5. Benih-Benih Penyesalan

1111 Kata
“Semangat, Num. Jangan nangis apalagi sedih-sedih lagi. Tunjukan kepada mereka bahwa kamu terlalu berharga.” “Bahkan meski yang melukaimu justru kakak kandung sendiri. Orang yang kamu cintai, ... dan juga kedua orang tuamu.” “Masya Allah ... sekuat apa sih aku. Kok iya sampai harus merasakan di titik ini.” “Di sana hajatan dan mereka menikah penuh bahagia dan cinta. Di sini aku harus membunuh rasa bahkan ... menikam hatiku sendiri.” Musik dangdut dari orgen tunggal selaku hiburan hajatan pernikahan Ridwan dan Syifa akhirnya terdengar. Menandakan bahwa pernikahan kedua sejoli itu tetap dilanjutkan, meski kehebohan sempat terjadi. Meski Shanum sudah sempat mengamuk. Juga, meski Shanum diusir dari rumah orang tuanya sendiri. “Kalian tega banget ....” “Mbak Syifa ... kamu sungguh luar biasa jahatnya!” “Andai Mbak dan kalian semua peduli kepadaku, ... harusnya pernikahan kalian tidak dilanjutkan.” “Memangnya apa lagi yang kalian pertimbangkan? Oalah aku lupa ... bagi kalian kan, aku memang enggak penting.” “Mbak Syifa jauh lebih penting. Mbak Syifa wanita alim. Paham agama ... dan pastinya harus selalu dijaga karena dia pernah trauma karena calon suaminya meninggal beberapa hari sebelum hari pernikahan digelar.” Dada Shanum terasa sangat pegal. Rasanya sungguh tak karuan. Perpaduan rasa kesal, kecewa, sakit hati, menjadi satu dan membuat amarahnya sulit dikendalikan. Rasanya Shanum ingin terus mengamuk. Koper dan barang-barangnya sudah ia tendang-tendang di tengah air matanya yang terus berjatuhan. Namun, semua itu belum cukup. Musik dangdut yang terus terdengar dan Shanum sadari merupakan hiburan pernikahan calon suaminya yang akhirnya menikahi kakak kandung Shanum sendiri, sangat menggangu. Mental Shanum jadi tidak baik-baik saja. Mendengarkan musik di ponsel menggunakan headset Shanum pilih untuk meredam suara musik dangdut yang makin terdengar keras. Mungkin karena arah salon diarahkan ke kompleks rumah uwa Kaswan, selain angin siang ini yang tertiup ke arah rumah uwa Kaswan juga. Pada akhirnya, rasa kecewa dan juga emosi yang terus meledak-ledak, membuat Shanum lelah. Di tengah kondisi yang masih kacau, rambut panjangnya juga masih awut-awutan, Shanum ketiduran di pinggir tempat tidur kawar yang ia tempati. Di tempat tidur sederhana dengan dipan kuno tersebut, dari kedua mata Shanum kerap menitikkan cairan bening. Karena pada kenyataannya, pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya memang membuat Shanum kecewa. Sejujurnya, Shanum sangat bingung. Haruskah untuk kali ini, dirinya tetap memaklumi apa yang orang tuanya lakukan? Atau, Shanum boleh tidak memaafkan kedua orang tuanya yang masih saja berat sebelah? Bukankah itu akan membuatnya menjadi anak durhaka? Namun, apakah kedua orang tuanya bisa lebih adil atau setidaknya menyadari kesalahannya, andai Shanum tetap diam? *** Di acara hajatan, Syifa menjadi wanita paling bahagia. Senyum lembut terus membuat kedua matanya berbinar. Kedua mata Syifa kerap mengawasi wajah Ridwan secara diam-diam. Ridwan memiliki hidung bangir dan mata sipit. Pria berambut ikal rapi itu juga memiliki ketampanan di atas rata-rata. Malahan, Ridwan yang hanya terpaut satu tahun lebih tua dari Syifa, tampak layaknya orang Korea. Warna kulitnya yang masih putih bersih bahkan lebih putih dari kulit Syifa, menjadi alasannya. Namun jika dibandingkan dengan warna kulit Shanum, warna kulit Ridwan tetap kalah. Sebenarnya, Ridwan yang terus menunduk, tahu bahwa wanita yang ia nikahi dan mendadak memakai cadar, kerap memperhatikannya. Namun meski tengah duduk di sofa pelaminan yang sama, pria berbibir berisi itu malah tengah terbayang-bayang Shanum. Adegan kemunculan Shanum yang sangat tiba-tiba terus memenuhi sekaligus teeputar di ingatan Ridwan. Shanum yang memang sangat cantik dan lebih cantik dari ketika ia lamar, begitu membuatnya terpesona. Selain itu, kata-kata tegas dari pembelaan yang Shanum katakan. Dirasa Ridwan, kenapa ia tidak lebih memilih mengamakan penyebar foto senonoh Shanum kemudian membuktikan kebenarannya lebih dulu? Kenapa dirinya langsung kesal tanpa terlebih dulu memastikan bahkan menanyakannya kepada Shanum? Selain itu, kenapa Ridwan tidak langsung mengejar pemilik nomor yang sudah menyebarkan foto senonoh yang wajah wanitanya sangat mirip dengan wajah Shanum? “Kok aku jadi nyesel, ya? Kok rasanya aku salah ... kenapa aku enggak nikah dengan Shanum saja? Kenapa aku harus mengikuti saran bapak dan mamak untuk menikahi Syifa?” batin Ridwan masih sulit menepis pesona seorang Shanum. Termasuk juga ketika Shanum sampai dijambak, dan wajah putih mulusnya juga sampai tercakar kemudian berdarah. Pesona Shanum tak sedikit pun luntur. *** Bersama adzan magrib, Shanum terbangun. Suasana rumah sang uwa sangat sepi karena sepertinya, ia ditinggal sendiri. Namun ternyata ketika Shanum keluar dari kamar, uwa Kaswan sudah memakai koko putih dan menjadikan sarung sebagai bawahan. Tampaknya, sang uwa akan melangsungkan shalat magrib ke masjid di depan. “Kamu mau shalat di masjid bareng uwa?” tanya uwa Kaswan kepada Shanum yang masih terlihat sangat lesu. “Aku masih mens, Wa. Kebetulan hari kedua, jadi sedang sakit-sakitnya. Ini kira-kira, ada yang jualan jamu kunyit asam enggak ya, Wa. Biasanya kalau sore apa agak malam, ada yang jualan keliling.” Shanum menghela napas pelan karena ia tengah merasakan sakit luar biasa di bagian perutnya. “Oalah ... pantes kamu bisa ngamuk mirip orang kesurupan. Tadi tenagamu sekuat itu. Ternyata lagi mens. Hahahaha!” “Si Uwa malah ngeledek!” Shanum melirik sebal sang uwa. “Dibawa santai saja, Num. Uwa yakin, kamu itu dapat jodohnya bukan orang sembarangan. Wa doakan, kamu dapat boss tajir, dan mereka-mereka yang sudah berburuk sangka sekaligus meremehkan kamu, bakalan menyesal!” “Aamiin, Wa. Aamiin. Makasih banyak doanya. Ini omong-omong, si Hafiz ke mana, Wa? Aku rasa, tadi aku enggak lihat dia di hajatan.” Shanum menerka-nerka, tetapi ia amat sangat yakin bahwa anak sang uwa dan memang sebaya dengannya, tak ada di hajatan pernikahan Ridwan dan Syifa. “Nah itu ... sudah satu minggu ini, si Hafiz enggak pulang, bahkan enggak ada kabar.” Uwa Kaswan langsung gundah hanya karena membahas bontotnya. “Loh ... memangnya hapenya enggak aktif? Dia masih kursus bahasa Korea kan, Wa? Jadi ke Korea kan dia?" balas Shanum mulai kembali serius. Rasanya, nyawanya sudah hampir kembali terkumpul penuh setelah sempat ia bawa tidur. Belum sempat mendengar balasan sang uwa, kehadiran belasan motor dengan suara knalpot racing yang sangat berisik, membuat kebersamaan mereka terusik. Dahi Shanum maupun sang uwa berkerut. Keduanya refleks menerka-nerka karena motor-motor di luar sana seolah menjadikan rumah uwa Kaswan sebagai tujuan. Puncaknya, di tengah adzan maghrib yang masih berkumandang dari masjid depan, selain suara knalpot motor yang terus digeber, ada juga yang melempar kaca jendela sebelah pintu masuk rumah uwa Kaswan dengan batu besar. “b*****h! Siapa sebenarnya mereka!” kesal Shanum. Setelah merapikan asal rambutnya, kemudian memastikan matanya bersih dari belek, Shanum nekat keluar. Bahkan walau sang uwa melarangnya, bermodal sapu ijuk, Shanum siap mematahkan tangan yang telah membuat kaca jendela sebelah pintu milik sang uwa pecah. “Siapa yang sudah bikin kaca jendela pecah? Sini maju! Enggak pernah makan bangku sekolahan kalian ya!” teriak Shanum benar-benar marah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN