ini udah siang Mel, udah mau makan siang, dan kamu juga masih harus istirahat,” sahut Jonathan sambil memelankan laju motornya. “Tapi aku nggak mau pulang,” gumam Amel. pada diri sendiri. Tiba di rumah, Jonathan mengikuti Amel masuk ke dalam menuju ke ruang tengah. Rumah terlihat kosong dan sepi. “Kalian udah pada makan belum?” tanya Brenda saat mereka memasuki ruang keluarga. “Belum,” sahut Jonathan mewakili Amel. “Makan gih Kak, mama masak opor ayam kesukaan Kakak,” ujar Brenda. “Tumben kamu baik sama Amel,” ujar Jonathan sedikit bingung. “Gapapa, lagi pengen aja,” sahut Brenda santai. Sedikit banyak, Brenda merasa iba pada kakaknya yang dipaksa bertunangan semalam. Akhirnya Brenda mengetahui tentang keadaan Thomas semalam, setelah dia memaksa Laras untuk menceritakan semuanya. Andai dia yang berada di posisi Amel, belum tentu kuat menanggung semua itu. Kakaknya yang cantik dan sudah memiliki pacar, harus merelakan diri dijodohan dengan seorang pria yang kurang sempurna secara fisik. Semalaman Brenda memikirkan jika kakaknya bersanding dengan Ardian, apakah kakaknya akan sanggup menyayangi pria itu dengan tulus dan tidak pergi meninggalkannya. “Pasti ada maunya,” ujar Amel sambil meleletkan lidahnya. “Ish …, curigaan banget sih?! Nggak mau ya diperhatiin ma Chaca?” “Eits! Berantemnya ditunda dulu,” lerai Jonathan. “Ayo Mel, kamu makan dulu, habis itu aku temenin kamu tidur.” Amel menuruti perkataan Jonathan. Mereka berjalan menuju ruang makan dan duduk berseberangan di sana. Amel mengambil nasi dan lauk kemudian langsung memakannya tanpa semangat. “Kok makannya sedikit?” tanya Jonathan. “Gue masih kenyang, bawel banget deh,” gerutu Amel. “Bukan bawel Mel, aku pengen liat kamu sembuh. Dan aku juga pengen sekolah bareng lagi sama kamu, nggak enak duduk sendirian.” “Kan ada Eza,” ledek Amel. “Ya beda dong. Mana bisa Eza disamain sama kamu sih.” “Cie …, berarti gue tuh penting banget ya buat elo.” “Hm, emang iya, kenapa? Nggak boleh?’ sahut Jonathan kalem. “Selain eza kan masih ada Sheila,” ujar Amel. “Jangan sebut nama dia di depan aku!” sahut Jonathan dingin. Amel langsung berhenti mengunyah dan menatap Jonathan dengan tajam. “Papa sama mama ke mana ya?” ujar Jonathan mengalihkan perhatian. “Semua lagi pada tidur Kak,” sahut Brenda yang kebetulan masuk ke ruang makan. “Oh ….” “Eh Kak, tadi pergi nggak bawa hp?” tanya Brenda. “:Nggak, kenapa?” “Tadi Kak Rio telepon ke rumah, nyariin Kakak,” “Terus elo bilang apa?” sela Amel. “Ya aku bilang lagi jalan sama Kak Jo.” “Baguslah.” “Kalian lagi berantem?” tanya Brenda. “Ih, bawel banget sih! Pengen tau urusan orang aja!” “Eh tapi jujur ya Kak, aku tuh nggak suka lho sama yang namanya Rio,” ujar Brenda tiba-tiba. “Aku kok ngerasanya dia nggak tulus sama Kakak, dan kayak nyembunyiin sesuatu.” “Ah, bawel banget sih lo! Anak kecil tau apa sih?!” sentak Amel tidak suka. “Lho, aku kan cuma ngomong yang aku rasa, masa nggak boleh?” protes Brenda tidak mau kalah. “Lo bisa ngomong kaya tadi, tau dari mana?! Ketemu aja cuma beberapa kali dan itu juga cuma sepintas. Yang kayak gitu kan namanya sok tahu!” “Ya terserah Kak Amel aja. Chaca cuma ngomong dan ngingetin. Toh semua terserah sama Kakak. Lagian kan Kakak itu udah punya,” “Lo mau bilang apa?!” seru Amel sambil mendelik. “Ops ….” Brenda langsung membekap mulutnya.  Hampir saja dia keceplosan mengatakan sesuatu yang tidak boleh ada orang yang tahu, termasuk Jonathan. “Maaf Kak,” ujar Brenda. “Makanya kalo punya muluth tuh dijaga!” ujar Amel ketus. Amel langsung berdiri dan berjalan meninggalkan ruang makan sambil mengentakan kakinya. “Emang ada apaan sih Cha?” tanya Jonathan yang terkejut melihat amel begitu emosi. “Gapapa Kak, cuma Chaca salah bicara tadi,” sahutnya. “Chaca ke kamar dulu Kak.” Tanpa menunggu jawaban Jonathan, Brenda langsung berlari meninggalkan ruang makan menuju ke kamarnya. Jonathan duduk termenung sendirian di ruang makan sepeninggal kedua kakak beradik itu.  “Ada sesuatu yang nggak bener di sini, padahal gue cuma pergi sehari,” gumam Jonathan sendirian. “Gue harus cari tau.” Jonathan berdiri dan berjalan meninggalkan ruang makan menuju ke kamar Amel. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, dia langsung membuka pintu kamar dan melihat sahabatnya sedang termenung di balkon. Jonathan berjalan menghampiri Amel dan berdiri di samping sahabatnya. “Ngapain ke sini?” tanya Amel. “Kan aku janji mau temenin kamu istirahat.” “Nggak usah, gue lagi pengen sendiri,” sahut Amel sedikit ketus. “Kamu kenapa sih? Ada sesuatu?” “Nggak ada Jo, cuma lagi cape aja.” “Kamu mulai nggak jujur sama aku.” Amel terdiam mendengar teguran halus dari Jonathan. Bukan dia tidak ingin jujur, tapi dia takut membayangkan reaksi Jonathan kalau tahu dirinya sudah bertunangan. Amel takut Jonathan akan menjaga jarak dengannya. “Gue cape, mau istirahat,” ujar Amel sambil berbalik menuju ke kamarnya. “Mel,” ujar Jonathan sambil mencekal tangan gadis itu. Jonathan menarik tangan Amel dan langsung mendekapnya dengan erat. Diperlakukan demikian, pertahanan Amel runtuh seketika. Dia menangis dalam pelukan Jonathan, mengeluarkan semua yang dipendamnya sejak semalam. “Kamu kenapa Mel?” Jonathan merasa tidak tega mendengar suara isakan Amel yang terdengar begitu pilu. “Gue nggak bisa cerita,” sahut Amel di sela isakannya. “Iya. Jangan cerita sekarang kalo kamu belum sanggup. Nangislah sepuas kamu, aku ada di sini,” ujar Jonathan dengan lembut. Setelah lelah menangis, Amel melepaskan diri dari pelukan Jonathan dan berjalan ke tempat tidurnya. Dia membaringkan diri di sana. Jonathan duduk di karpet dekat kepala tempat tidur, dan tetap di sana sampai Amel tertidur karena kelelahan habis menangis. “Sampai kapan pun aku nggak akan pernah ninggalin kamu, Candy,” gumam Jonathan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN