1. Ditikung Kakak Kandung
“Halo, Pak? Eh ternyata Mamak. Mak, lagi sibuk banget apa? Dari kemarin aku telepon enggak diangkat. Oh iya, Mak. Ini, aku udah mau pulang pakai travel. Hah ...? Enggak usah pulang? Enggak usah pulang gimana, sementara hari nikahku dan mas Ridwan saja hanya kurang satu minggu?” Untuk beberapa saat, Shanum terdiam dan memang merenung serius.
“Siapa?” Di sambungan telepon terdengar suara bapak-bapak, dan Shanum kenali sebagai suara pak Kuswo, sang bapak. Suara tersebut terdengar mendekat. Seolah sang bapak memang sampai menghampiri mamak Shanum yang tengah mengobrol dengan Shanum melalui sambungan telepon suara.
“Si Shanum telepon ke hape Bapak, Pak. Tadi aku nggak sengaja angkat. Kirain siapa. Takutnya kan dari pihak Ridwan yang mau pada datang!” Sementara barusan merupakan suara ibu Sumi, mamak Shanum.
“Loh, itu si Shanum? Matiin ... matiin! Jangan diaktifkan saja hapenya sampai lusa biar aman, Mak! Ayo cepat, itu tamu sudah mulai berdatangan! Kendurinya sudah mau dimulai. Syifa juga sudah siap naik panggung buat berjanjen quran bareng teman pondoknya!” Suara pak Kuswo kembali terdengar dan kali ini jauh lebih dekat. Namun tak lama kemudian, sambungan telepon menjadi tak jelas, bunyi kresek-kresek dan berakhir senyap.
“Lah ... nih orang pada kenapa?” heran Shanum yang kemudian mencoba menelepon kontak sang bapak lagi. Namun nomor tersebut mendadak tidak aktif.
“Masa iya, beneran enggak diaktifkan? Beneran sampai lusa? Memangnya buat apa?”
Walau sudah satu Minggu dari hari pernikahannya, Shanum Qiandra Almahyra, atau yang akrab dipanggil Shanum, tetap belum diperbolehkan pulang oleh orang tuanya. Akan tetapi, Shanum yang posisinya merupakan baby sister di salah satu keluarga kaya di kota Bandung, terpaksa menentang larangan tersebut.
Selain semua gaji berikut pesangon sudah ditransfer ke rekening Syifa sang kakak, masa kerja Shanum di rumah majikannya juga sudah selesai. Sebab bersama izin menikahnya, Shanum memang sengaja tak lanjut kerja.
“Gimana, Num? Travelnya sudah datang belum? Ngaret banget. Janjinya maghrib, ini sudah isya, masih belum datang juga,” ucap ibu Fiona, dan tak lain majikan Shanum.
“Biasa lah, Bu. Namanya juga travel. Habis dari sini saja bisa jadi diputer-puter ke ujung mana, jemput penumpang. Belum nanti pas giliran antar mengantar. Belum macetnya. Andai barang bawaanku enggak banyak, ya mending kereta sih!” balas Shanum yang memang akrab dengan sang bos.
“Alamaaak! Itu travelnya terpercaya, kan, Num? Takutnya, kamu kan cantik, Ibu takut kamu diperkaos! Ibaratnya, katakanlah kamu ini kembang desa. Ibu berani jamin, kamu itu yang paling cantik di desa kamu. Ditambah lagi, kamu bawa emas banyak. Itu emas dari Ibu, kamu simpen aman, kan? Belum lagi, tabungan kamu selama kerja di Ibu berikut bonusnya, ada lima puluh lima juta. Emas dan tabungan kamu bakalan bikin kamu kelihatan makin cantik, Num!”
“Ayolah Num, jangan nikah saja. Andai nikah pun, balik kerja di sini lagi saja. Lima puluh lima juta itu hanya tabungan kecil. Karena tiap bulannya, sebagiannya kamu kirim ke orang tua kamu. Belum bonus-bonus lain. Kerja lima tahun ikut ibu saja, Ibu kasih kamu emas dua puluh lima gram bagus! Suami kamu saja sepertinya enggak bakalan kasih kamu segitu, meski dia jebolan kerja di Korea!”
Begitulah ibu Fiona, paling jago untuk urusan bujuk membujuk. Terlebih pada kenyataannya, ibu Fiona sekeluarga termasuk anak-anak yang Shanum asuh, sudah sangat cocok dengan Shanum.
Sekitar lima belas menit kemudian, tangis pecah mengiringi perpisahan mereka. Ibu Fiona sekeluarga pergi lebih dulu. Mereka akan menjalani perjalanan menggunakan mobil ke Bandara yang ada di Jakarta. Kebetulan, ibu Fiona sekeluarga ada acara liburan tahunan ke Korea Selatan. Andai Shanum tidak pamit izin untuk menikah yang sampai membuat Shanum tak lagi bekerja di sana, tentu Shanum juga ikut diboyong.
Sekitar pukul setengah sepuluh malam dan Shanum sampai ketiduran di pos satpam dirinya menunggu, travel yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.
“Patimuan-nya mana, Mbak?” tanya sang sopir travel masih menyusun barang-barang Shanum di bagasi.
“Bulupayung, Rw 002, RW 014,” balas Shanum agak berteriak karena musik dangdut yang disetel di mobil, terbilang keras. Selain itu, layaknya travel pada kebanyakan, keadaan mobil travel yang menjemput Shanum juga sempit. Tempat duduk saja sampai dibagi dan untungnya p****t Shanum ketampung. Shanum duduk di tempat duduk pinggir persis belakang sang sopir.
“Oh ... berarti komplek pak Lurah, ya, Mbak?” balas sang sopir.
“Lurah Sudir? Masih ke sana lagi, Mas!” Shanum masih berbalas dengan sang sopir.
“Oh ... berarti kayaknya Mbaknya ini rumahnya dekat yang hajatan itu,” ucap sang sopir yang sudah duduk dan siap menyetir.
“Hah? Hajatan gimana, Mas?” balas Shanum.
“Itu, guru ngaji yang nikahan sama jebolan Korea! Hiburannya orjen sama wayang! Seru banget tuh pasti!”
Meski sang sopir masih mengajak Shanum bicara. Yang mana sang sopir juga perhatian banget kepada Shanum, wanita muda berhijab dan memang sangat cantik itu mengabaikannya.
Akan tetapi, hajatan pernikahan yang sang sopir maksud membuat hati Shanum kalang kabut. “Jebolan Korea di desaku ya cuma mas Ridwan, calon suamiku. Sementara guru ngaji jebolan pondok pesantren yang calon suaminya sempat meninggal empat tahun lalu, di desa apalagi RT—ku, juga hanya mbak Syifa. Masa iya, calon suamiku dan mbakku sendiri, dikabarkan akan nikah? Ah, enggak beres ini si sopir. Lihat lah, kaca spion di atasnya saja sampai diarahin ke aku.” Shanum yang berbicara dalam hati sengaja menutupi wajahnya dengan selimut tipis yang sebelumnya, sengaja ia siapkan.
Alih-alih menyelimuti tubuhnya yang sudah sampai memakai jaket, Shanum memang lebih memilih menutupi wajah cantiknya. Shanum sengaja melakukannya, agar kecantikan wajahnya itu tidak mengganggu konsentrasi sang sopir Travel.
***
Setelah mengarungi perjalanan terbilang lama, sekitar pukul delapan pagi, akhirnya Shanum sampai di sekitar rumahnya tinggal. Namun, layaknya apa yang sopir travel katakan, di sekitar rumah orang tua Shanum memang ada hajatan. Janur kuning terpasang di jalan perempatan depan. Sederet pedagang mainan dan jajanan juga memenuhi kanan kiri jalanan.
“Mbak, ... mobilnya enggak bisa masuk,” ucap sang sopir travel masih sangat perhatian kepada Shanum. Apalagi, kini Shanum menjadi satu-satunya penumpangnya. Selain tujuan Shanum paling jauh, wanita sangat cantik yang memiliki dua lesung pipit itu juga tak keberatan jika diantarkan paling akhir.
“Ya Allah ... kok hati apalagi perasaanku enggak enak gini, ya? Itu kan rumahku, ... kok ada hajatan di rumahku? Hah ... selamat menempuh hidup baru M. Ridwan dan Asyifa Nurahmah? Itu ucapan maksudnya apaan? Masa mereka mengucapkan pernikahan kakak dan calon suamiku?” batin Shanum yang perlahan turun dari mobil.
“Saudara Muhamad Ridwan bin Mahreja Sulaiman. Saya nikah dan saya kawinkan Anda dengan Asyifa ....” Suara bapak-bapak barusan membuat kedua kaki Shanum kebas. Lagi-lagi Shanum kacau, tetapi beberapa orang di sana dan merupakan tetangganya, sudah langsung memperhatikannya.
Masalahnya, alih-alih iba karena kemungkinan terbesar, calon suami Shanum justru menikahi kakak kandung Shanum sendiri. Mereka justru menatap Shanum dengan tatapan hina. Seolah, justru Shanum yang salah dan telah melakukan kesalahan fatal.