Perselingkuhan Levin
Sepulang dari toko roti miliknya, Gabby mengemudikan mobilnya menuju ke kost-kost an Devi, sahabatnya. Dia ingin mengembalikan n****+ yang dipinjam. Ketika mobil yang dikendarai Gabby memasuki gang tempat kost, dia menepikan mobilnya sebentar untuk menelepon.
“Dev, elo di mana?” tanya Gabby begitu panggilannya dijawab oleh Devi.
“Gue lagi di rumah tante By,” ujar Devi.
“Yah, padahal gue mau balikkin buku yang kemarin gue pinjem.”
“Besok aja ya By. Gue tutup teleponnya sekarang. Bye.”
“Ih, nyebelin banget jadi orang,” gerutu Gabby sambil memasukkan ponsel ke dalam tas. “Ah, gue titipin ini buku di ibu kost Devi aja.”
Gabby menjalankan mobil menuju ke tempat kost Devi. Setelah memarkir mobil, dia turun dan berjalan menuju bangunan besar berisi kamar-kamar kost.
“Selamat sore Bu,” sapa Gabby pada ibu kost yang sedang menyapu halaman depan.
“Eh, ada Nak Gabby. Mau ketemu Devi? Langsung ke kamarnya aja,” ujar Ningsih.
“Bukannya Devi nggak ada Bu?” tanya Gabby bingung.
“Ada kok, malah lagi ada pacarnya.”
“Pacar?” gumam Gabby. “Sejak kapan itu anak punya pacar? Kok nggak ngasih tau gue.”
“Ibu tinggal dulu ya. Kalo mau ketemu Devi, langsung ke kamarnya aja,” ujar Ningsih pada Gabby yang masih bingung.
“Oh iya Bu.”
Gabby berjalan menuju ke bagian kamar Devi yang terletak di deretan ujung. Setibanya di depan pintu kamar Devi, Gabby ragu untuk mengetuk. Tiba-tiba Gabby mendengar suara desahan dari dalam kamar. Karena penasaran, Gabby mencoba membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci dan langsung tertegun melihat pemandangan yang ada di hadapannya, terutama pria yang disebut ibu kost sebagai pacar Devi.
“Levin?!” seru Gabby tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Gabby? Kenapa kamu bisa ke sini?” tanya Levin sambil menutupi tubuh bagian bawahnya dengan handuk yang tergeletak di lantai.
“Jadi begini kelakuan kalian?!” tanya Gabby dengan nada datar.
“Ini nggak seperti yang kamu bayangin By,” sahut Levin.
“Nggak seperti yang aku bayangin? Melihat sepasang manusia di kamar berduaan tanpa mengenakan sehelai benang pun dan sedang saling tindih begitu. Terus aku mesti mikir seperti apa? Coba tolong kamu jelasin,” ujar Gabby sambil mengepalkan tangannya berusaha mencegah air matanya turun.
“Kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya By, dan biarin aku pake baju dulu,” pinta Levin sambil memunguti pakaiannya yang berceceran.
Namun, Gabby tidak ingin berada di sana lebih lama lagi. Dia langsung berlalu meninggalkan kamar kost Devi dengan air mata yang mengancam keluar dari kedua matanya. Setengah berlari, Gabby menuju mobilnya. Sampai di mobil, Gabby mengunci pintu dan menyalakan mesin mobil. Ketika dia melihat Levin yang sedang berlari menghampiri, Gabby langsung tancap gas meninggalkan bangunan yang sudah menorehkan luka yang sangat dalam di hatinya.
Sepanjang jalan menuju rumah, Gabby membiarkan air matanya mengalir menangisi kebodohan dirinya dan nasib kisah cintanya yang harus berakhir karena pengkhiatan kekasih dan sahabatnya.
Setibanya di rumah, Gabby memarkir mobil dengan asal. Dia berlari memasuki rumah dan tidak mempedulikan Alex yang sedang membantu Reni, adiknya mengerjakan PR di ruang tamu. Melihat Gabby berlari, Alex bergegas bangkit dan mengejar gadis itu.
“Mikha, kamu kenapa?” tanya Alex sambil mencekal tangan gadis itu. “Kamu nangis?” tanya Alex lembut sambil menghapus air mata yang mengalir dari kedua mata gadis yang diam-diam dicintai.
Ditanya seperti itu oleh Alex, Gabby kembali terisak. Alex menarik Gabby ke dalam pelukannya, membiarkan gadis itu menumpahkan tangis di dadanya.
“Ke sebelah yuk,” ujar Alex lembut sambil melepaskan pelukannya.
“Nggak mau,” sahut Gabby dengan suara sengau. “Malu sama Bunda.”
“Tumben malu sama Bunda?’ tanya Alex sambil menyembunyikan tawanya.
“Gue nggak mau diliat Bunda dalam keadaan jelek begini,” sahut Gabby dengan suara parau.
“Ya udah, kalo gitu kita ke rumah pohon aja.”
Alex membimbing Gabby berjalan keluar rumah dan menuju ke pintu kayu di halaman rumah yang membatasi rumah Gabby dan dirinya. Mereka berjalan terus melalui taman samping rumah Alex menuju kebun belakang yang luas ke arah sebuah pohon besar yang atasnya dijadikan sebuah rumah. Alex membiarkan Gabby naik duluan, setelah itu barulah dirinya naik.
“Sekarang bilang kenapa kamu nangis?” tanya Alex setelah mereka berada di rumah pohon.
“Levin selingkuh sama Devi,” gumam Gabby sambil kembali menangis.
“Tau dari mana?’ tanya Alex sambil mengerutkan kening tidak suka.
“Tadi aku liat dengan mata kepala aku sendiri mereka lagi di kamar dan nggak pake baju.”
Alex diam dan mencoba mencerna perkataan Gabby. Sebagai sesama laki-laki, Alex merasa ada yang tidak beres dengan kelakuan Levin yang menurutnya terlalu sempurna sebagai seorang pria. Ternyata orang itu berani berselingkuh di belakang Gabby dengan sahabat gadis itu.
“Terus kamu mau gimana?” tanya Alex.
“Putus dan nggak mau ngeliat mereka lagi.”
“Kamu yakin? Bukannya kamu cinta mati sama dia?” tanya Alex tanpa menyebut nama kekasih Gabby.
“Yakin lah. Kalo dari pacaran aja dia udah berani begitu, gimana ketika udah nikah coba!” sahut Gabby dengan emosi.
Baru saja Gabby selesai berkata, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Gabby mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya dan melihat layar, ternyata dari Levin.
“Tuh orangnya telepon,” ujar Alex.
“Gue nggak mau angkat,” sahut Gabby ketus.
“Terus?”
“Biarin aja!” sahut Gabby dengan ketus.
“Jangan aku dong yang kena lampiasan emosi kamu,” gerutu Alex.
“Ntar malam gue nginep ya,” ujar Gabby tidak mempedulikan protes Alex.
“Nggak bisa,” sahut Alex.
“Kenapa?”
“Kamu nginep di rumah aku supaya bisa menghindari dia kan? Itu nggak akan menyelesaikan masalah Mikha.”
“Tapi gue males ketemu lagi sama Levin. Boleh ya,” bujuk Gabby.
“Mau sekarang, besok, ataupun minggu depan, kamu tetap harus menyelesaikan masalah kan. Mending hadapin sekarang, supaya hati kamu lega.” Alex memberikan nasihat untuk Gabby.
“Tapi temenin gue,” pinta Gabby memelas.
“Tenang aja, aku nggak akan ninggalin kamu. Aku bakal berada dekat sama kamu,” ujar Alex.
“Janji?!”
“Iya,” sahut Alex.
“Gue cape Lex,” ujar Gabby sambil merebahkan kepalanya di pangkuan Alex.
“Tidurlah,” ujar Alex lirih sambil membelai lembut rambut Gabby.
Tak lama kemudian Gabby benar-benar terlelap. Alex memandangi wajah Gabby yang begitu manis saat tertidur. “Andai kamu mau mengerti perasaanku Mik,” gumam Alex lirih sambil membelai lembut rambut Gabby.
Seperti dugaan Gabby, malam itu Levin benar-benar datang ke rumah. Untung Gabby sudah mempersiapkan diri, begitu juga Alex yang setia menemani gadis itu. Ketika Levin datang, Alex keluar dari rumah Gabby melalui pintu taman dan menunggu di dekat teras.
“Mau apa ke sini?!” tanya Gabby dengan nada datar.
Levin berjalan menghampiri Gabby dan hendak memeluk gadis itu, yang langsung ditolak mentah-mentah.
“Jangan coba-coba nyentuh aku lagi!” ujar Gabby.
“Ijinin aku jelasin semuanya By,” sahut Levin dengan nada memelas.
“Nggak ada yang perlu dijelasin lagi. Mulai sekarang kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi!”
“Tapi By,”
“Aku nggak mau denger penjelasan apapun dari mulut kamu. Sekarang aku minta kamu pergi dan jangan pernah dateng lagi ke sini!” sela Gabby.
“Kamu nggak bisa mutusin aku kayak gini By. Gimana dengan mimpi kita buat punya toko kue sama-sama?” bujuk Levin.
“Aku nggak butuh kamu buat meraih cita-cita aku!” tandas Gabby.
“Aku beneran khilaf By,” ujar Levin masih berusaha membujuk kekasihnya. “Aku nggak punya perasaan apapun sama Devi. Cinta aku cuma buat kamu. Tadi Devi yang berusaha menggoda dan merayu aku. Aku beneran dijebak By.” Levin berusaha menjelaskan.
“Khilaf atau bukan, itu udah nggak penting Lev. Satu yang aku tau, kamu adalah pria yang tidak bisa memegang janji. Dan aku nggak mau menghabiskan sisa hidup aku dengan orang macam kamu. Kalau kamu beneran sayang sama aku, nggak akan mungkin kamu berbuat begitu, walaupun kamu bilang Devi mencoba merayu dan menggoda!”
Selesai mengatakan itu, Gabby membalikkan badan ingin masuk ke dalam rumah. Namun, dengan cepat Levin mencekal tangan kanan Gabby dengan keras dan menarik paksa gadis itu supaya mendekat padanya.
“Lepasin! Sakit tau!” ujar Gabby sambil mengernyit menahan sakit di pergelangan tangannya.
“Nggak akan aku lepasin sampe kamu mau dengerin aku!” bentak Levin.
“Oh …, sekarang kamu berani ngebentak aku?!”
Tangan kiri Levin terangkat hendak menampar Gabby. Namun, sebelum itu terjadi Alex sudah terlebih dahulu menghampiri dan menahan tangan kiri pria itu.
“Lepasin tangan gue!” bentak Levin setelah melihat siapa yang menahan tangannya.
“Lepasin dulu tangan lo dari Mikha!” ujar Alex dengan nada dingin.
“Ini bukan urusan elo. Ini antara gue sama pacar gue!” sahut Levin.
“Mikha, dia pacar kamu?” tanya Alex pada Gabby dan tidak mempedulikan ucapan pria itu.
“Bukan!” sahut Gabby mantap.
Tanpa banyak kata, Alex memelintir tangan kiri Levin sehingga pria itu melepaskan cekalannya pada tangan Gabby. Barulah ALex melepaskan pelintirannya sambil mendorong pria itu supaya menjauhi Gabby yang gemetar.
Alex langsung menarik Gabby untuk berdiri di belakang punggungnya. “Pergi dari sini sekarang juga!” ujar Alex datar. “Dan jangan pernah ganggu Mikha lagi!”
“Tunggu aja, gue pasti balik lagi!” ancam Levin sebelum meninggalkan rumah Gabby.
Levin meninggalkan rumah Gabby dengan amarah memenuhi dadanya. Dia mengendarai motor dengan kecepatan tinggi untuk melampiaskan emosinya.
“Kamu gapapa?” tanya Alex lembut setelah Levin pergi.
“Gue takut Lex,” ujar Gabby lirih.
Selama berpacaran dengan Levin, baru kali ini dirinya dibentak dan diperlakukan kasar oleh pria itu.
“Sekarang udah aman. Kalo dia dateng lagi, biar aku yang hadapi.”
Gabby mendekati Alex, kemudian memeluk sahabatnya dengan erat. “Makasih ya Lex, elo emang sahabat terbaik gue,” bisik Gabby.
Alex terdiam mendengar perkataan gadis itu. Hatinya kecewa karena gadis itu menganggapnya tidak lebih dari seorang sahabat.
“Andai kamu tahu isi hatiku yang sesungguhnya Mik,” batin Alex.
“Aku akan selalu ada buat kamu Mikha, kapanpun dan di manapun,” ujar Alex pelan.
Gabby semakin mengeratkan pelukannya ketika mendengar perkataan yang diucapkan Alex.