6. Menjadi Pengantin Pengganti

1071 Kata
Satu persatu motor di sana dimatikan. Beberapa warga yang awalnya hanya melihat, perlahan mendekat. Acara shalat maghrib berjamaah di masjid depan, tampaknya akan tertunda karena keadaan sekarang. Dalam diamnya, Shanum yang masih menatap tajam pemuda di sana, menghitung totalnya. Ada dua puluh dua orang. Nyaris semuanya sudah langsung tersenyum kepadanya dengan tatapan penuh minat. Tatapan yang sudah bisa dipastikan mereka menyukai Shanum. Namun satu dari mereka dan hanya memakai kaus singlet warna putih, menatap Shanum dengan menyelidik. “Hafiz di mana? Keluarga cecunguk itu!” tegas si pria yang memakai kaus singlet putih itu sambil turun dari motor racing yang dikendarainya. Motor yang berdatangan itu, tipikal motor yang dimodifikasi total. Ada yang knalpotnya melengkung panjang. Ada juga yang tetang motornya tinggi. Selain itu, warna-warna untuk motornya juga sangat tidak sedap dipandang bagi seorang Shanum yang menjunjung tinggi ketertiban sekaligus kerapihan. “Ngapain kalian cari Hafiz, maghrib-magrib begini, tanpa kenal waktu? Bukannya ke masjid, ambil wudu terus shalat malah—” Kedua mata Shanum nyaris loncat dari rongganya gara-gara pria berkaus singlet yang menghampirinya menyikapinya dengan dingin. “Geledah rumahnya ... remukkan tulang-tulang cecunguk itu segera, setelah kalian menemukannya. Jangan lupa, hancurkan rumah ini jika b******n tengik itu masih saja tidak kalian temukan!” ucap si pria berkaus singlet dan memakai celana bahan warna hitam. Kedua matanya memang masih menatap sengit kedua mata lebar Shanum. Namun, bibir tebalnya dengan sangat lancar memberikan titah. Selain itu, meski cara berbicaranya lirih cenderung tidak bersemangat karena tak memiliki selera hidup, dua puluh satu pemuda yang awalnya baru turun dari motor, sungguh bergegas mendekati rumah. Tentu Shanum tidak lupa, bahwa beberapa orang yang sedang marah, ada saja yang sekadar berbicara jadi malas. Selain itu, Shanum juga ingat, bahwa sang uwa sudah kehilangan jejak Hafiz sang anak selama satu minggu terakhir Di lain sisi, keadaan yang seolah akan terjadi penggeledahan seperti titah si pria berkaus singlet putih, dengan segera Shanum menjerit. “Mundur, jangan macam-macam. Berani kalian membuat keributan,” teriak Shanum. Ia sampai terbatuk-batuk karena teriakan yang dilakukan. Namun, ulahnya itu sukses membuat dua puluh satu pemuda yang sudah ada di hadapannya, berhenti melangkah. “Kenapa kalian berhenti? Kalian cari mati?!” teriak si pria berkaus singlet putih dan langsung diam karena gagang sapu ijuk Shanum, menghantam sangat kuat kepalanya. Padahal, alasan Shanum menghantam kuat kepala si pria berkaus singlet putih di hadapannya, efek karena Shanum kaget. Akhir-akhir ini, Hanum memang anti suara dengan nada tinggi termasuk suara musik yang disalurkan salon pengeras suara. Karena jika itu terjadi, jantung Shanum akan berdetak sangat kencang, selain Shanum yang akan kebas sekaligus sulit berpikir dengan selayaknya. “Ya ampun ... ini aku beneran enggak sengaja. Namun andai aku jujur apalagi sampai minta maaf, dia pasti akan semena-mena kepadaku. Ya sudah lah, salah siapa juga dia enggak sopan. Aku tetap harus galak agar dia tetap takut ke aku!” batin Shanum tetap memasang tampang galak. Di detik berikutnya, jantung Shanum seolah langsung loncat. Sebab tangan kanan pria berkaus singlet putih di hadapannya, refleka mencengkeram rahang Shanum. Pak Kaswan dan warga yang berdatangan bergegas melerai. “Katakan kepadaku, siapa namamu?” tanya si pria berkaus singlet. Dengan segera Shanum mundur setelah sebelumnya menggunakan gagang sapu ijuknya untuk kembali menghantam si pria berkaus singlet putih. Kali ini, tangan kanan pria itu yang jadi sasaran Shanum. “Panggil aku Shanum. Namaku Shanum. Dan kamu akan berurusan denganku jika kamu berani bikin ulah di rumah uwaku!” tegas Shanum sambil menunjuk wajah pria di hadapannya. Walau tidak menatap saksama wajah-wajah pemuda dan pria yang datang ke sana, Shanum pastikan, yang ada di hadapannya memang yang paling tampan bahkan gagah. Gayanya yang hanya memakai kaus singlet putih pun, membuatnya seolah sengaja pamer otot. Namun sori, Shanum tidaka akan menurunkan pasaran untuk jodohnya. Masa iya, ditikung kakak kandung, malah turun kasta menjalin hubungan dengan preman? “Minimal aku harus dapat bos dari kota. Aku bakalan balik ke Bandung terus terima lamaran salah satu dari mereka. Aku akan pilih yang paling kaya, dan yang paling good rekening juga. Mau nikah sama koko-koko china saja. Yang selain good looking juga good rekening. Apaan sama pria ini ... preman kupret enggak tahu sopan santun!” batin Shanum langsung gondok lantaran pria berkaus singlet di hadapannya, dan terus menatap lurus kedua matanya, menanyakan status pernikahan kepadanya. “Sekali aku tanya, ... kamu sudah menikah belum?” ucap si pria berkaus singlet. “Aku sudah punya anak dua. Anakku sudah besar-besar. Puas?!” ucap Shanum sengaja teriak. Penuh ketenangan, pria berkaus singlet di hadapan Shanum, berangsur diam. Shanum yakin, diamnya pria itu karena sedang merenung sekaligus merencanakan sesuatu. “Num,” panggil uwa Kaswan dari belakang sambil melangkah menuju Shanun. Shanum menoleh dan menatap sang uwa. Uwa Kaswan menyuruhnya masuk rumah. Namun beberapa detik kemudian, Shanum dibuat syok lantaran tubuhnya mendadak dipanggul si pria berkaus singlet putih. Apesnya, sapu ijuk yang sedari awal Shanum jadikan sebagai senjata juga direbut kemudian buang. “Aku akan menikahinya!” tegas si pria ketika uwa Kaswan dan para tetangga yang jumlahnya belasan, menghadang si pria. Ardelio namanya, dan mengaku bahwa calon istrinya yang juga bernama Shanum, dibawa kabur oleh Hafiz. Dua puluh satu pemuda yang ia bawa menjadi saksinya. Mereka audah melaporkan Hafiz ke polisi sejak tiga hari lalu. Selain itu, Ardelio juga memberikan surat penangkapan dari kepolisian. Warga di sana dan mencoba menengahi menjadi saksi. Bahwa apa yang Ardelio katakan bukan mengada-ngada. Surat dari kepolisian tersebut asli. Malahan beberapa saat kemudian, mobil polisi juga datang. Kedatangan polisi ke sana sungguh untuk menangkap Hafiz. Pak Kaswan berikut istri langsung lemas mendengar kabar tersebut. Terlebih biar bagaimanapun, Hafiz merupakan anak tunggal, dan itu pun dapatnya penuh perjuangan. Nama Hafiz terus bersenandung di antara isak tangis pak Kaswan berikut istri. Keduanya terduduk lemas di teras rumah. Shanum yang baperan dan gampang luluh, tak tega menyaksikannya. “Begini, Om Ardelio ...!” ucap Shanum. “Kamu panggil aku Om? Dikiranya aku setua itu? Aku baru tiga puluh tahun itu saja bulan depan!” tegas Ardelio lirih, tetapi sangat geregetan. Meski merasa gedeg kepada tanggapan Ardelio, Shanum tak ingin membahasnya lebih lanjut. Yang Shanum lanjutkan ialah kesepakatan. Bahwa Shanum sanggup menggantikan calon istri Ardelio yang dibawa kabur Hafiz, asal kasus Hafiz tak diperpanjang. Cukup diselesaikan secara kekeluargaan saja. “Aku pastikan, aku akan jadi istri yang baik buat Anda, tetapi Anda juga harus pastikan, kasus ini selesai. Deal!” tegas Shanum sambil mengulurkan tangan kanannya. Ia siap menjabat tangan kanan Ardelio agar kesepakatan yang ia tawarkan segera disepakati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN