Ardian Berkunjung ke Anyer

2309 Kata
“Kalian kenapa?” tanya Amel pada Mila dan Desi yang sedang berbisik di meja Front Office. “Ada tamu aneh dateng Mel,” sahut Desi. “Tamu aneh?” tanya Amel sambil mengerutkan kening. “Iya, udah gitu mukanya juga nyeremin banget, jalannya agak pincang, dan pake kacamata item terus,” sahut Mila. Sekujur tubuh Amel langsung terasa dingin, seperti habis disiram air es. Perlahan pandangan matanya kabur, dan kakinya lemas. Amel langsung berpegangan pada tepi meja FO supaya tidak jatuh. Ciri-ciri orang yang disebutkan kedua rekannya sangat mirip dengan sosok Ardian, dan itu membuatnya takut. Beberapa waktu yang lalu, Ardian memang pernah menyinggung untuk mengunjungi Amel di resort, akan tetapi saat itu dia tidak menganggap serius perkataan pria itu. Jika benar Ardian datang, maka tamat sudah riwayatnya. “Kamu kenapa Mel?” tanya Mila yang menyadari keadaan Amel. “Gapapa Mbak,” sahut Amel.  “Beneran? Muka kamu pucet banget lho.” “Emang nama tamunya siapa Mbak?” tanya Amel untuk memastikan. “Ardian, dan ambil suite room,” ujar Desi. Mendengar nama Ardian disebut, Amel langsung merasa pusing dan mual. Sambil tetap berpegangan, dia membalikkan badan dan bergegas meninggalkan FO. “Kamu mau ke mana Mel?!” tanya Mila. “Ke toilet Mbak.” Tiba di toilet, Amel masuk ke salah satu bilik dan mengeluarkan semua isi perutnya. Setelah selesai, Amel berdiri dan bersandar pada dinding penyekat. Air matanya mengalir di kedua pipi Amel. “Duh Tuhan, tolongin Amel dong,” pintanya pelan. “Boleh nggak sih kalo Amel kabur aja.” Membayangkan Ardian berada di resort membuat semangat kerja Amel hilang. Dia sangat yakin jika pria itu akan berusaha untuk menemui dan mengajak berbicara, sedangkan Amel tidak menginginkan hal itu. Amel bisa membayangkan jika itu benar terjadi, seluruh rekan akan heboh, dan dirinya akan jadi bahan pembicaraan semua orang.  Setelah merasa lebih tenang, Amel keluar dari toilet dan kembali ke meja FO untuk kembali bekerja. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sosok yang ditakutinya sedang berdiri di sana dan mengobrol dengan Teguh, manajer FO. “Metong deh gua,” gumam Amel. Saat Amel membalikkan badan untuk menghindar, Mila melihat dirinya dan melambaikan tangan memanggil. Sambil mengembuskan napas, Amel membatalkan niatnya dan berjalan dengan langkah terpaksa menghampiri meja FO. “Kenapa Mbak?” tanya Amel tanpa sedikitpun memandang Ardian. “Ini tamu yang aku bilang tadi,” sahut Mila. “Dia pengen kenal sama semua yang bertugas di FO.” “Ayo Amel, kenalan dulu sama Pak Ardian,” ujar Teguh. Amel yang tadinya berdiri sedikit membelakangi Ardian, mau tidak mau membalikkan badan dan menghadap pria itu. Sedikit terpaksa dia mengulurkan tangan pada Ardian. “Apa kabar Pak, saya Amelia, karyawan magang di sini,” ujar Amel pelan. Jonathan tidak langsung membalas uluran tangan Amel. Dia diam dan menatap Amel dalam-dalam melalui kacamata hitam, memuaskan rasa rindunya karena sudah dua bulan lebih tidak bertemu dengan Amel. Setelah puas memandang Amel, perlahan Jonathan mengulurkan ke arah Amel dan menggenggam jemari gadis yang telah mengisi penuh ruang hatinya. “Kabar baik,” sahut Jonathan dengan suara Ardian yang serak. “Anda terlihat sangat cantik.” Wajah Amel merona mendengar pujian Ardian, ditambah pria itu tidak juga melepaskan genggamannya, walaupun Amel sejak tadi berusaha menarik tanpa kentara. Dalam hati Jonathan merasa sedih melihat sikap dan ekspresi wajah Amel yang kesal. Dia berharap gadis itu mau membuka hatinya untuk sosok Ardian, dan menerimanya dengan tulus. “Ah, maafkan saya,” ujar Ardian sambil melepaskan genggaman tangannya. “Gapapa Pak,” sahut Amel mencoba bersikap seperti biasa. “Kalo begitu saya permisi dulu, masih ada yang harus saya kerjakan.” Tanpa menunggu jawaban dari Ardian, Amel membalikkan badan dan kembali ke tempatnya. Untuk menghindari pria itu, Amel berpura-pura sibuk. Ardian masih mengobrol beberapa saat dengan Teguh, dan matanya terus mengawasi Amel yang sengaja menghindar. Karena tidak ingin membuat Amel semakin kesal, Ardian memutuskan untuk kembali ke kamarnya. “Kamu kenapa sih Mel?” tanya Mila setelah Ardian pergi. “Kenapa apanya Mbak?” sahut Amel pura-pura tidak tahu. “Sikap kamu tadi ke Pak Ardian,” “Emang kenapa Mbak? Ada yang salah?” sela Amel. “Agak nggak sopan Mel, udah gitu muka kamu jutek banget. Untung Pak Teguh nggak liat.” “Gitu ya?” gumam Amel. “Tapi kayaknya Amel biasa aja deh,” lanjutnya sambil mengangkat bahu tidak peduli. “Tapi aku penasaran sama kamu Mel,” ujar Desi yang sudah bergabung dengan Amel dan Mila. “Penasaran apa Mbak?” tanya Amel. “Kalo diperhatiin kamu kayak yang kenal sama Pak Ardian loh,” “Kata siapa?!” sergah Amel cepat. “Nggak ada sih,” sahut Desi terkejut dengan reaksi Amel. “Tadi kan aku bilang kayaknya.” “Kenapa kamu bisa mikir begitu?” tanya Mila. “Soalnya Pak Ardian ngeliatin Amel terus, jadi aku pikir mungkin saling kenal gitu,” sahut Desi. “Tapi kalo salah, aku minta maaf ya Mel.” “Gapapa Mbak,” ujar Amel yang menjadi tidak enak pada Desi. “Amel nggak marah kok, cuma kaget aja. Sejujurnya, Amel agak nggak nyaman aja pas ngeliat Pak Ardian tadi, makanya mungkin jadi beda muka Amel. Maaf ya.” “Iya sih, aku juga gitu,” timpal Mila.  “Iya bener,” sahut Desi. “Aku juga agak takut sama Pak Ardian. Kira-kira kenapa ya dia bisa begitu?” “Udah ah,” ujar Amel. “Daripada ngomongin orang, mending kita kerja lagi.” *** “Mel!” seru Desi sambil mengetuk pintu kamar Amel. Amel yang baru selesai mandi bergegas membukakan pintu untuk Desi. “Kenapa Mbak?” “Makan yuk,” ajak Desi. “Di mess?” “Bukan.” “Terus?” “Di resto resort. Malam ini ada potongan harga khusus buat karyawan sini. Makanya aku sama Mbak Mila mau makan di sana. Kamu ikutan ya.” “Kan aku bukan karyawan tetap Mbak, mana enak,” tolak Amel. “Tenang aja, kan perginya sama kita. Lagian nanti Mbak Mila dulu yang bayar, nanti kamu tinggal kasih uangnya ke dia, gimana?” “Boleh juga Mbak,” sahut Amel setelah berpikir sejenak. “Tapi tumben banget Mbak ada yang kayak gini?” “Suka ada kok Mel, cuma ya jarang-jarang.” “Ya udah kalo gitu Amel ganti baju dulu ya.” “Ngapain ganti baju? Gitu aja Mel,” ujar Desi. “Masa pake beginian?” tanya Amel sambil memandangi dirinya yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek.” “Anggep aja kamu tamu yang lagi nginep di sini,” sahut Desi. “Aku juga begitu.” Amel memperhatikan penampilan Desi yang mengenakan kaos dan celana pendek, sama seperti dirinya. Sepertinya ide Desi tidak terlalu buruk untuk dilakukan, toh mereka sudah bebas tugas. Dan memang tidak ada larangan bagi karyawan untuk mengenakan pakaian santai di luar jam kerja, asalkan masih sopan. “Oke,” ujar Amel. “Kalo gitu Amel ambil dompet dan hp dulu Mbak.” Amel berlari ke meja nakas untuk mengambil dompet dan ponsel, kemudian mengikuti Desi yang berjalan ke restoran di mana Mila sudah menunggu. Amel melambaikan tangan saat melihat seniornya yang terlihat cantik dengan rambut tergerai. “Duh Mbak, cantik banget sih,” puji Amel saat sudah tiba di meja Mila. “Ah …, bisa aja kamu Mel,” sahut Mila tersipu. “Amel baru tau kalo rambut Mbak tuh panjang juga loh. Habis biasanya kan digelung terus.” “Udah ah ngegombalnya, mending kalian duduk.” Amel dan Desi menarik kursi dan duduk mengitari meja. Tanpa mereka sadari, beberapa tamu pria memperhatikan ketiga gadis itu. Semua itu tidak luput dari pengamatan Ardian yang sudah datang sejak tadi dan memilih duduk di sudut. Hatinya sedikit terhibur melihat keceriaan Amel, dan bagaimana gadis itu tertawa lebar bersama Mila dan Desi. “Akhirnya aku bisa liat kamu ketawa lagi Candy,” gumam Ardian. “Aku beneran kangen ngobrol dan denger suara kamu.” “Pak,” panggil Hartono pada Ardian. “Ya?” “Masih mau di sini atau kembali ke kamar?” “Saya mau di sini dulu, masih mau ngeliat Amel.” “Sendiri atau saya temani?” “Kamu makan aja dulu,” ujar Ardian. “Siap.” Hartono berjalan meninggalkan Ardian dan memilih meja sendiri yang letaknya tidak terlalu jauh dari pria itu. Hartono dulunya adalah orang kepercayaan ibu Jonathan, dan sebelum meninggal wanita itu berpesan untuk mendampingi Jonathan mengelola semua warisan miliknya. Hartono melakukan semuanya tanpa banyak tanya, begitu pula ketika Jonathan meminta dirinya untuk turut andil dalam sandiwara yang dibuat pemuda itu. Selama Jonathan sekolah dan akhirnya kuliah, Hartonolah yang mengurus perusahaan. Dan walaupun usianya lebih tua dari Jonathan, dia selalu menghormati dan menghargai semua keputusan Jonathan. Terbukti jika memang Jonathan andal dalam mengelola perusahaan, walaupun usianya masih terbilang belia. Hal yang paling Hartono suka dari Jonathan adalah pemuda itu tidak pernah bertindak semena-mena. Jonathan selalu menghargai pendapat orang lain, dan menghormati yang lebih tua. Mengobrol bersama Mila dan Desi membuat Amel benar-benar lupa jika ada Ardian di resort. Ketika Desi sedang bercerita, mata Amel melihat notif pesan masuk di layar ponsel. Sambil terus mendengarkan Desi, Amel membuka pesan dan seketika senyumnya hilang. Bibirnya bergetar saat membaca pesan dari Ardian. Ardian : kamu terlihat sangat cantik malam ini Ardian : saya suka melihat kamu tertawa seperti itu Ardian : andai kamu bisa seperti itu pada saya Amel meletakkan ponsel di meja, dan dengan panik menatap sekeliling restoran untuk mencari sosok Ardian. Namun, bukan pria itu yang terlihat, melainkan Hartono yang tampak sedang menikmati makan malam. Dan tidak ada siapapun di meja Hartono. “Kamu kenapa Mel?” tanya Mila yang bingung melihat kelakuan Amel. “Eng …, gapapa Mbak,” sahut Amel. “Kamu sakit Mel?” tanya Desi. “Nggak kok Mbak.” “Tapi muka kamu pucet banget loh,” sahut Mila. “Amel balik ke kamar duluan ya Mbak.” “Ya udah atuh. Tapi kamu gapapa pergi sendirian?” tanya Mila. “Gapapa Mbak. Maaf ya bikin suasana jadi nggak enak.” “Ish, apaan sih kamu!” sahut Desi sedikit gusar. “Kita gapapa kok. Udah sekarang kamu ke kamar dan langsung istirahat.” “Iya Mbak. Amel duluan ya.” Amel berdiri dan berjalan meninggalkan restoran. Dia berjalan menuju mess yang terletak di bangunan belakang resort, dan untuk ke sana, dia harus keluar dulu dari samping gedung yang berbatasan langsung dengan pantai, dan harus berjalan melalui jalan setapak. Untuk sesaat Amel berhenti di samping resort dan menatap jalan yang cukup sepi untuk tiba di mess. Amel menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada yang mengikuti dirinya. Kali ini bunyi deburan ombak membuat Amel sedikit merinding dan takut, apalagi pantai terlihat sepi, walaupun ada lampu yang menerangi. Amel berjalan sedikit tergesa untuk cepat sampai di mess. Saat hampir tiba di dekat mess, Amel mulai dapat bernapas lega.  “KYAA …!” Amel menjerit keras saat tiba-tiba ada orang yang menghalangi jalannya. “Selamat malam Amelia,” sapa Ardian tenang tidak terganggu dengan jeritan gadis itu. “K-kamu m-mau a-apa?” tanya Amel terbata-bata. “Tentu saja ingin bertemu dengan kamu,” sahut Ardian tanpa merasa bersalah. “Terus kenapa diem di sini?! Kamu ngikutin saya?!” “Saya nggak ngikutin kamu Amelia,” “Bohong!” sela Amel kesal. “Saya bicara jujur Amelia,” sahut Ardian tetap tenang. “Kalo saya ngikutin kamu, tentunya saya akan berada di belakang kamu kan? Tapi saat ini saya berdiri tepat di hadapan kamu.” Amelia terdiam mendengar jawaban Ardian. Memang benar pria itu berdiri di depannya, akan tetapi dia enggan mengakui hal itu. “Bisa aja kan kamu nyelinap jalan duluan pas tau saya lewat sini,” ujar Amel. “Dengan kondisi saya yang seperti ini?” tanya Ardian sambil mengetuk tongkat di tangannya. Amelia kembali terdiam mendengar jawaban Ardian yang lagi-lagi benar. Namun, bukan Amel namanya kalau menerima begitu saja. Dia berpikir cepat untuk membantah ucapan Ardian. “Ya siapa tau tadi kamu dianter pake motor sama karyawan di sini.” “Kamu pikir dengan kondisi seperti ini, saya bisa naik motor?” “Terus ngapain kamu diem di sini?” tanya Amel yang tahu dirinya tidak akan menang melawan omongan Ardian. “Saya sengaja nunggu kamu, karena kangen sama kamu Amelia. Sudah lama kan saya tidak melihat kamu.” “Kangen?! Biasanya juga nggak pernah ngeliat kan?!” “Memang tidak pernah melihat secara langsung, hanya dari jauh,”  “Maksudnya?” sela Amel mulai merasa takut. “Saya selalu berada di dekat kamu Amelia. Kamunya saja yang tidak pernah tau.” Deg! Ucapan Ardian barusan membuat Amel merinding. Bagaimana mungkin pria ini bisa selalu berada di dekatnya tanpa dia sadari. Jika memang benar demikian, berarti Ardian melihat semua hal yang selalu dia lakukan entah saat sendiri atau ketika bersama Jonathan.  “Kamu kedinginan?” tanya Ardian melihat Amel gemetar. “N-nggak.” “Lalu?” Amel hanya mampu menggeleng sebagai jawaban. Di saat seperti ini Amel benar-benar membutuhkan Jonathan di sisinya. Pemuda itu pasti tahu harus berbuat apa jika sedang dalam kondisi seperti sekarang.  “Terus kenapa kamu bisa ada di sini? Dari mana kamu tau kalo saya akan lewat sini?” tanya Amel dengan suara pelan. “Tadi saya bertanya pada salah satu pegawai di mana kamu tinggal, dan dijawab kalo kamu tinggal di mess. Lalu saya tanya di mana letak mess, dan dia bilang saya harus lewat jalan ini. Karena itu saya menunggu kamu di sini. Puas?” “Saya boleh minta tolong?” tanya Amel lirih. “Katakan.” “Tolong pergi dari sini,” pinta Amel. “Keberadaan kamu di sini bikin saya nggak nyaman,” “Kenapa? Kamu malu dengan kondisi saya?” “Bukan gitu,” sahut Amel. “Nggak ada orang yang tau kalo saya udah punya tunangan. Dan saya mau tetap seperti itu sampe saya selesai magang.” “Baiklah. Jika itu mau kamu, saya akan pergi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN