Semakin Dekat

2064 Kata
“Ma, Mikha mana? Kok dari tadi Alex nggak liat Mikha?” “Loh, Mama kira pergi sama kamu.” Helen terkejut saat melihat Alex datang dan mencari Gabby. Alex mengernyit saat mendengar perkataan Helen. “Nggak kok. Alex malah nggak tau kalo Mikha pergi. Emang Mama nggak tau Mikha pergi sama siapa?” “Nggak,” sahut Helen apa adanya. “Tadi Mikha cuma bilang mau main keluar. Kan biasanya pergi sama kamu, jadi Mama diem aja. Duh itu anak ke mana sih? Sama siapa perginya, bikin orang tua bingung aja deh itu anak.” Alex hanya diam dan tidak menanggapi perkataan Helen. Dia sepertinya tahu Mikha pergi dengan siapa. Belakangan ini, Alex kadang kerap mengikuti Gabby ke tempat kursus dan melihat dengan mata kepala sendiri kalau Gabby pergi dan pulang bersama dengan Levin. Alex juga tidak berniat memberitahu Helen dengan siapa Gabby pergi. Alex memang pernah mengatakan pada Gabby kalau dia akan melaporkan pada Helen dengan siapa gadis itu pergi. Namun, dia sama sekali tidak pernah berniat melakukan hal itu. Biar bagaimanapun, Alex sangat menyayangi Gabby dan ingin selalu menjaga gadis itu, walaupun hatinya sendiri akan terluka. “Ya udah, kalo gitu Alex pulang lagi Ma.” Helen terkejut mendengar perkataan Alex. “Kenapa? Kamu nggak mau temenin Mama di sini? Mama lagi bikin lemper loh.” Sesaat, Alex tergiur mendengar Helen mengatakan sedang membuat lemper, salah satu kudapan kesukaannya. Namun, suasana hatinya sedang tidak baik karena keresahan hatinya memikirkan Gabby yang sedang pergi bersama Levin, entah ke mana. Dia khawatir pemuda itu akan melakukan sesuatu yang tidak baik pada Gabby. “Nanti aja Alex balik lagi ya Ma.” Alex kembali ke rumah dengan wajah kusut dan tidak melihat Tanti yang sedang membereskan tanaman di kebun. “Kok balik lagi? Katanya mau main di rumah Mikha?” ujar Tanti saat melihat Alex kembali ke rumah. “Anaknya juga nggak ada, Alex mau main sama siapa coba?” Tanpa sadar, Alex meluapkan kekesalannya pada Tanti. “Mikha nggak ada? Maksudnya lagi pergi? Sama siapa?” “Paling sama cowok yang waktu itu jemput dia di depan rumahnya.” Tanti mengamati wajah Alex yang terlihat mendung. Terlihat kekecewaan di kedua bola mata putra semata wayangnya. Dia mengerti apa yang dirasakan Alex saat ini, karena tahu perasaan putranya untuk Gabby. “Kamu takut Mikha pacaran sama dia?” tanya Tanti hati-hati. “Bunda masih perlu nanya?” Alex balas bertanya pada Tanti dengan nada getir. Tanti meletakkan gunting tanaman di meja, dan berjalan menghampiri putranya. “Lex, Bunda mau ingetin kamu. Kalo emang Mikha itu emang jodoh kamu, suatu saat nanti pasti bakal balik sama kamu. Andai bukan, kamu harus mulai belajar melepaskan Mikha. Cinta yang bener itu adalah saat kamu ngeliat orang yang kamu sayang bahagia.” Alex mengembuskan napas panjang mendengar nasihat Tanti. Dia tahu apa yang dikatakan ibunya benar, akan tetapi dia juga hanyalah manusia biasa yang bisa merasa sakit dan kecewa ketika melihat gadis yang sudah dicintai sejak remaja bersama orang lain. “Tapi rasanya kan sakit Bun, kalo ternyata Mikha jadi milik orang lain. Masa dia nggak bisa ngerasain sih kalo Alex tuh sayang sama dia?” Tanti tersenyum lembut pada Alex. tangannya terulur dan menepuk lembut bahu putranya. “Justru di saat kayak gini cinta kamu tuh lagi diuji. Andai kamu bisa lewatin ini, siapa yang tau kalo di depan nanti, Mikha bakal beneran jadi milik kamu.” Alex menatap Tanti dengan sendu dan bertanya lirih. “Terus Alex mesti gimana dong?” “Dukung Mikha, dan jangan pernah berubah sama dia. Tetep ada kapanpun Mikha butuh kamu. Bunda yakin banget kalo suatu hari, Mikha pasti bakal liat ketulusan kamu.” “Walaupun nanti Mikha jadian sama itu orang?” tanya Alex putus asa. “Iya, dan di saat itu, kamu harus bisa tetep tegar.” “Berat banget sih Bun.” Alex mengeluh mendengar perkataan Tanti. Tanti tersenyum lembut dan melanjutkan ucapannya. “Anggep aja proses pendewasaan Lex,” sahut Tanti tenang. “Semua yang didapet karena harus melalui proses, hasilnya pasti indah. Dan semua yang didapat dengan cepat, maka habisnya juga cepet.” “Iya Bun.” “Sekarang, mending kamu mandi, terus anterin Bunda belanja.” “Emang Bunda mau belanja apaan? Kalo ke pasar, nggak usah mandi dulu kali, ntar kan pasti kotor lagi. Rugi banget mandi dua kali.” Tanti menggeleng geli melihat keengganan Alex untuk mandi. “Kamu tuh males mandinya kronis banget sih Lex. Mana ada cewek yang mau sama anak jorok kayak kamu?” “Biarin aja Bun, malah bagus kan nggak ada yang mau deketin. Di hati Alex cuma ada Mikha titik.” “Terserah kamu,” sahut Tanti sambil membalikkan tubuh Alex dan mendorong putranya ke arah pintu. “Sana buruan mandi, Bunda mau belanja ke supermarket.” “Okeh,” sahut Alex setengah hati. *** “LEXI!” Gabby berteriak dengan suara lantang memanggil Alex. Tanti yang berada di ruang makan, bergegas keluar saat mendengar suara teriakan Gabby. “Ya ampun By.” Tanti menggeleng saat melihat Gabby berdiri di tengah-tengah ruang tamu dan bersiap hendak berteriak lagi. “Anak gadis kok hobinya teriak-teriak kayak gitu sih?” Tanti menegur halus kelakuan Gabby yang menurutnya tidak pantas. Gabby meringis mendengar teguran Tanti. “Maaf Bunda. Gabby mau ketemu sama Alex, ada yang mau Gabby ceritain sama dia. Alex ada di mana Bun?” Tanti menggeleng melihat seringai di wajah Gabby. “Tadi Alex bilang mau ke rumah pohon. Kamu udah cari ke sana belum?” “Belum Bun,” sahut Gabby cepat. “Kalo gitu, Gabby ke sana dulu ya. Makasih banyak Bunda.” Gabby membalikkan badan dan bergegas ke samping rumah. Di antar rumahnya dan Alex, ada pohon besar yang oleh kedua ayah mereka sengaja dibangun rumah pohon ketika mereka masih kecil. Di sanalah Gabby dan Alex sering menghabiskan waktu bersama. Kebiasaan itu terus berlanjut hingga sekarang. Gabby naik ke rumah pohon miliknya dan Alex melalui tangga kayu yang sengaja dipasang di sana. Tiba di atas, Gabby melihat Alex tengah berbaring di karpet usang yang dijadikan alas untuk menutupi lantai kayu. Dia mendekati Alex dengan seringai jail dan duduk di sisi pemuda itu. Gabby mengulurkan tangan dan memencet hidung Alex dengan keras. Alex yang hampir terlelap, langsung membuka mata dan mendelik saat melihat apa yang dilakukan Gabby padanya. Dia memegang tangan gadis itu dan menyingkirkan dari hidungnya. “Kamu mau apaan sih?! Gangguin orang tidur aja!” “Ye …, kok malah marah sih?! Nggak suka gitu kalo gue ke sini?!” Gabby langsung emosi mendengar teguran Alex padanya. “Kenapa jadi kamu yang marah Mik? Kan kamu yang gangguin aku? Aneh banget deh jadi orang.” “Biarin, habis elo nyebelin banget sih jadi orang!” Gabby membalas perkataan Alex, dan tidak mau mengakui kesalahannya. Gabby bergeser menjauhi Alex dan memilih duduk bersandar di salah satu dinding papan. Alex beringsut bangun dan duduk di seberang Gabby sambil memperhatikan raut wajah gadis itu. “Kamu mau apa?” tanya Alex. “Tadinya gue mau cerita, tapi langsung males habis dengerin omelan elo!” Gabby mengerucutkan bibirnya, kesal mengingat sambutan Alex yang menyebalkan. “Lah kok malah dia yang ngambek sih?” Alex menggeleng tidak mengerti dengan sikap Gabby yang kerap ingin menang sendiri. “Biarin, suka-suka gue aja!” sahut Gabby ketus. Alex memperhatikan Gabby dengan lebih seksama. “Kamu ke sini nyari aku, pasti mau cerita kan? Kamu mau cerita apa?” Mendengar suara Alex yang lembut dan menenangkan, membuat emosi Gabby surut. Dia memang sengaja mencari Alex untuk bercerita, sekaligus bertanya pilihan apa yang harus dibuat. “Gue mau nanya sama elo, tapi jawabnya yang bener ya, bisa nggak?” “Tanya apa?” “Tentang Levin,” sahut Gabby malu-malu. Pipinya merona saat menyebut nama Levin. “Emang kenapa sama dia?” tanya Alex datar saat melihat perubahan di wajah Gabby. Gabby pun menceritakan tentang permintaan Levin yang ingin menjalin hubungan dengannya. Tidak ada yang ditutupi Gabby dari Alex, semua dia katakan dengan jujur. Bersama Alex, dia tidak pernah menyembunyikan apapun, karena hanya Alex seoranglah yang bisa diandalkan untuk menjaga rahasia miliknya. “Menurut lo, gue mesti gimana? Terima apa nggak?” tanya Gabby setelah selesai bercerita. Alex diam dan tidak tahu harus menjawab apa pada Gabby. Apa yang ditakutkan sejak beberapa waktu yang lalu, akhirnya terjadi juga. Ternyata, Levin tidak membutuhkan waktu lama untuk mengungkapkan perasaannya pada Gabby. Apapun jawaban yang diberikan Alex untuk pertanyaan Gabby, semua tidak akan menyenangkan untuknya. Alex benar-benar bingung dan berharap gadis itu tidak memaksanya untuk menanggapi pertanyaan Gabby. Gabby yang tidak sabar menunggu, mengajukan pertanyaan dengan suara gusar pada Alex. “Lex, kenapa diem aja?! Jawab gue napa?! Menurut lo gimana?” Alex berdecak gusar mendengar nada memaksa Gabby. “Emang aku mesti jawab apa? Kan kamu yang harus milih dan ngasih jawaban ke itu orang. Kenapa mesti nanya sama aku? Apapun keputusan yang kamu buat, kamu harus bisa bertanggung jawab dan jalanin dengan benar.” Kesal mendengar jawaban Alex yang tidak memberikan pencerahan untuknya, Gabby mengambil boneka kelinci dan melemparkannya ke arah sahabatnya. “Jawaban elo malah bikin gue makin bingung tau! Bukannya ngasih solusi, malah bikin kepala gue makin pusing!” Alex menatap Gabby untuk beberapa saat, sebelum akhirnya berkata dengan tegas pada gadis itu. “Mik, yang kayak gituan, harus kamu pikirin dan cari jawabannya sendiri. Kamu nggak bisa minta bantuan orang lain. Itu kan berhubungan langsung sama hati dan apa yang bakal kamu jalanin.” Alex mengambil boneka kelinci yang tergeletak di karpet dan memeluknya dengan erat. “Saran aku, coba kamu telaah sendiri, gimana perasaan kamu yang sebenernya ke itu orang. Inget, kamu nggak boleh gegabah dalam ambil keputusan.” “Nggak tau ah! Gua malah makin pusing dengerin omongan elo!” Gabby berdiri dan melangkah meninggalkan Alex. Dia menuruni tangga kayu dengan kasar dan berlari ke rumah. Gabby masuk ke kamar dengan hati panas oleh amarah. Dia mengempaskan tubuh di tempat tidur, mengambil boneka beruang dan memeluknya. “Dasar nyebelin!” rutuk Gabby saat teringat perkataan Alex tadi. “Bukan ngasih saran, malah bikin otak gue makin bumpet!” Gabby melempar boneka ke sembarang arah untuk melampiaskan kegusarannya. “Gabby?! Kamu kenapa?” Helen yang baru membuka pintu kamar terkejut saat melihat ada boneka melayang. Gabby menoleh ke arah pintu dan terkejut melihat kehadiran ibunya. “Mama? Mau ngapain ke sini? Kenapa masuk ke kamar nggak ngetuk pintu dulu?! Untung Gabby lagi nggak aneh-aneh.” Helen masuk ke dalam dan menghampiri tempat tidur. Dia duduk di tepi tempat tidur dan berkata dengan sabar. “Mama udah ngetuk dari tadi, tapi kamu nggak nyaut. Ya udah, Mama coba buka pintu, ternyata nggak dikunci. Eh, malah liat kamu lempar boneka. Kamu lagi kenapa sih?” Gabby beringsut bangun dan duduk berhadapan dengan Helen. Dia menceritakan tentang Levin dan permintaan pemuda itu padanya. Dia juga menceritakan tentang perkataan Alex tadi yang membuat dirinya marah pada pemuda itu. “Bukannya ngasih solusi, malah bikin kepala Gabby tambah pusing! Kan jadi emosi dan pengen ngegetok kepala itu anak jadinya!” Helen menggeleng sambil mengulas senyum kecil mendengar luapan kekesalan putrinya. “Alex nggak salah ngomong kayak gitu By,” ujar Helen lembut. “Emang bener kalo kamu tuh harusnya mikir sendiri.” Helen menatap Gabby yang terlihat ingin membantah. Melihat hal itu, Helen kembali melanjutkan perkataannya. “Emang apa sih yang bikin kamu ragu, sampe bingung ambil keputusan?” “Nggak tau Ma, Gabby juga bingung.” Gabby menatap Helen sejenak, kemudian mengutarakan kegelisahan di hatinya pada Helen. “Kadang ya, matanya Levin itu kayak nggak fokus, suka ke mana-mana, dan jarang mau tatapan mata kalo lagi ngomong. Kadang juga, dia tuh kayak yang nggak dengerin omongan Gabby. Di saat harusnya ketawa, dia diem aja. Yang kayak gitu-gitu deh yang bikin Gabby jadi ragu. Tapi, selama ini semua baik-baik aja.” Helen tersenyum lembut mendengar unek-unek putrinya. “Kan kalian juga belum punya status apa-apa, baru pedekate aja kan? Mungkin kalo kalian sudah menjalin sebuah hubungan, sikap Levin akan berubah. Semakin dekatnya hubungan kalian, lama-lama kamu pasti bisa ngenalin semua kelakuan dan sikap dia. Itu semua butuh proses.” “Gitu ya? Jadi Gabby mesti gimana dong?” “Ikutin kata hati kamu,” sahut Helen mencoba bijak. “Toh kalian nggak akan langsung nikah juga kan? Nggak ada salahnya kamu belajar kenal yang namanya pacaran dan siapa tahu dengan begitu, kamu bakal makin dewasa.” “Jadi? Gabby terima aja gitu permintaan Levin?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN