Memberi Jawaban

2077 Kata
“By, kamu mau ke mana?” Abimanyu terkesima melihat penampilan putrinya yang berbeda malam ini. “Mau pergi, Pa.” “Tumben kamu cantik banget malam ini? Mau keluar sama Alex?” Gabby mengerucutkan bibir saat mendengar perkataan Abimanyu. “Nggak lah, masa udah dandan cantik gini, perginya sama dia. Rugi banget dong Pa.” Kening Abimanyu berkernyit semakin dalam mendengar jawaban putrinya. “Terus kamu mau pergi sama siapa?” Gabby meringis kecil mendengar ucapan Abimanyu. “Ada deh, nanti Papa juga bakalan tau kok.” Gabby belum ingin memberitahu ayahnya kalau saat ini sedang dekat dengan Levin. Dia akan bicara, saat dirinya sudah resmi menjadi kekasih pemuda itu, sembari memperkenalkan Levin pada Abimanyu. Helen yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan Gabby dan Abimanyu, tidak tahan untuk tidak membocorkan rahasia kecil putrinya pada Abimanyu. “Anak kamu itu mau pergi sama calon pacarnya.” “Calon pacar? Sejak kapan kamu kenal sama cowok, By? Kenal di mana?” Abimanyu memberondong Gabby dengan pertanyaan setelah mendengar penjelasan Helen. “Papa tuh nanya apa interogasi sih? Kok nanyanya banyak banget?” Abimanyu terkekeh mendengar gerutuan putrinya. Sebagai orang tua, dia merasa khawatir dan juga tidak rela mengetahui ada seorang pemuda yang mendekati Gabby. Abimanyu tidak ingin putrinya sampai salah memilih pasangan yang nantinya akan membuat Gabby menjadi terluka. “Pokoknya nanti kalo udah pasti, Gabby pasti ceritain semua ke Papa. Sekarang Gabby pergi dulu ya, anaknya udah nungguin di depan.” Gabby bergegas keluar untuk menemui Levin yang sudah menunggu di depan rumah. Di luar pagar , tampak Levin berdiri dengan kedua tangan berada di saku celana. Sesaat, Gabby terpana melihat penampilan Levin yang terlihat semakin gagah dengan mengenakan kemeja biru langit yang bagian tangan digulung hingga siku, dipadu jins biru muda. Setengah berlari, Gabby menuju ke pagar untuk menemui Levin. “Maaf, kamu nunggunya kelamaan ya? Tadi papa ngajak aku ngobrol dulu.” “Gapapa By,” ujar Levin sambil memamerkan senyum lebar pada Gabby. “Kita pergi sekarang?” Gabby menggangguk senang mendengar suara Levin yang menurutnya sangat enak didengar oleh telinganya. Levin mengulurkan tangan yang langsung tanpa malu-malu oleh Gabby. Semenjak sering bertemu, Gabby sudah tidak sungkan lagi untuk bergandengan tangan dengan Levin. Rasanya sangat menyenangkan saat merasakan genggaman tangan pemuda itu. Levin berjalan ke arah mobil yang diparkir di pinggir jalan. Gabby mengernyit bingung saat menyadari tidak melihat motor yang biasa dikendarai oleh pemuda itu. “Tumben pake mobil? Motor kamu mana?” tanya Gabby. Levin menatap Gabby sekilas sambil terus berjalan hingga tiba di sisi mobil. Setelah itu barulah Levin menjawab pertanyaan Gabby. “Masa mau ajak kamu ke tempat spesial, aku bawa motor? Nanti kalo dandanan kamu jadi acak-acakan gimana?” Pipi Gabby merona mendengar jawaban Levin. Tanpa dapat dicegah, jantungnya berdegup kencang. Perkataan-perkataan Levin yang manis, terkadang membuat Gabby menjadi malu dan salah tingkah. Namun, Levin sama sekali tidak terpengaruh dengan perubahan wajah Gabby. Dia malah membukakan pintu mobil untuk gadis itu. “Ayo masuk, nanti kita telat.” Gabby sedikit terkejut melihat sikap dingin Levin. Hal-hal kecil seperti inilah yang membuatnya sedikit ragu untuk menerima pernyataan cinta pemuda itu. Tanpa banyak tanya, Gabby masuk ke dalam mobil. Setelah Gabby duduk, Levin memutar dan masuk ke dalam mobil. Dia membawa Gabby ke tempat yang sudah dipersiapkan dengan baik sejak kemarin. Gabby terpana saat mobil yang dikendarai Levin berhenti di depan sebuah restoran yang terbilang cukup mahal di daerah Jakarta. Gabby menoleh ke samping dan bertanya pada Levin. “Kamu nggak salah ngajak aku ke sini?” “Emang kenapa? Kamu nggak suka? Apa tempatnya kurang bagus? Atau nggak sesuai sama selera kamu? Kamu mau pindah ke tempat lain?” Gabby terdiam dengan bibir sedikit terbuka mendengar rentetan pertanyaan Levin yang diucapkan dengan suara tersinggung. “Nggak kok, aku malah seneng banget,” ujar Gabby yang tidak ingin merusak suasana malam ini, walaupun hatinya berkata lain. “Tempat ini beneran bagus banget dan sangat romatis. Aku nggak nyangka kalo kamu bisa tau apa yang aku suka.” Levin terkekeh mendengar perkataan Gabby. Seketika amarahnya hilang mengetahui kalau ternyata gadis itu menyukai pilihannya. “Aku tau karena aku punya rasa ke kamu. Dan tentunya kamu tau rasa apa yang aku punya kan?” “I-iya.” Entah mengapa, Gabby mendadak gugup saat menjawab Levin. Ada sedikit rasa tidak nyaman melihat sikap Levin yang suasana hatinya berubah sangat cepat. “Ayo, sekarang kita turun.” Gabby menuruti perkataan Levin tanpa banyak bicara. Begitupun saat pemuda itu mengambil tangannya dan membawa dia menuju pintu masuk restoran. Di pintu depan, mereka berdua disambut seorang pelayan wanita yang tersenyum ramah. “Selamat malam, selamat datang, maaf, untuk berapa orang?” “Saya udah pesen tempat kemarin, untuk dua orang, atas nama Levin.” “Ah, Tuan Levin. Silakan ikuti saya.” Pelayan wanita tadi berjalan di depan, memandu Levin dan Gabby ke meja yang sudah dipesan oleh Levin. Pelayan wanita itu menarik kursi untuk Gabby, “Silakan duduk.” “Terima kasih.” Gabby duduk di kursi yang sudah disediakan sambil tersenyum ramah. Setelah duduk di seberang Gabby, Levin menatap pelayan perempuan yang tetap berdiri menunggu instruksi dari Levin. “Tolong pesanan saya dianter sekarang.” “Baik, silakan menunggu sebentar.” “Kamu suka tempatnya?” tanya Levin setelah pelayan wanita pergi. “Banget, aku suka banget sama tempat ini. Kok kamu bisaan sih nemuin tempat bagus kayak gini?” Gabby sengaja berkata seperti itu mengingat sikap Levin tadi saat di mobil. Levin menatap mesra pada Gabby. Dia mengelus punggung tangan gadis itu yang terletak di atas meja. “Karena hari ini spesial buat aku, makanya aku sengaja milih tempat yang spesial juga buat kamu.” Gadis mana yang tidak terpesona mendengar perkataan Levin yang begitu manis seperti madu. Begitu juga dengan Gabby yang baru kali ini diperlakukan dengan sangat manis oleh lawan jenis. Akal sehatnya menghilang seketika karena rayuan Levin. “Apa kamu udah punya jawaban buat aku?” tanya Levin tanpa melepaskan pandangan dari Gabby. Gabby mengangguk perlahan sambil menjawab dengan suara lirih. “Udah. Apa mesti dijawab sekarang?” Levin membuka kedua tangannya dan mengulas senyum lembut untuk Gabby. “Tentu aja,” sahutnya “Aku udah nggak sabar pengen tau jawaban kamu By. Asal kamu tau, aku tuh gelisah banget beberapa hari ini, mikirin jawaban kamu ke aku. Kalo emang kamu siap, tolong jawab aku ya.” Gabby benar-benar tersihir dengan semua pesona yang ditunjukkan Levin. “Masa masih harus aku bilang sama kata-kata? Kalo kamu peka, seharusnya kamu tau cuma dengan liat dandanan aku hari ini.” Gabby sengaja ingin mengulur sedikit waktu untuk menenangkan jantungnya yang tidak mau melambatkan detakannya. Dia takut jika Levin dapat mendengar suara jantungnya. “Tentu aja aku liat,” sahut Levin sambil menatap mesra pada Gabby. “Tapi akan lebih baik kalo denger langsung dari mulut kamu kan? Aku tuh butuh kepastian By.” Dada Gabby kembali berdebar keras mendengar perkataan Levin. Akhirnya, dengan suara sangat pelan, Gabby memberikan jawaban untuk Levin. “Iya, aku mau kok jadi pacar kamu.” “Kamu serius?” Levin tidak percaya dengan pendengarannya. Betapa mudahnya mendapatkan hati Gabby. Tadinya, dia berpikir masih membutuhkan waktu cukup lama untuk menaklukkan gadis itu, akan tetapi dugaannya ternyata salah. “Masa sama yang kayak ginian, aku boong sih?!” Gabby pura-pura merajuk pada Levin. Levin terkekeh geli melihat ekspresi wajah Gabby yang seperti itu. “Maaf, aku bukan nggak percaya, tapi aku tuh butuh meyakinkan diri sendiri aja. Rasanya terlalu indah buat dipercaya, kalo kamu ternyata mau jadi pacar aku.” Levin mengambil tangan kiri Gabby yang ada di atas meja, dan mengecupnya dengan lembut. “Aku janji akan selalu bahagiain kamu By, dan akan bikin kamu jadi gadis paling bahagia.” *** “Kamu mau pergi lagi Mik?” tanya Alex saat tiba di teras rumah Gabby dan melihat gadis itu sepertinya sudah siap untuk pergi. “Hm. Kenapa?” sahut Gabby tanpa mengangkat wajahnya. Dia sedang berbalas pesan dengan Levin yang akan menjemputnya sebentar lagi. “Sama dia lagi?” Gabby menengadah dan melotot pada Alex. “Dia yang elo maksud itu punya nama, Lex! Namanya L-E-V-I-N!” Gabby mengeja huruf-demi huruf nama Levin dengan suara ditekan. “Dan asal elo tau ye, Levin itu udah resmi jadi pacar gue!” “Suka-suka aku dong mau manggil dia apa,” sahut Alex tidak peduli dengan berita yang dikatakan Gabby barusan. “Nggak ada hubungannya juga sama aku.” Alex duduk di undakan teras dengan santai. “Serah elo deh! Cape ngomong sama orang bebel kayak elo! Mending gue masuk aja deh ke dalem!” Gabby yang dongkol mendengar jawaban Alex, berdiri dari kursi dan masuk ke dalam rumah. Alex menatap kepergian Gabby dengan tatapan sendu. Sebenarnya, dia sudah tahu kalau Gabby berpacaran dengan Levin dari Tanti. Sejak mengetahui kalau Gabby sudah menjalin hubungan dengan pemuda itu, hatinya terasa sangat sakit. Seluruh semangatnya menguap entah ke mana. Alex berusaha sebaik mungkin menyembunyikan rasa sakit dan kecewanya dengan tetap datang ke sini dan bersikap biasa saja. Namun, rasanya terlalu menyakitkan untuk melihat Gabby tersenyum manis saat menyebut nama Levin. Apalagi, sahabatnya tidak pernah berhenti membicarakan pemuda itu. Tidak lama kemudian, Gabby keluar lagi dan duduk di samping Alex di undakan rumah. Alex yang menyadari kehadiran gadis itu, tidak tahan untuk tidak meledek Gabby. “Kenapa keluar lagi? Katanya mau di dalem?” “Suka-suka gue dong! Rumah-rumah gue, kenapa juga mesti gue yang nyingkir masuk! Harusnya kan yang pergi itu elo, bukannya gue!” Gabby mendelik pada Alex yang menyeringai lebar padanya. Alex terkekeh mendengar jawaban ketus Gabby. “Ini kan juga rumah aku Mik, rumah kedua aku. Sama kayak kamu kan yang selalu bilang rumah aku itu rumah kamu juga.” Mendengar jawaban Alex, mau tidak mau Gabby tertawa juga. Rasa kesalnya hilang seketika. Seperti itulah Gabby pada Alex, mudah marah, akan tetapi dengan cepat akan kembali seperti biasa. Alex selalu dapat membuatnya tertawa dan merasa nyaman. “Elo mau ngapain ke sini?” tanya Gabby setelah berhenti tertawa. “Bosen di rumah, makanya aku ke sini,” sahut Alex. “Tapi ternyata kamunya malah mau pergi.” “Siapa suruh nggak nanya dulu.” “Gimana mau nanya, lah pesen aku aja cuma dibaca doang tanpa dibales.” “Ya maap deh. Gue kan lupa.” Gabby berusaha membela dirinya untuk menutupi rasa malu. “Lupa karena terlalu sibuk pacaran?” Gabby meringis mendengar sindiran Alex yang tepat sasaran. “Elo belum ngerasain sendiri sih. Ternyata punya pacar itu nyengengin banget tau.” Gabby menatap Alex dengan mata berbinar-binar. “Elo kenapa nggak nyoba nyari pacar aja, biar bisa ngerasain enaknya pacaran?” “Ogah, males, dan nggak niat juga,” sahut Alex datar. “Apa enaknya pacaran? Yang ada malah bikin ribet. Mending nanti aja, nggak usah pacaran, tapi langsung nikah.” “Ye …, kuliah aja belum, udah mikirin nikah! Ngaco lo! Lagian kata siapa pacaran tuh ribet? Belum pernah ngerasain kok udah bisa bilang ribet?!” Alex menatap Gabby sesaat, mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan gadis itu. Bagaimana mungkin mengatakan pada Gabby itu jika hanya ada satu nama gadis di hatinya, dan itu adalah Gabby. Jika harus berpacaran, maka hanya dengan Gabby dia akan melakukan hal itu. “Aku emang nggak niat pacaran dulu Mik. Aku mau kuliah, kerja, terus langsung nikah. Itu udah cita-cita aku dari dulu. Pacarannya nanti aja, pas udah nikah.” “Pemikiran yang aneh,” gumam Gabby yang tidak memahami jalan pikiran Alex. “Nggak aneh juga sih kata aku,” sanggah Alex cepat. “Liat aja papa sama bunda. Mereka itu produk orang yang nggak pacaran. Ketemu, cocok, terus langsung nikah. Pacarannya setelah nikah, dan awet sampe sekarang.” “Iya, tapi banyak juga kan yang malahan gagal. Pacaran itu kan salah satu cara buat ngenalin gimana pasangan kita. Lagian itu ya, pacaran tuh enak banget, banyak indahnya, dunia tuh rasanya cuma milik gue dan dia. Kalo Levin nggak telepon aja, gua tuh rasanya sedih banget, kayak ada yang kurang.” “Iya, itu karena kamu kan baru jadian, semua rasanya indah dan manis. Apa masih akan kayak gitu kalo udah pacaran lama?” “Sok tau lo, Lex,” ujar Gabby dongkol. “Tapi gue jadi penasaran deh, kira-kira cewek mana yang bakalan beruntung dapetin elo?” “Nanti kamu juga pasti tau, tinggal tunggu waktunya aja.” “Emangnya udah ada? Katanya elo nggak mau pacaran dulu? Emang siapa anaknya? Gue kenal nggak?” “Adalah, dan suatu hari, kamu pasti bakal tau kok. Tunggu aja.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN