4. Air Mata yang Pecah

1123 Kata
Berbeda dengan Shanum yang sangat emosional, Syifa merupakan pribadi yang sangat santun. Istighfar dan lafal Allah, selalu terucap dengan sangat lembut dari Syifa. Shanum dibuat meradang karenanya. Saking kesalnya, Shanum nyaris mencekik Syifa menggunakan kedua tangannya, andai Ridwan tidak dengan cepat mendorong wajah tanpa rias milik Shanum. Shanum terempas dan agak sempoyongan karena Ridwan melakukannya dengan sekuat tenaga. Dada Shanum langsung kebas karena jantungnya yang menjadi berdetak sangat kencang. Ia sungguh tak menyangka karena Ridwan tak segan main tangan. Ia tatap kedua mata mantan calon suaminya itu penuh kecewa. Ridwan yang awalnya tampak sangat emosi kepadanya, perlahan kebingungan dan menepis tatapannya. Pria itu seolah menyesali keputusannya mendorong wajah Shanum. “Aku tidak akan pernah melupakan ini!” tegas Shanum sambil terus menatap kecewa Ridwan. “Mas Ridwan ... sabar, Mas. Shanum adikku. Dia hanya sedang emosi. Aku mohon maafkan adikku, Mas.” Jijik. Permohonan Syifa barusan dan terdengar sangat membela sekaligus melindungi Shanum, membuat Shanum merasa sangat jijik. Karena pembelaan tersebut pula, bukannya membuat orang-orang di sana iba kepada Shanum. Yang ada mereka makin benci. Yang ada Shanum makin terlihat bobrok di mata semuanya. “Sekali lagi aku tanya ke kamu, Mbak. Wanita suci seperti Mbak, tetap tidak mengakui hasil jeri payahku yang aku transfer ke Mbak sebanyak lima puluh lima juta?” Shanum memang bertanya kepada Syifa, tetapi kedua matanya tetap menatap murka Ridwan yang masih berdiri tepat di hadapannya. “Masya Allah, Num. Sudah Num istighfar. Mbak minta maaf kalau Mbak banyak salah. Namun, Mbak hanya menerima ini sesuai kesepakatan keluarga kita maupun keluarga Mas Ridwan! Jujur, Mbak sedih banget!” sedih Syifa yang kemudian dibalas teriakan bahkan makian dari Shanum. Shanum melarang Syifa berlindung di balik agama apalagi menyebut-nyebut nama Allah, di setiap kebohongannya. Akan tetapi, kenyataan tersebut justru membuat Shanum kembali diserang beramai-ramai. Shanum diminta mundur. Shanum membiarkan Ridwan maupun Syifa melangsungkan pernikahan. Semua pemuda yang sempat berhenti karena berhasil dilerai, kembali beraksi. “Sudah ... sudah ... astaghfirullah ... aku mohon tenang. Jangan lukai Shanum. Shanum adikku. Dia hanya difitnah. Insya Allah adikku juga wanita baik-baik. Insya Allah adikku ahli surga!” Suara lembut Syifa menjadi lebih lantang. Ia yang awalnya sempat dilindungi Ridwan, sengaja maju merangkul Shanum. Di antara tindak main hakim sendiri yang ia dapatkan, bukan hanya kedua matanya yang menangis. Sebab hatinya juga. Hatinya serasa diiris, sakit sekali. Shanum tatap kedua orang tuanya yang tampak jelas tak memiliki kekuatan untuk membelanya. Shanum bukanlah anak yang ditelantarkan. Kedua orang tua Shanum menyayangi anak-anaknya. Namun, sejak empat tahun lalu. Sejak Asyifa sempat selalu murung karena calon suaminya meninggal dan membuat Syifa gagal menikah, semuanya berubah. Syifa menjadi prioritas keluarga. Shanum yang notabene murid berprestasi harus rela hanya lulus SMA dan tak jadi kuliah. Sebab uang keluarga habis untuk berobat Syifa. Dari segi medis, agama, bahkan dukun, mereka coba hingga sawah keluarga melayang. “Apakah aku harus lebih dulu cacat agar kalian percaya, bahwa aku juga korban? Apakah aku harus berdarah-darah agar kalian tahu bahwa aku juga sangat sakit?” sendu Shanum yang terduduk loyo di tengah kerumunan. “Mengenai uang lima puluh lima juta, aku benar-benar tidak bohong. Aku mengumpulkannya dan menitipkannya lewat Mbak Syifa karena aku belum punya rekening sendiri. Semua uang itu ditransfer langsung oleh majikanku. Niatnya, uang itu untuk biaya kuliah dan sebagiannya untuk bantu-bantu biaya nikah.” “Ya sudah, aku pergi. Bukankah ini yang kalian mau? Urusan uang, nanti majikanku yang urus ke bank. Sekalian, aku akan meminta majikanku untuk membersihkan nama baikku lewat pengacara keluarganya!” Sebelum pergi, kedua mata Shanum yang sembab, menatap wajah orangtuanya, wajah Ridwan, dan juga wajah Syifa yang malah mendadak tersedu-sedu kemudian memeluk ibu Sumi. “Benar-benar ratu drama. Andai enggak lihat dia kakakku, sudah aku teluh nih orang!” batin Shanum yang lagi-lagi dihardik oleh pemuda, agar Shanum segera pergi dari sana. *** “Istighfar, Num ....” “Aku enggak kesurupan apalagi ketempelen iblis, Wa.” Shanum masih menunduk dalam. Ia duduk di pinggir dipan sebuah kamar kediaman pak Kaswan. Sesuai rencana, Shanum diamankan di rumah pak Kaswan dan lokasinya tidak begitu jauh dari rumah orang tua Shanum. Mereka masih tinggal di desa yang sama. Hanya beda RW saja. Selain itu, sopir travel yang mengantar Shanum juga turut membantu. Dua koper Shanum, tiga dus besar, dan juga dua karton besar selaku barang-barang Shanum, juga ada di kamar Shanum tinggal sekarang. “Minum dulu teh—nya. Uwa Mirah sedang beli nasi ke depan buat kamu. Kamu pasti belum makan. Kebetulan sudah tiga hari ini, uwa Mirah enggak masak karena sibuk bantu-bantu di rumah kamu.” Pak Kaswan bertutur penuh kelembutan. Ia memperlakukan Shanum layaknya memperlakukan anak sendiri. Diperhatikan oleh sang uwa atau itu om, membuat hati Shanum seperti diremas. Air mata yang sedari tadi susah payah Shanum tahan, akhirnya lolos berjatuhan mirip hujan sangat deras. Suara tangis juga akhirnya terdengar dan Shanum tahan-tahan. “Kalian jahat banget. Tega-teganya kalian membiarkan ini terjadi. Tanpa mengabariku. Dikiranya mentalku terbuat dari batu? Nisan berbahan batu saja bisa retak loh, Uwa. Apalagi hatiku ....” Shanum tersedu-sedu. Kedua tangannya mencengkeram selimut di tempat tidur sana. Pak Kaswan menghela napas dalam. Ia tak tega melihat Shanum terlihat hancur layaknya sekarang. Saat di depan orang-orang bahkan orang tuanya, Shanum memang terlihat sangat tegar. Namun di lain sisi, pada kenyataannya Shanum sama saja dengan anak pada kebanyakan. Shanum manusia biasa yang tentu saja butuh perhatian sekaligus kasih sayang. Sungguh bukan hanya Syifa saja yang membutuhkannya. “Cukup tangisi kenapa kakakmu setega ini. Jangan tangisi Ridwan lagi. Bagus kalian tidak jadi. Lebih baik tidak jadi, ketimbang sudah nikah, kamu dibikin sakit hati sama dia,” ucap pak Kaswan. “Aku enggak nangisin Ridwan, Wa. Aku menangisi nasibku yang selalunya diabaikan oleh keluarga sendiri. Aku menangisi kejujuran kalian yang seolah haram untukku.” “Sekarang aku bahkan enggak tahu, ... ini statusku apa. Aku sudah sepenuhnya dibuang apa gimana? Terus, ... aku juga sudah enggak boleh tinggal di sini, ya? Tahu gini, aku ikut majikanku saja ke Korea. Liburan, makan enak, dan pastinya aku juga diperhatikan oleh mereka layaknya anak.” “Selain itu. Selain itu aku juga pasti tetap bisa pakai uang lima puluh lima jutaku buat biaya kuliah. Karena andai mbak Syifa sudah enggak mau ngaku, pasti mamak sama bapak minta aku buat ikhlasin uang sebanyak itu. Mana tega aku mengungkit lagi jika bapak sama mamak sudah minta gitu. Ujung-ujungnya aku nangis dan melukai diriku lagi.” Shanum kian menunduk dalam. Sebab apa yang baru saja ia katakan mengenai nasib uangnya, dirasanya akan menjadi satu-satunya kenyataan. Karena begitulah hukum keadilan dalam keluarganya. “Jadi benar, ... uang sebanyak itu, ... uang sebanyak itu, kamu transfer ke ... Syifa?” sergah pak Kaswan. Pak Kaswan menatap Shanum tak percaya. Ia tampak sangat kaget sekaligus menyayangkan kenapa apa yang ia tanyakan sampai terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN