7. Bukan Preman Biasa

1090 Kata
Kedatangan Shanum dan rombongan Bima ke kediaman orang tua Shanum, langsung menyita perhatian. Tak semata karena rombongan menggunakan motor racing yang bunyi dari knalpotnya sangat berisik. Namun juga hajatan di sana masih berlangsung. Alasan musik dangdut sebagai hiburan di sana tengah tak terdengar, murni karena menghormati adzan magrib. Semuanya mengira rombongan Bima, preman. Apalagi hiburan hajatan semacam orgen tunggal di desa mereka tinggal, memang identik dengan kerusuhan. Barulah setelah mereka mengenali Shanum yang dibonceng Bima, mereka yang di sana termasuk Ridwan yakin, lagi-lagi Shanum berulah. Terlebih, Bima yang takut Shanum melarikan diri, sengaja memboncengnya di depan. Syifa yang baru berdiri dan bersiap untuk menunaikan shalat magrib, refleks menatap Ridwan. Ia menatap cemas pria yang sudah menikahinya itu. Sebab Ridwan terus memperhatikan Shanum yang meski tak memakai hijab, malah terlihat sangat cantik. Entah apa yang terjadi, Shanum dengan rambut sepunggungnya masih agak basah dan cukup berantakan, malah terlihat makin cantik dari ketika pagi tadi membuat keributan di sana. Aura Shanum benar-benar terpancar, seolah adiknya itu memakai sejenis susuk. Uwa Kaswan sengaja menghampiri pemilik hajat dan tak lain adiknya. Kedua orang tua Shanum sudah langsung terlihat lemas. Antara malu dan juga marah, bercampur jadi satu dari raut keduanya. Apalagi sejauh ini, Shanum memang terkenal pemberani sekaligus sering berulah. “Om ... minimal biarin aku pakai hijab dulu! Sumpah demi apa pun, aku enggak akan kabur. Aku akan bertanggung jawab penuh!” Shanum terus berusaha melepaskan gandengan tangan Bima, tetapi pria yang berdalih akan langsung menikahinya itu, terus menyikapinya dengan dingin. Bima Ardelio memang tak sampai main kasar, tetapi cara dia menatap Shanum, juga bagaimana pria itu mempertahankan Shanum, amat sangat berlebihan. “Kamu tidak melihatku. Aku hanya berpakaian seperti ini, aku pede saja. Aku berani menghadap orang tuamu, meminta restu kepada mereka, seperti persyaratan yang kamu berikan kepadaku.” Bima masih bertutur santai, meski suaranya tetap terdengar kejam bahkan untuknya sendiri. Detik itu juga dunia seolah berhenti berputar, hanya tengah di tengah petang yang diterangi lampu neon dari panggung hajatan, kedua mata Bima maupun Shanum, bertatapan. Baik Shanum maupun Bima, refleks menatap setiap lekuk wajah satu sama lain. “Bijiirrrr ... Om Bima ganteng banget! Sumpah, mirip apotek tutup. Enggak ada obat! Namun, kenapa dia sampai ditinggal minggat calon istrinya?” batin Shanum. “Jadi selama ini, nih bocah nyempil di mana? Kok aku baru tahu di plosok prenek gini, ada cewek melek!” batin Bima yang berangsur menyudahi tatapannya, hingga hal yang sama juga dilakukan Shanum. Di depan sana, pak Kuswo dan sang istri refleks menggeleng. Keduanya tampak tak terima dengan alasan uwa Kaswan. “Apa jadinya jika aku menikahkan Shanum dengan preman, Kang? Tanpa berurusan apalagi menikah dengan preman saja, kelakuan anak perempuanku yang itu sudah lebih dari preman!” sedih pak Kuswo. “Kakang mohon, Wo! Kalau tidak ... kalau tidak ... kalau tidak putra semata wayangku akan dipenjara!” mohon uwa Kaswan yang sampai detik ini masih menangis. “Enggak, Kang. Enggak. Begitu-begitu, Shanum tetap putriku. Sampai kapan pun, dia tetap tanggung jawabku. Niatnya habis ini aku akan mengirimnya ke pondok, terus menjodohkannya dengan pria baik-baik!” yakin pak Kaswan. Menyimak itu, Bima Ardelio, refleks melirik Shanum. Lirikan yang bagi Shanum hanya bisa dilakukan oleh bukan orang sembarangan. Bagi Shanum, lirikan seorang Bima Ardelio itu sangat mahal. Selain itu, andai Bima Ardelio preman, kenapa sekadar keringatnya saja tetap harum? “Sejauh ini, yang aku tahu tuh ... hanya keringatnya orang kaya yang keringat saja wangi gara-gara parfum dan produk perawatan yang dipakai. Masa yang begini preman. Bahan kaus singlet, celana dia, bahkan sabuknya pun ... aku tahu, semua itu juga mahal,” pikir Shanum. “Kamu nakal? Kenapa bapakmu sampai sesedih itu? Kerjaan kamu cuma bolos, ya? Disuruh sekolah malah kelayaban!” lirih Bima Ardelio dingin, tak kalah dingin dari sikap apalagi tatapan mata sipitnya. Dihakimi begitu, bibir bawah Shanum refleks maju. “Bolos apaan? Aku sudah lulus SMA sejak lima tahun lalu. Makanya jangan anggap aku anak kecil meski aku memang baby face!” Selain memang kaget karena dugaannya salah, pengakuan Shanum yang mengaku baby face, membuat Bima Ardelio berdalih ingin muntah. “Assalamualaikum. Selamat petang, maaf saya dan rombongan mengganggu. Nama saya, Bima Ardelio Wicaksana Kalandra!” ucap Bima Ardelio amat sangat santun sambil mengulurkan tangan kanannya kepada pak Kuswo. Pemandangan kali ini benar-benar kontras dari awal kedatangan Bima Ardelio ke rumah uwa Kaswan. Shanum yang masih digandeng menggunakan tangan kiri Bima Ardelio dibuat mlongo tak percaya menatap pria yang akan menikahinya. “Jangan-jangan memang bukan preman biasa?” pikir Shanum yang kemudian tak sengaja menoleh ke sebelah. Di sebelahnya, Syifa tengah menggandeng erat tangan kanan Ridwan yang didekap menggunakan kedua tangan. “Mbatin! Ambil sono bekasku! Najis banget ih!” batin Shanum melirik sang kakak kandung, dengan sengit. “Siapa namamu?” ucap pak Kuswo yang merasa tidak asing pada nama pria gagah di hadapannya. “Bima Ardelio Wicaksana Kalandra, Pak!” tegas Bima Ardelio, lirih tapi sangat santun. “Ngomong saja setenang ini,” lirih Shanum yang refleks menengadah. Ada suara berisik layaknya suara dari helikopter di atas sana. Naasnya, suara tersebut makin jelas seiring angin kencang yang sepertinya merupakan hasil dari baling-baling helikopter. Benar, sampai ada helikopter dan jaraknya benar-benat dekat. Tubuh Shanum sampai akan tersapu angin dan Bima Ardelio refleks mendekapnya erat. Apalagi, kedua tangan Shanum sempat berpegangan asal pada lengan Bima Ardelio. “Aku bilang, aku bisa menyelesaikan ini sendiri, tetapi kenapa mereka tetap menyusul?” batin Bima Ardelia tak sengaja menatap Shanum yang ia dekap. Awalnya Shanum buru-buru memisahkan diri dari Bima Ardelio. Namun karena itu membuatnya terlempar ke belakang dan ditangkap Ridwan, Shanum buru-buru kembali ke Bima Ardelio. “Najis banget ini tangan sama pinggangku dipegang tuh jelma!” batin Shanum yang sekadar dipegang Ridwan, meski pria itu tulus menolongnya, tetap tidak rela. Lucunya, demi menolong Shanum, Ridwan khilaf melepas Syifa. Syifa yang bertubuh kurus, terempas ke belakang dan berakhir jatuh tanpa ada yang menolong. Semua yang di sana kompak merasakan dampak angin dahsyat dari baling-baling helikopter. Kebetulan, kendaraan udara itu mendarat di sawah depan rumah orang tua Shanum. Semua orang di acara hajatan apalagi anak-anak, langsung berbondong-bondong kepo melihat siapa pengemudi helikopter tersebut. “Tamu agung, kah? Nggilani banget, datang-datang pakai helikopter!” lirih Shanum masih kebas. Jantungnya berdetak tak karuan gara-gara helikopter yang tadi seolah lewat di ubun-ubunnya. Shanum yang sadar di sebelahnya, Bima Ardelio sibuk memperhatikannya melalui lirikan, langsung jaim. Apalagi, tubuhnya saja masih didekap pria itu. Segera ia merapikan diri akibat kekacauan yang terjadi. Namun, benarkah penumpang helikopter tadi, merupakan tamu agung hajatan pernikahan Ridwan dan Syifa, layaknya apa yang Shanum pikirkan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN